Kisah Nenek Penghuni Gua dekat Laut Kidul Berteman Anjing Bernama Bambang

Kamis, 20 Juni 2019 – 22:14 WIB
PENGHUNI GUA: Sakijem alias Mbah Kijem di tempat tinggalnya di Gua Langse, Purwosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto: Anisatul Umah/Jawa Pos

jpnn.com - Usia Sakijem sudah tak muda lagi. Namun, di usianya yang sudah senja, perempuan yang akrab disapa dengan panggilan Mbah Kijem itu memilih tinggal di Gua Langse berteman anjing bernama Bambang.

Anisatul Umah, Yogyakarta

BACA JUGA: Deolipa Project Persembahkan Lagu untuk Yogyakarta dan Surakarta

BUKAN perkara mudah menjangkau Gua Langse di Purwosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Dibutuhkan keberanian ekstra karena harus menyusuri tebing tegak lurus sejauh 350 meter sejajar Laut Selatan.

Di situlah Mbah Sakijem tinggal lebih dari setengah abad. Lokasi Gua Langse tidak begitu jauh dari Pantai Parangtritis, Bantul.

BACA JUGA: Banyak Ortu Siswa Menolak Sistem Zonasi PPDB SMA - SMK

Dari Kota Jogja diperlukan waktu 1,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Sesampai di tebing, pengunjung harus mengisi daftar presensi dan memberikan uang seikhlasnya sebagai biaya perawatan gua kepada juru kunci.

Nginep pinten dinten (Menginap berapa hari, red), Mbak?” kata Pak Parijo, salah seorang kuncen Goa Langse sambil menyodorkan kertas presensi.

BACA JUGA: Misteri Masjid Jin di Gunungkidul, Siapa yang Membangun?

Kebanyakan pengunjung datang menginap untuk bersemadi. Jika mengunjungi Gua Langse sebaiknya tidak jangan sendirian. Selain sepi, medannya berbahaya.

Perlu berjalan kaki sekitar 500 meter melewati hutan yang dihuni banyak monyet liar. Setelah sampai di tebing, pengunjung harus turun menyusuri tebing karena rak ada pegangan yang layak.

Sesampai di Gua Langse, Jawa Pos mendapati Mbah Sakijem tampak lelap dalam tidur siangnya di dalam gua. Tubuhnya tak bergerak.

Saat itu ada empat orang yang tengah bersiap semadi di gua. Ramainya orang mengobrol tak mengganggu Mbah Kijem yang lelap dalam tidurnya.

Beberapa perabot seperti ceret dan tungku ada di samping kanan gua. Dua lemari kayu berada di samping tempat tidur Mbah Kijem. Salah satunya terkunci dengan gembok.

Di situlah Mbah Kijem tinggal. Dia tak sendirian. Ada Bambang, anjing yang setia menemani Mbah Kijem selama empat tahun terakhir.

Bambang sangat jinak. Saat ada tamu datang, dia tidak menggonggong. Bambang hanya mendekati tamu itu, lantas menjilat-jilat minta dibelai.

Sembari menunggu Mbah Kijem bangun, pengunjung gua bernama Pangestu (44) menceritakan rencananya bersemadi selama tujuh malam di Gua Langse. Dia baru tiba dari Bali bersama tiga anggota keluarganya.

“Ini kali kedua datang ke sini. Saya juga semadi di beberapa gua lain,” katanya dengan logat Bali yang kental.

Sekitar setengah jam berselang, Mbah Kijem bangun. Bambang bergerak cepat menghampiri tuannya.

Badhe siram, Mbah? (Mau mandi, Mbah?),” tanya Jawa Pos kepada Sakijem yang terlihat membawa pasta gigi, sabun dan sikat di ember kecil.

Njih (iya),” ujar Mbah Kijem merespons sambil berjalan ke kamar mandi dekat gua. Bambang mengikuti langkah Mbah Kijem.

Setelah Mbah Kijem kelar mandi, perbincangan pun dimulai. Semua obrolan siang menjelang zuhur itu menggunakan bahasa Jawa kromo.

Mbah Kijem menuturkan bahwa dirinya mulai tinggal di Gua Langse sejak sekitar 1968. Dia lupa bulan persisnya.

Sebelumnya Mbah Kijem tinggal di Gua Cerme, Imogiri, Bantul selama empat bulan. Menurut keyakinan Mbah Kijem, keinginannya untuk mendapatkan penghasilan akan terwujud jika berpindah ke Gua Langse.

Saat memutuskan tinggal di Gua Langse, Mbah Kijem baru berumur sekitar 18-19 tahun. Lagi-lagi dia lupa persis usianya kala itu.

Mbah Kijem datang ke gua hanya dengan berpegangan pada akar-akar pohon yang tumbuh di tebing. Menurut dia, jalan ke lokasi Goa Langse saat ini sudah jauh lebih enak karena diberi kayu-kayu untuk memanjat dan berpegangan.

“Saya di sini sejak masih tingting (perawan, red),” tuturnya mengenang lalu tersenyum sedikit genit.

Mbah Kijem pernah menikah dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pernikahannya pada 1974 digelar meriah dengan menanggap wayang.

Setelah itu Mbah Kijem hamil. Saat punya kandungan berusia sekitar 2-3 bulan, Mbah Kijem memutuskan kembali ke gua.

Dia baru pulang ketika melahirkan putranya pada 1975. Nama putranya satu-satunya adalah Karno.

Menurut Mbah Kijem, suaminya stres lantaran tidak bisa menerima keputusannya untuk tetap tinggal di gua. Suami Mbah Kijem akhirnya meninggal.

“Suami enggak mau saya balik lagi ke gua. Dia orang Jogja,” tutur Mbah Kijem sambil sesekali dihampiri Bambang yang menempel manja.

Mbah Kijem tinggal di rumah hingga Karno berumur 8 bulan. Setelah itu, Mbah Kijem kembali ke gua.

Kala itu Karno dititipkan ke orang tua Mbah Kijem. Dia juga memiliki saudara yang kini merantau.

“Saya punya satu adik perempuan. Penjahit di Papua,” tuturnya sambil sesekali membenarkan posisi duduknya di atas tumpukan kayu agar tetap nyaman.

Saat ini anak semata wayang Mbah Kijem tinggal di Tangerang dan sudah berkeluarga. Mbah Kijem punya tiga cucu dari Karno.

Salah satu cucunya sudah mau masuk kuliah. Karno pernah mengajak Mbah Kijem ikut tinggal di Tangerang.

Namun, Mbah Kijem tidak betah. Setelah 23 hari di Tangerang, dia memilih kembali ke Gua Langse.

“Saya pernah dijemput, di Tangerang ada rumah, ada mobil tapi saya enggak betah, terus balik lagi ke sini,” tutur nenek yang mengaku berusia 70 tahun itu.

Mbah Kijem mengaku tidak suka mobil maupun barang-barang lainnya meski dia mampu membelinya. Menurutnya, hidup di gua lebih enak.

Mbah Kijem mengaku akan bertahan di Gua Langse untuk menghabiskan sisa umurnya. Saat lapar tinggal makan, ngantuk langsung tidur.

“Enak. Nyatanya saya enggak mau pindah dari sini,” tuturnya.

Kegiatan sehari-hari Mbah Kijem adalah memasak bagi siapa saja yang datang ke Gua Langse. Dahulu Mbah Kijem mengangkut sendiri semua kebutuhannya untuk memasak.

Namun, kini ada orang yang mengantar barang-barang pesanan Mbah Kijem. “Saya bawa handphone, telepon warung, dikirimi,” katanya.

Sesekali Mbah Kijem masih naik ke atas untuk mengecas baterai ponselnya. “Ngisi batu (baterai handphone, Red), ya naik. Tidak ada listrik di sini,” tuturnya.

Kini, perempuan uzur yang mengaku pernah mengenyam pendidikan di sekolah rakyat itu meladeni siapa saja yang memesan makan dan minum di Gua Langse. Mbah Kijem tak pernah menetapkan tarif dan membiarkan pemesan makanan ataupun minuman memberi uang seikhlasnya.

Di sela-sela wawancara itu Bambang kembali menghampiri Mbah Kijem. “Mbang, duduk,” kata Mbah Kijem.

Bambang pun mengikuti perintah empunya. Mbah Kijem merawat Bambang sejak anjing kesayangannya itu berusia 15 hari.  “Bambang itu setia, jujur,” pujinya.

Mbah Kijem bahagia dengan pilihan hidupnya. Setelah meminta menyudahi obrolan, Mbah Kijem berjalan diikuti Bambang ke dapur.

Dia memasak air dan membuat teh hangat. Sambil memegang cangkir teh, dia duduk menatap luasnya laut hingga menjelang sore.

Waktu beberapa jam berlalu tanpa obrolan. “Mbah, sudah sore, saya pamit dulu,” ujar Jawa Pos berpamitan.

Mbah Kijem membalas dengan senyuman. Tanpa kata, dia mengangguk tanda mempersilakan.

Mbah Kijem yang memilih tinggal di gua bukanlah orang yang tidak mampu. Salah seorang juru kunci bernama Purwono menuturkan, rumah Mbah Kijem di Nglegok, RT 04, RW 02, Giritirto, Purwosari, Gunungkidul tergolong mentereng bila dibandingkan tempat tinggal warga lainnya.

Jika ada keluarga yang menggelar hajatan, Mbah Kijem dijemput oleh kerabatnya untuk pulang ke desanya yang berjarak 10 kilometer dari Gua Langse. “Waktu anaknya menikah Bu Sakijem juga menanggap wayang,” ujar Purwono.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepergok di Kamar Hotel Bareng Pria Bukan Suaminya, Menul: Saya Bukan Buron


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler