Kisah Proses Operasi Tumor Otak Meningioma Selama 25 Jam

Dokter Hanya Izin Keluar untuk Salat

Minggu, 12 Oktober 2014 – 04:51 WIB
PEMULIHAN: Kartini yang masih di ICU GBPT RSUD dr Soetomo. Dia adalah seorang pasien tumor meningioma yang menjalani operasi terlama, yaitu 25 jam. Foto: Dimas Alif/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - JANGAN abaikan rasa nyeri yang menyerang kepala Anda. Apalagi bila kualitas dan intensitasnya terus meningkat. Sebab, bisa jadi itu merupakan gejala tumor meningioma. Itu salah satu jenis tumor yang menyerang otak. Meski sifatnya jinak, proses operasi tumor tersebut terkenal lama.

Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
==========================

BACA JUGA: Pantai Minajaya, Pasir Cokelat dengan Hamparan Rumput Laut

Misalnya, yang terjadi di RSUD dr Soetomo Selasa lalu (7/10). Seorang pasien bernama Kartini menjalani operasi tumor meningioma selama 25 jam.

Kartini masuk ruang operasi pada Selasa, 7 Oktober 2014, pukul 07.00. Tim dokter yang mengoperasi adalah dr Muhammad Arifin SpBS dan dua dokter asisten, yaitu dr Heri Subianto dan dr Ema Shofiana Azkia. Juga, dokter anestesi dr Hamzah SpAn.

BACA JUGA: Tak Pernah Marah, Guru Kesederhanaan

Proses operasi memang berlangsung lama. Operasi selesai pada Rabu, 8 Oktober 2014, pukul 11.00. ’’Totalnya sekitar 25 jam, operasi berjalan lancar juga karena otaknya tenang dan tidak tegang karena anestesi yang baik,’’ ucap Arifin.

Menurut dia, kasus yang terjadi pada Kartini agak berbeda karena konsistensi tumornya keras. Dengan demikian, proses pengambilan tumor dilakukan dengan sangat pelan.

BACA JUGA: Selalu Bangun Pagi, Sempatkan Minum Kopi

Bisa dibayangkan, dalam kepala terdapat banyak jaringan lunak yang tidak boleh terkena dampak dari operasi tersebut. Letak tumor yang diidap perempuan 43 tahun itu memang dikelilingi organ vital. Mulai saraf mata, saraf penciuman, hingga salah satu kelenjar hormon.

Berbeda lagi bila tumornya lunak, proses operasi akan berlangsung lebih cepat, 3–4 jam saja.

Namun, karena tumornya keras, dokter harus berhati-hati ketika mengambil tumor. ’’Jadi, dalam setiap proses insisi (mengiris tumor, Red), itu selalu lama. Karena kami tidak boleh menyentuh bagian organ lain,’’ ujar dokter yang pernah mendalami pediatric surgery di Adelaide Hospital, Australia, tersebut.

Namun, operasi selama lebih dari 24 jam untuk dokter spesialis bedah saraf adalah hal biasa. Terkhir, Arifin melakukan operasi paling lama 20 jam dengan kasus serupa setahun lalu. Karena itu, diperlukan asisten dokter.

Jadi, selama proses operasi belum selesai, dokter hanya diberi waktu jeda saat makan dan salat. Handphone dokter yang selalu berdering biasanya diserahkan kepada perawat untuk menjawab setiap panggilan dengan mengatakan bahwa sang dokter sedang melakukan operasi.

’’Kalau mau masuk kamar operasi, biasanya saya menyiapkan mental bahwa operasinya akan berjalan lama,’’ imbuh dr Heri Subianto, dokter program pendidikan dokter spesialis bedah saraf yang menjadi asisten dr Arifin, kemarin.

Selain Heru, asisten lainnya, dr Ema Shofiana Azkia, mengatakan sudah terbiasa dengan proses operasi yang lama.

Istimewanya, Ema adalah perempuan di sarang laki-laki. Sebab, selama ini spesialis bedah saraf terkenal sebagai profesi yang berat untuk ditekuni dokter perempuan.

Bayangkan saja, dalam satu angkatan PPDS sebanyak 45 dokter, hanya ada lima PPDS bedah saraf yang perempuan.

Kasus tumor meningioma memang masih menjadi tren di kalangan perempuan paro baya. Kebanyakan pasiennya pun datang dalam kondisi yang sudah bergejala. Misalnya dalam kasus Kartini.

Menurut Arifin, tumor yang membesar sudah menekan bagian klinoid yang dekat dengan mata. Dengan begitu, penglihatan pasien berkurang.

Karena itu juga, operasi yang dilakukan tidak bisa dengan cara minimal invasive (sayatan minim). Operasi yang dilakukan tetap operasi besar dengan membuka otak pasien. ’’Tapi, tumor sudah terangkat 100 persen, dan karena jinak, tidak perlu diradiasi dan kemoterapi. Semoga perlahan penglihatannya juga akan sembuh,’’ ucapnya.

Kasus tumor meningioma yang juga biasa dikenal sebagai tumor otak jinak memang sering diderita perempuan paro baya. Namun, tidak semua kasusnya sulit dalam masa operasi seperti yang dialami Kartini.

Dia didiagnosis mengidap penyakit tumor meningioma saat sudah komplikasi pada organ lain, yaitu mata.

Menurut anak pertama Kartini, Anik, sang ibu sebelumnya tidak pernah mengeluh nyeri kepala yang selama ini menjadi gejala utama penyakit tumor meningioma.

Gejala yang dikeluhkan pada awal tahun ini adalah matanya yang buram. ’’Penglihatannya kian menurun,’’ ucap warga Banyuwangi tersebut.

Januari lalu Kartini memeriksakan matanya di salah satu rumah sakit mata swasta di Surabaya. Dia malah didiagnosis saraf mata kering.

Namun, selama masa pengobatan, matanya tak kunjung membaik. Dia pun memutuskan untuk menjalani pengobatan tradisional. Karena juga tak kunjung sembuh, Kartini memutuskan untuk berobat di salah satu rumah sakit di Banyuwangi.

Di situ, dari dokter mata, dia dirujuk ke dokter spesialis saraf. Kemudian, dia menjalani proses CT scan kepala. Di situlah dia diketahui mengidap tumor meningioma. Rumah sakit setempat langsung merujuk ke RSUD dr Soetomo.

’’Prosesnya berlangsung cepat, kecuali proses operasinya. Saya tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, selama proses operasi ibu yang sangat lama,’’ imbuh Anik. (*/c10/ib)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selalu Tidur Seranjang Berdua Sampai Sekarang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler