jpnn.com - Alunan kecapi yang merdu dan begitu menyejukkan hati menggema di ruangan berukuran 6×8 meter di Gedung Lembaga Kesenian Cianjur (LKC) Jalan Suroso, Kelurahan Bojongherang, Cianjur, Jawa Barat. Namun, di balik jari-jari Aki Dadan yang membuat dawai itu bergetar, terselip kisah pilu nan miris.
LAPORAN: Abdul Aziz N Hakim, Cianjur
BACA JUGA: Maestro Komponis Indonesia Itu Berpulang
Dadan Sukandar (75), seniman yang sudah hidup di antara beragam alat musik seperti kecapi, suling dan angklung. Di usia yang tak lagi muda, pria yang biasa disapa Aki Dadan ini masih saja enggan menanggalkan kecapi yang telah melambungkan namanya.
Kemasyhuran namanya pun bukan hanya di Cianjur, tapi juga di seluruh tanah Sunda. Ia dikenal dan diakui sebagai maestro kecapi yang mengharumkan nama Cianjur.
BACA JUGA: Ketika Anak-anak H Widayat Berebut Warisan sang Maestro
Nama maestro mamaos itu pun berkibar tinggi di era 1960-an sampai 1980-an. Ironinya, kebesaran namanya itu berbading 180 derejat dengan kehidupannya saat ini.
Bahkan, rumahnya di Kampung Sayang Semper, RT 4 RW 8, Kelurahan Sayang, berukuran 3,5×10 meter kini cukup memprihatinkan. Rumah yang dihuni bersama keluarga kakak dan adiknya itu sudah ambruk sebagian.
“Rumah sudah mau roboh. Mau diperbaiki tidak punya uang. Jadi saya tinggal di gedung Lembaga Kesenian Cianjur (LKC),” tuturnya.
Rumah itu juga sejatinya bukan miliknya. Melainkan warisan keluarga. Kini, bagian depan rumah itu retak parah akibat gempa beberapa waktu lalu. Sedangkan beberapa batang bambu, tampak terlihat menopang sejmlah bagian rumah lainnya.
Aki Dadan mengakui, pernah sekali mendapat bantuan dari Yayasan Pasundan dan pejabat pemerintah Cianjur pada 2008 untuk memperbaiki rumahnya. “Tapi setelah itu tidak ada lagi sampai sekarang,” ungkapnya.
Pria kelahiran 23 Mei 1944 itu bersikukuh enggan harus meminta bantuan kepada orang lain. Apalagi kepada pemerintah. Bukan masalah harga diri atau gengsi. Tapi itu sudah menjadi falsafah yang ia pegang selama ini.
“Kalau memang mau bantu Aki, ya terimakasih karena peduli sama Aki dan keluarga Aki,” katanya.
Sejak rumahnya nyaris ambruk itu, belum sekalipun pejabat dari pemerintah Kabupaten Cianjur yang berkunjung untuk melihat langsung kondisinya.
“Tidak apa-apa. Pokoknya Aki tidak mau minta-minta,” ujarnya sembari tersenyum.
Di gedung LKC itu, Aki Dadan mengaku tak sedikit generasi muda yang belajar kecapi kepadanya. Dengan sukarela, ia mengajarkan.
Pernah suatu ketika, delapan anak yang diajarinya mengumpulkan uang untuk memperbaiki rumahnya tanpa sepengetahuannya. Tidak banyak memang. Tapi hal itu membuatnya sangat terharu. “Aki sampai menangis, terharu. Padahal Aki enggak pernah minta,” ucapnya.
Kendati hidup dengan serba keterbatasan dan menumpang di gedung LKC, Aki Dadan tak mau berhenti memainkan kecapi. Baginya, melantunkan dawai kecapi tidak lain karena ingin budaya dan tradisi Cianjur tetap hidup.
“Selama Aki masih hidup dan bisa, Aki tetap main kecapi,” ujar Aki Dadan. (*)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti