Kisah Penyandang Disabilitas, Melukis Asa di Selembar Mori Putih

Kamis, 14 November 2019 – 22:39 WIB
Pramujito, penyandang tunagrahita melukis untuk batik. Foto : Fathan Sinaga/JPNN

jpnn.com, YOGYAKARTA - Keterbatasan fisik tidak meruntuhkan semangat penyandang disabilitas untuk melanjutkan hidup dan berkreasi mengasah bakat.

Itulah yang terlihat pada Pramujito, pemuda 18 tahun, seoran tunagrahita. Tangan Pramujito meliuk-liuk di atas kain mori berwarna putih.

BACA JUGA: Fokus Kemandirian Disabilitas, Yayasan Sayap Ibu Terima Bantuan dari Alfamart

Dia berkreasi dengan peralatan batik tulis sederhana seperti wajan kecil, kompor kecil, lilin batik kecil. Bermodal alat yang kecil itu. Pemuda berbaju biru itu bak maestro. Tanpa beban dia melampiaskan imajinasi seninya lewat canting dan kuas untuk membatik.

Baginya membuat kreasi di kain batik sangat menyenangkan. Dia merasa lebih lepas dan leluasa mengembangkan diri. Merasa bisa bertanggung jawab. Dengan kata lain, Jito -sapaan Pramujito- bisa mandiri.

BACA JUGA: DPD RI Prihatin Penyandang Disabilitas Belum Dapatkan Haknya

"Batik itu bisa melatih kita. Saya ini suka batik, karena membatik itu enak," kata Jito saat ditemui, Kamis (14/11).

Jito menunjukkan keuletannya memainkan canting saat serah terima bantuan Rp 1,1 miliar dari Alfamart ke Yayasan Sayap Ibu di Pondok III YSI di Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Banyak orang terpukau melihat Jito dalam acara itu.

BACA JUGA: Angkie Yudisti, Perempuan Penyandang Disabilitas yang Mandiri dan Inspiratif

Meski diperhatikan banyak mata, Jito hanya fokus melukis. Usai mencanting, Jito melanjutkan kreasi dengan kuas. Bagian ini, dahi Jito tak tampak mengernyit seperti mencanting.

Tahap selanjutnya itu adalah membuat pola. Jito membuat pola tegas persegi. Tapi tak beraturan. Tak ada lengkungan sama sekali.

Pada saat proses pewarnaan, baru tampak garis-garis tegas itu. Jito menggunakan tiga warna di tahap ini. Merah, kuning dan biru.

"Sehari saya bisa menyelesaikan dua batik," kata Jito yang juga bisa seni tari ini.

Jito merupakan salah satu anak asuh di bawah Yayasan Sayap Ibu. Masih ada puluhan lainnya yang senasib dengan Jito. Banyak dari mereka memiliki keterbelakangan mental atau dibuang oleh orang tuanya.

Jito bersama teman-teman lainnya diajari sampai mandiri di sini. Kadang ada yang berhasil. Kadang ada tingkat mentalnya rendah sehingga harus dirawat lama. Ada juga yang diadopsi oleh keluarga lain.

Kembali lagi ke keahlian penyandang disabilitas lainnya. Selain Jito, ada juga Rino yang punya minat di bidang seni.

Rino melukis di kanvas. Foto : Fathan Sinaga/JPNN

 

Rino sangat menyukai seni melukis. Di tangannya, kuas seperti penari salsa profesional yang sedang lincah menari.

Di atas kain kanvas putih itu dilukisnya dua ekor ikan. Warna ekor dan badannya sama. Hanya kepala ikan yang berbeda. Yang satu kuning, satunya lagi oranye. Saat ditanya kenapa berbeda warna, Rino malah tertawa.

Keahlian Rino bukan cuma melukis di kain kanvas. Di berbagai objek juga bisa. Misalnya tas. Bahkan tas yang sudah dilukis Rino banyak dibeli. Dijual online pula. Karya tangannya dijual melalui akun YSI di Instagram, kreasi_anakhebatysi. Karya anak-anak asuh lainnya juga dipamerkan di sana.

Sang guru sekaligus pendamping anak asuh, Taufan Ariwidianto melihat banyak keunggulan di balik minat dan bakat para penyandang disabilitas.

Taufan yakin mereka bisa mandiri, asal didukung oleh lingkungan yang positif. Butuh juga kesabaran.

"Seperti mengajari melukis. Anak butuh diajari soal warna dulu, agar bisa membedakan warna. Biasanya anak-anak ini suka batik ciprat," kata Taufan.

Batik ciprat tak dituntut soal ketelitian. Anak-anak bisa menyalurkan ekspresinya dengan bebas. Pelukis tidak dibebani dengan pola-pola. Namun, hasilnya abstrak.

Suasana aktivitas kreasi anak disabilitas. Foto : Fathan Sinaga/JPNN

Setiap batik hasil karya anak-anak asuh biasa dipamerkan di yayasan mereka. Satu helai kain 2,5 meter dibeli sekitar Rp 300 ribu. Pembelinya pun variatif. Pendatang maupun sengaja memesan langsung.

Permasalahan mendasar bagi anak-anak penyandang disabilitas adalah masalah kepercayaan diri dan kemandirian. Perlu program penanganan khusus bagi anak tumbuh kembang agar mandiri.

Contohnya seperti membatik. Aktivitas ini bisa mendorong anak-anak punya keahlian. Dengan kata lain mereka juga punya penghasilan sehingga bisa mandiri.

"Kami ada pelatihan pembuatan ecoprint, batik ciprat, batik jumputan, batik shibori, melukis dan merangkai bunga. Kami ingin mendorong mereka untuk mandiri," kata Ketua YSI Pusat Noes Sritantri. (tan/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler