jpnn.com - Manusia dan buaya tidak bisa hidup berdampingan. Keberadaan buaya menjadi ancaman bagi manusia. Namun kondisi itu tidak bisa dihindari oleh Nurika Chandra AMd Keb, seorang bidan desa yang bertugas di Poskesdes Lalang Tanjung, Kecamatan Tebingtinggi Barat. Buaya menjadi tak asing baginya. Bahkan buaya kerap menjadi pemandangan saat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Laporan AHMAD YULIAR, Lalang Tanjung
BACA JUGA: Nora, Terlalu Menikmati menjadi Tentara
MENGABDI menjadi kewajiban dan konsekwensi bagi seorang bidan. Terutama bagi bidan yang berstatus seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak banyak juga seorang bidan ketika telah berstatus PNS mampu melaksanakan sumpah jabatannya yang bersedia mengabdi dan ditempatkan dimanapun.
Ketika mendapatkan Surat Keputusan (SK) tentang penempatannya di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Lalang Tanjung Kecamatan Tebingtinggi Barat, Nurika yang memahami akan konsekwensi itu langsung menyetujui.
BACA JUGA: Kisah Bidan Menjemput Ibu Hamil, Terbiasa Melintasi Deretan Buaya
Apalagi pihak Dinas Kesehatan Kepulauan Meranti juga menempatkan suaminya Happy Saptaria AMd yang juga berstatus PNS untuk mendampingi sang istri dalam membantu memberikan pelayanan kesehatan bagi tiga Desa yakni Desa Lalang Tanjung, Desa Maini Darul Aman dan Desa Tanjung Dahrul Takzim yang berada di seberang Sungai Suir.
Dalam memberikan pelayanan untuk Desa Lalang Tanjung dan Maini Darul Aman tidak menjadi persoalan karena berada berdekatan. Namun lain halnya dengan Desa Tanjung Darul Takzim, dimana Desa tersebut berada di seberang Sungai Suir. Untuk menyerang ke sana harus melalui penyebrangan kempang di Desa Lalang Tanjung.
BACA JUGA: Angkringan yang Menawarkan Kopi Sekaligus Klinik Fotografi
Selain agenda posyandu yang rutin dilaksanakan, Nurika kerap mendapatkan panggilan dari masyarakat di Desa Tanjung Darul Takzim yang mengalami sakit. Bukan hanya sakit demam atau flu saja yang ditanganinya, termasuk membantu persalinan juga menjadi kewajibannya. Bahkan saat membantu persalinan masyarakat Desa Tanjung Darul takzim menjadi kewajiban yang tidak akan pernah dilewatinya.
Tak jarang juga masyarakat meminta pertolongannya disaat malam hari, bahkan sampai tengah malam dan dinihari. Terkadang jika harus siaga untuk membantu melahirkan, dirinya tak segan menumpang menginap di rumah masyarakat Desa Tanjung Darul Takzim tersebut. Sehingga pertolongan bisa segera dilakukannya.
Namun bukan jarak dari Desa Lalang Tanjung yang selalu menjadi kekhawatirannya, tetapi akses jalan yang sangat buruk menjadi tantangan yang harus ditaklukkannya. Tak jarang juga dia bersama suaminya terjatuh di jalan yang dalam kondisi parah.
Untuk diketahui dari bibir pelabuhan Desa Tanjung Dahrul Takzim yang berada di Depan Pelabuhan Desa Lalang Tanjung ke pemukiman masyarakat Desa harus ditempuh lebih kurang sepanjang 3 kilometer. Kondisi jalan tanah.
Jika dimusim kemarau akan berdebu, dan dimusim hujan akan becek. Untuk memudahkan melewati jalan tanah tersebut, masyarakat membangun sekeping papan disepanjang jalan tersebut. Namun perlu keahlian khusus agar bisa dilewati jalan tersebut agar tidak terjatuh. Karena hanya sekeping papan, masyarakat memberi nama jalan tersebut sitotol mustaqim.
Pelabuhan penyebrangan akan terendam air ketika pasang keling yang selalu terjadi di bulan November, Desember sampai dengan bulan Januari, hal itu tentunya akan menjadi tantangan yang sangat berat.
“Pernah untuk menolong orang sakit di Desa Tanjung Darul Takzim), harus dengan berjalan kaki sendirian melewati pasang keling yang ketinggian air mencapai sepinggang. Mau tak mau harus dilakukan untuk menolong orang di seberang sana,” ujar Nurika menceritakan kejadian beberapa tahun lalu kepada Riau Pos.
Bukan hanya sampai di situ saja, diceritakannya lagi bahwa pernah satu waktu warga di Desa Tanjung Darul Takzim meminta pertolongannya yang mengalami sakit parah. Ketika itu sudah tengah malam. Bersama suaminya meminjam kempang dengan mendayung sendiri. “Karena tidak bisa mendayung dengan baik kami sempat hanyut, tapi akhirnya bisa selamat ke sebarang,” ujarnya.
Tantangan setelah sampai di sebarang sungai adalah kegelapan. Karena kiri dan kanan jalan sangat gelap karena bukan rumah yang tersusun disamping jalan, namun hutan perkebunan sagu. Untuk sampai ke pemukiman masyarakat yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dan melalui jalan sekeping papan mencapai waktu lebih kurang 15 menit.
Sementara jika harus membawa pasien yang mengalami sakit parah yang harus berbaring, warga di sana tidak bisa memanfaatkan jalan tersebut, masyarakat akan memilih membawa dengan menggunakan pompong melalui pelabuhan lainnya yang berada di ujung Sungai Suir yang lebih dekat dari pemukiman dan lebih memiliki jalan yang baik.
Bidan dua anak ini menceritakan lagi pernah suatu waktu tepatnya 10 Februari 2015 lalu. Ketika itu dirinya mendapatkan kabar dari bidan kampung di Desa Tanjung Dahrul Takzim bahwa salah seorang ibu hendak melahirkan dan meminta pertolongan dirinya. Pada saat itu sekitar lebi kurang pukul 19.45 WIB.
Karena akan dirujuk ke RSUD Selatpanjang, dirinya disuruh siaga menunggu di pelabuhan Desa Lalang Tanjung dengan ambulance. Sementara bidan kampung akan membawa ibu hamil itu melalui pelabuhan rakyat di hulu sungai dengan menggunakan pompong. Namun setelah satu jam menunggu, Nurika merasa khawatir.
“Saya sudah risau. Setelah saya kontak lagi ternyata pompong yang akan membawa ibu hamil itu terjebak dan menunggu air pasang. makanya saya ambil inisiatif dan membawa pompong dari Pelabuhan Lalang Tanjung ke Pelabuhan di hulu Sungai Suir tersebut untuk menjemput pasien tadi,” ungkapnya.
Di dalam pompong yang berukuran kecil itu selama diperjalanan Nurika yang menggunakan senter yang terpasang dikepala sempat terlihat mata merah menyala di dalam sungai saat menjemput tersebut. Setelah melirik ke warga yang membawa pompong tersebut dirinya diminta berdiam diri tanpa panik. “Ternyata buaya terlihat jelas. Saya disuruh diam dan tidak panik,” kata Rika.
Selama perjalanan menjemput pasien tersebut bukan satu buaya ataupun dua buaya yang sempat disaksikannya, namun hampir di sepanjang sungai menuju ke pelabuhan tempat penjemputan pasien hamil itu buaya yang tidak mengganggu terlihat jelas.
Bagi masyarakat disekitar Sungai Suir itu keberadaan buaya sudah bukan hal baru lagi. Bahkan tahun lalu (2014) salah satu masyarakat sempat lolos dimangsa buaya. Empat bekas gigitan buaya masih berbekas menjadi bukti bahwa sungai tersebut hidup buaya.
Di hulu Sungai Suir tersebut yang terdapat perusahaan Migas Energi Mega Persada Malacca Strait (EMPMS) SA malah memasang papan tanda peringatan agar tidak mendekati bibir sungai karena banyak buaya.
Namun Setelah sampai di pelabuhan tersebut ibu hamil yang tersebut kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan dan memerlukan rujukan. “Ibu tersebut wajahnya sudah membiru dan ternyata plasentanya tersumbat di rahim. Makanya kami putuskan dirujuk ke RSUD, namun sebelumnya kami pasangkan infus terlebih dahulu,” ceritanya.
Beruntung rumah ibu hamil tersebut tidak jauh dari pelabuhan sehingga mudah membawanya ke pompong yang sudah menunggu. Dibantu suami dan warga sekitar akhirnya ibu hamil itu digotong dengan menggunakan tandu ke pompong.
Nurika menjelaskan bahwa ibu hamil tersebut bernama Kawit (42) Sementara suaminya Ayam (43). Untuk membantu melahirkan anak keempat pasangan masyarakat suku asli di Desa Tanjung Darul Takzim itu, kembali harus menempuh Sungai Suir yang dikenal banyak buaya. Perjalanan 45 menit menuju pelabuhan Desa Lalang Tanjung terasa lebih lama karena mata-mata merah buaya saat disenter terlihat di tepi sungai.
Kekecewaan Nurika terlihat jelas dari rona wajahnya yang menceritakan perjuangannya membawa pasien ibu hamil tersebut yang akhirnya tidak dapat tertolong. Setelah tiba di Pelabuhan Lalang Tanjung dan dirujuk ke RSUD, sekitar pukul 23.00 WIB ibu hamil yang sekarat itu masuk dan mendapatkan perawatan. Namun yang selamat dari penanganan melahirkan dengan operasi itu hanya anaknya saja. Sementara ibu hamil tersebut meninggal dunia.
“Sampai sekarang masih terasa kekecewaan karena ibu itu akhirnya meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan,” sebutnya yang sempat meneteskan air mata mengenang kematian Kawit saat melahirkan.
Karena konsistensi itu juga Nurika Chandra AMd Keb akhirnya dinobatkan sebagai Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Ranting Tebing Tinggi Barat. Walaupun diberikan amanah menajdi Ketua IBI di Kecamatan Tebingtinggi Barat, namun dirinya mengaku akan tetap berusaha memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat.
“Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban kami sebagai Bidan. Apalagi menyangkut ibu melahirkan akan menjadi prioritas untuk dapat dibantu segera,” terangnya.
Bersamaan dengan peringatan hari kartini, dia merasa apa yang dilakukannya sebagai pengabdian saja. yang pentinga bagaimana bisa melakukan yang terbaik.
Salah satu warga Desa Tanjung darul Takzim, Syahroni mengakui kepada Riau Pos bahwa sejak ditugaskannya Bidan Nurika AMd Keb bersama suaminya ke Poskesdes lalang Tanjung masyarakat di Tanjung Darul takzim merasa sangat terbantu. Pasalnya jarang Bidan Desa yang sanggup menyeberang sungai dan membantu masyarakat yang sakit di Desa tanjung Darul takzim tersebut. Karena selain terisolir, juga kondisi jalan yang sangat buruk.
“Makanya kalau membantu melahirkan di kampung ini (Tanjung Darul Takzim) kami sekeluarga meminta mereka untuk menginap dan beristirahat di rumah kami. Karena mereka sangat membantu masyarakat,” kata Syahroni.
Apalagi tantangan untuk membantu masyarakat Desa tanjung Dahrul Takzim bukan sedikit. Mulai dari ancaman buaya, jauh dan terisolir serta ntantangan lainnya bukan penghalang mereka untuk membantu masyarakat.
“Tak pernah saya lihat bidan yang mau bertugas seperti mereka,” sebut Syahroni yang merasa salut dengan kegigihan dan keiklasan Bidan Nurika dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. ***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Srikandi TNI AL Ini, Manusia Ikan yang Belum Tersaingi
Redaktur : Tim Redaksi