Maestro Komponis Indonesia Itu Berpulang

Slamet Abdul Sjukur Dimakamkan Bersama Komposisi Berjudul 24 Maret

Rabu, 25 Maret 2015 – 13:14 WIB
TINGGAL KENANGAN: Slamet Abdul Sjukur (Dipta Wahyu/Jawa Pos)

jpnn.com - Belantika musik Indonesia kehilangan sosok penting dan langka. Slamet Abdul Sjukur, sang maestro musik kontemporer Indonesia, telah berpulang kemarin. Di hati para murid dan pengagumnya, karya serta ilmu yang dia tinggalkan akan selalu abadi.

MENDUNG yang terus bergelayut di langit Selasa (24/3) seolah menggambarkan kesedihan mendalam dunia musik tanah air. Sebab, salah seorang komponis legendaris mengembuskan napas terakhirnya. Dialah Slamet Abdul Sjukur.

BACA JUGA: Petenis Cantik Ini Bersinar setelah Operasi Pengecilan Dada Supernya

Pria berusia 80 tahun itu meninggal pada pukul 06.00 di RSUD dr Soetomo. Dunia musik pun terkejut. Ratusan murid, keluarga, dan teman berkabung. Mereka berkumpul di kediaman kakak perempuan sang maestro musik di Jalan Pirngadi Nomor 3, tempat jenazah Slamet disemayamkan. Air mata menetes di wajah setiap pelayat yang hadir.

Jenazah disalatkan tepat pukul 11.30. Namun, pemakaman sempat tertunda hingga pukul 14.00. Sebab, sang putri, Tiring Mayang Sari, masih berada dalam perjalanan dari Jakata. Setiba di Surabaya, Tiring disambut para pelayat. Tangis pun pecah. Semua memeluk dan menguatkan anak pertama Slamet itu.

BACA JUGA: 14 Tahun Lalu Sudah Buat Putusan Persis Vonis Sarpin

Dengan berjalan kaki, Tiring mengiringi sang ayah hingga tempat pemakaman Islam Karang Tembok, Surabaya. Dengan mengenakan kerudung putih dan baju hitam, Tiring terus menunduk. Kesedihan tidak bisa lepas dari wajahnya.

Setelah jenazah dimasukkan ke liang lahad, selembar kertas putih turut dikubur bersamanya. Itulah wasiat Slamet. Dia ingin musik juga ditanam bersamanya. Salah seorang murid terdekatnya, Gema Swaratyagita, memberikan kertas komposisi musik berjudul 24 Maret itu. 

BACA JUGA: Di Atas Kapal, Ibunda Pramugari Khairunissa Berdoa dan Menangis...

Ya, judulnya persis dengan tanggal Slamet berpulang. Musik itu gubahan murid Slamet. Yakni, Jenny Rompas. Sebuah batu nisan sederhana menjadi saksi bahwa Slamet telah meninggalkan dunia musik. ”Mohon maafkan Bapak,” ujar Tiring dengan lirih sebelum meninggalkan pusara sang ayah.

Tiring pun kaget karena sang ayah begitu cepat meninggalkannya. Sepekan sebelumnya, dia sempat menjenguk Slamet ketika terbaring di rumah sakit. Namun, dia menyatakan telah ikhlas. Apalagi, sang ibu juga meninggal pada bulan yang sama. Maret delapan tahun lalu.

Menurut dia, sang ayah adalah panutan sejati. Musik telah menjadi napas hidupnya. Semasa sang ayah hidup, Tiring ingat betul bagaimana Slamet menanamkan pentingnya berpikir positif. Setiap menatap matahari pagi, dia harus menghadapi dunia dengan senyuman.

Bahkan, di usia yang tidak lagi muda, Slamet semasa hidup masih aktif mengajar. Bukan hanya di Surabaya, tapi juga Jakarta. Selain itu, dia masih menyibukkan diri untuk mengarang lagu. Padahal, kakinya telah lama tidak bisa berfungsi normal.

Maklum, Slamet lahir dalam kondisi tidak sempurna. Polio menyerangnya. Kaki bagian kiri bukan asli. Namun, kaki itu pula yang membawanya berkeliling dunia. Setelah 14 tahun mengajar di Prancis, Slamet meninggalkan gemerlap Eropa untuk kembali ke Indonesia. Dia telah mengajar selama puluhan tahun dengan ribuan murid yang tidak lagi terhitung.

Elisawati Faried Kaspan, adik kandung almarhum, menambahkan, Slamet masuk rumah sakit sejak Senin (9/3). Awalnya, dia jatuh di kediaman sekaligus tempatnya mengajar di Jalan Keputran. Slamet mengeluhkan bahwa pinggang hingga kakinya sakit.          

Slamet sempat menolak dibawa ke rumah sakit. Sebab, ada seorang pemusik dari Jogja yang akan bertamu ke rumahnya. Begitulah Slamet. Meski sakit, dia tetap mementingkan orang lain. Setelah memastikan bahwa sang tamu bisa berkunjung ke rumah sakit, Slamet setuju untuk dibawa ke UGD RSUD dr Soetomo.

Selama berada di rumah sakit, Slamet masih seperti pribadinya yang biasa. Yakni, nyentrik, asyik, dan lucu. Dia pun sering mengajak para pembesuk berfoto bersama. Entah apakah itu firasat kepergiannya atau bukan. Yang jelas, tepat Sabtu lalu (21/3), kondisi Slamet mulai drop. 

Dia kesulitan bicara. Pria yang lahir pada 30 Juni itu menggunakan bahasa isyarat. ”Owo, owo, gitu ngomongnya. Rencana mau operasi. Padahal, sebelumnya masih bisa guyon sama murid-muridnya yang menjenguk,” ungkap Elisawati.

Akhirnya, tibalah saat itu. Slamet wafat di rumah sakit kemarin pagi. Perempuan yang akrab disapa Lis itu menyebut sang kakak mengabdikan hidupnya untuk mengajar musik. Perempuan 76 tahun tersebut mengungkapkan, Slamet meninggalkan dua anak dan dua cucu. Anaknya adalah Tiring dan Svara, sementara cucunya adalah Gema dan Bening. Slamet pun meninggal dengan musik. ”Kudangane (tembangan) Mbah dulu, cucuku bisa musik, sampai akhir kehidupan masih bermusik,” ujarnya.

Selama ini, Slamet dikenal sebagai sosok sederhana. Setelah sang istri meninggal, dia memilih hidup sendiri. Makanan kesukaannya juga bukan roti keju dan wine ala Prancis. Melainkan sambal bawang merah dengan tempe dan telur penyet.

Ong Jong Hwie, salah seorang murid Slamet, mengatakan bahwa sang guru adalah pemusik sejati. Dia mengajar dengan gaya unik. Not balok diceritakan dengan gaya yang ringan. Mulai anak kecil hingga kalangan profesional musik bisa mudah memahami ilmu yang diberikan. ”Mengajar bikin melodi, ritme, dalam bentuk permainan. Semua bisa menangkap,” ungkapnya.

Meski predikat maestro telah disandang, Slamet bukan figur yang sombong. Bahkan, dia dikenal sangat sederhana oleh para muridnya. Meski sedih, Gema Swaratyagita, murid almarhum, juga mengaku lega. Sebab, dia dan para murid lain sempat memberikan ”hadiah” untuk sang guru. Sebuah konser persembahan terakhir. 

Yakni, menggelar penampilan pemungkasnya dengan sebuah konser pribadi berjudul Sluman, Slumun, Slamet. Konser itu digelar di tiga kota. Yakni, Surabaya, Jakarta, dan Jogjakarta. Tepat saat usiaSlamet 79 tahun pada Juni 2014. ”Waktu itu kami berpikir, kenapa tidak 80? Tapi, kami bikin itu. Entah firasat atau apa. Karya-karya beliau dimainkan. Ensambel, gamelan, paduan suara. Alat musik tradisional dan modern di-explore semua,” ungkapnya.

Gema pun mengatakan bahwa sang guru tidak mempermasalahkan jika selama ini karyanya justru mendapat apresiasi di luar negeri. Musiknya telah dimainkan banyak grup orkestra dari Malaysia, Hongkong, Denmark, Prancis, Jepang, Hungaria, Swiss, Jerman, dan banyak negara lain. Sementara itu, tidak cukup banyak penghargaan dari dalam negeri. 

Meski begitu, Slamet masih tetap mengajar untuk tanah air. Muridnya sudah tidak terhitung. Misalnya saja komponis ternama Tony Prabowo dan Otto Sidharta. Dia adalah bapak komponis Indonesia. ”Beliau bukan hanya milik Surabaya, tapi juga nasional dan internasional,” tutur dia.

Berbagai karangan bunga yang dikirim Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dinas kesenian dan budaya, taman budaya, dewan kesenian, hingga Twilite Orchestra pun menjadi bukti bahwa sang maestro dikenal baik oleh banyak kalangan. Namun, karya-karyanya akan terus hidup. Selamat jalan, sang maestro… (Muniroh/c5/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tetty Moedjiati, Nenek yang Dulu Hidup Berkecukupan tapi Kini Tinggal di Pos Ronda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler