Kisah Pendonor Tubuh Pertama Jadi Cadaver

Sabtu, 03 Januari 2015 – 03:25 WIB
Kisah Pendonor Tubuh Pertama Jadi Cadaver. Pur saat ditemui di sela-sela kegiatannya bermain bridge. Meski usianya senja, ingatannya masih tajam dan detail. Foto Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Belum banyak yang berminat mendonorkan salah satu organ tubuhnya setelah meninggal nanti. Apalagi merelakan seluruh tubuhnya. Tetapi, Purbyantaravyang sudah bertekad untuk menyumbangkan tubuhnya menjadi cadaver di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya

BACA JUGA: Matikan Televisi Membuat Hati Keluarga Lebih Tenang

SEORANG laki-laki berusia senja berjalan memasuki gedung PT Abadi Adimulia I di kawasan Rungkut Industri. Meski jalannya tertatih dengan dibantu tongkat, lelaki itu masih gesit memasuki ruang rapat tanpa dituntun orang lain. Semangat tersirat dari senyumnya yang terus mengembang. Lelaki 85 tahun bernama Purbyantaravyang tersebut tidak sabar masuk ke ruang rapat. Bukan untuk bekerja, melainkan bermain bridge dengan Klub Intan.

Bridge adalah permainan kartu berpasangan yang dilakoninya sejak usia 17 tahun. Bahkan, dia menjadi pendiri Klub Bridge Intan yang diklaim Pur –panggilan akrabnya– sebagai salah satu klub bridge tertua di Indonesia. Pada Minggu lalu (28/12) klub bridge itu merayakan hari jadi ke-40. ’’Sebenarnya saya dan teman-teman mendirikan Klub Intan pada 4 Juli 1974, tapi sekarang perayaan simbolis saja,’’ ucap Pur yang masih mengingat tanggal pendirian klub bridge tersebut.

BACA JUGA: Merasakan Penerbangan AirAsia QZ8501 4 Hari Setelah Insiden

Di usia 85 tahun, ingatan Pur memang tergolong tajam. Dia juga bisa melakukan kegiatan yang umumnya tidak bisa dilakoni orang seusianya. Salah satunya adalah mengetik SMS.

Pur saat ini tercatat sebagai orang pertama yang mengajukan diri menjadi cadaver di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tentu saja, setelah dia sudah meninggal dunia kelak. Cadaver adalah jenazah yang digunakan mahasiswa untuk belajar anatomi. ’’Saya akan senang mendarmabaktikan diri untuk pengembangan ilmu. Ada mata, hati, hingga kerangka tulang yang masih bisa digunakan,’’ ucap Pur yang lahir di Purwokerto pada 24 Februari 1930 tersebut.

BACA JUGA: Istri Kapten Iriyanto Itu Sudah Mulai Tersenyum...

Sebenarnya keinginan untuk menjadi cadaver terlintas di benaknya sejak dulu. Namun, Pur tidak tahu harus ke mana. Pur mengatakan, pada 1975 dirinya mendaftarkan diri sebagai donor mata. Tidak hanya Pur, keluarganya juga mendaftar di Kantor Wali Kota Surabaya. ’’Kami sudah mendaftar, tapi sampai sekarang enggak ada juntrungannya,’’ jelas Pur yang hobi menonton berita tersebut.

Masa lalu Pur memang berkaitan erat dengan bidang pendidikan. Pur dulu bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMAK St Louis 1. Dia juga pernah menjadi kepala sekolah pada 1974. Saat itu dia mempunyai murid yang sekarang sudah menjadi dekan Fakultas Kedokteran Unair, yaitu Prof dr Agung Pranoto SpPD K-EMD FINASIM. Nah, pada 1 November 2014, Pur bertemu dengan Agung di acara reuni SMAK St Louis 1 yang diadakan di Hotel Shangri-La. ’’Saat diundang, saya bilang kalau ada kursi roda, saya bisa datang. Sudah tidak kuat kalau jalan terlalu lama,’’ ucap suami Sedarwati yang sudah mempunyai delapan cucu dan empat cicit tersebut.

Tak disangka permintaannya dituruti, Pur dikirimi kursi roda oleh Agung. Pur pun teringat mimpi lamanya menjadi donor cadaver. Saat bertemu dengan Agung, dia mengutarakan keinginannya. ’’Ternyata Agung juga tidak tahu harus bagaimana. Sebab, belum ada yang mendaftar jadi cadaver,’’ paparnya seraya tersenyum.

Meski begitu, menurut Pur, Agung berjanji berkoordinasi dengan pihak FK mengenai keinginan Pur. Pada Rabu (31/12) FK Unair mengadakan koordinasi terkait dengan peraturan donor cadaver. Berdasar konfirmasi dari ahli hukum Unair, fenomena seperti Pur bisa disamakan dengan wasiat. Artinya, pemilik organ bisa membuat wasiat yang intinya ingin mendonorkan jasadnya kelak.

Pur memang punya jiwa sosial yang tinggi. Sejak usia 21–60 tahun, dia rutin mendonorkan darah. Syarat usia maksimal donor darah adalah 60 tahun. Karena itu, saat usianya 61 tahun, Pur mencoba tes kesehatan untuk meyakinkan bahwa dirinya masih bisa mendonorkan darah. Hasilnya, Pur benar-benar masih bisa jadi donor darah. Dia pun rutin mendonorkan darah hingga usia 65 tahun. Karena itu, Pur pernah mendapat penghargaan Satyalencana. Penghargaan tersebut diberikan khusus kepada seseorang yang pernah mendonorkan darah sebanyak 100 kali. ”Mendonorkan darah bikin tubuh lebih bugar,” katanya.

Selain itu, Pur berhenti merokok sejak 31 Desember 1974. Pola hidupnya memang sehat. Dulu dia juga selalu berolahraga badminton. Tak heran, di usianya yang ke-85 sekarang, kondisi tubuhnya cukup stabil. Pur mengatakan tidak pernah menjalani rawat inap yang lama di rumah sakit.

Menurut Pur, dirinya tidak lebih dari dua kali menjalani operasi. Yang pertama, 1970-an, dia menjalani operasi amandel. Lalu Mei 2014, tulang tangan kanannya patah karena jatuh di kamar mandi. ’’Namanya proses degeneratif. Sejak patah tulang itu, kondisi kesehatan saya menurun,’’ ucapnya.

Di usia senjanya, Pur tidak melakukan aktivitas sebanyak dulu. Bangun tidur paginya juga tidak menentu. Misalnya, bangun pukul 08.00, lalu sarapan dengan roti dan minuman sereal. Setelah itu, Pur bersantai. Cara bersantai versi Pur adalah menonton berita di televisi. Tidak heran, Pur banyak tahu mengenai berbagai isu. Ternyata menonton berita adalah rutinitasnya setiap hari. Saat siang, dia tidak selalu tidur. Tetapi, Pur biasanya baru makan nasi saat siang. Setelah itu, Pur kembali bersantai. Malam, dia biasa mengonsumsi minuman sereal atau buah-buahan.

Selain memiliki pola hidup sehat, hal penting bagi Pur adalah bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk lingkungannya. Meski usianya tidak lagi muda, Pur selalu menularkan ilmu yang dikuasainya. Misalnya, dalam hal bridge. Sebulan sekali, Pur selalu menghadiri pertemuan Klub Intan. Dia terkenal sangat mahir bermain bridge.

Bahkan, pada kompetisi Piala Pahlawan pada 13–14 Desember lalu, Pur menjadi satu-satunya anggota di Klub Intan yang masuk lima besar. ’’Kalau ingin jago bridge, harus banyak berlatih dan diskusi, dari situ bisa punya strategi,’’ imbuh pelahap segala macam buku tersebut.

Hanya, yang disayangkan olehnya adalah anggota Klub Intan yang makin sedikit. Mencari anak muda yang ingin belajar bridge memang tidak mudah. Sebagian besar anggota Klub Intan sudah berusia senja. Pur hanya berharap penerusnya bisa mempertahankan klub yang dirintisnya bersama teman-temannya yang sudah tiada sekarang. (*/c7/tia)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kakak Teknisi AirAsia QZ8501: Temukan Adik Saya, Ada Angka 6 di Lidahnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler