Kisah Purel di Tempat Karaoke Plus-plus, Dua Jenis Tarian Bertarif Mahal

Sabtu, 05 Agustus 2017 – 03:05 WIB
PSK. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Bunga, bukan nama sebenarnya, adalah seorang karyawan salon. Suatu hari, di awal 2004, dia mendapat seorang pelanggan. Seorang perempuan, yang dari penampilannya, terlihat dari kalangan menengah atas.

Benar saja, perempuan tersebut ternyata adalah bos di satu rumah karaoke di wilayah Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Saat itu dia tengah hunting perempuan yang bersedia jadi pemandu lagu alias purel.

BACA JUGA: 4 Wanita tanpa Busana di Karaoke Inul Daratista, Manajer Ditetapkan Tersangka

Di tengah-tengah proses perawatan rambut yang dia lakukan, si pelanggan tiba-tiba menawarinya pekerjaan. “Orangnya mungkin tertarik dengan tampilan fisik saya,” duga Bunga.

Bunga langsung tertarik dengan tawaran itu. Gaji yang ditawarkan besar. Jauh bila dibandingkan dengan gajinya sebagai pekerja salon saat itu.

BACA JUGA: Ramadan Masih Bisa Berkaraoke tapi Tanpa LC

Tapi, perempuan itu tak menyebut jenis pekerjaan yang harus dikerjakan Bunga. “Dia bilang pokoknya saya mau ikut, hidup dua anak saya akan terjamin,” ujarnya mengingat ucapan sang bos.

Baru ketika tiba di tempat kerja baru barulah sang bos menjelaskan. Sang bos mengatakan kalau dia harus menyanyi.

BACA JUGA: Pijat Urut Digerebek, Pakde Panut: Maaf Pak, Biar Saya Telepon Bu Haji

“Bayangan saya waktu itu menyanyi di panggung. Eh, ternyata jadi purel,” ujar Bunga, dengan senyum mengembang.

Itulah awal dia terjun di dunia ‘hiburan’. Kemudian menjadi tahu seluk-beluk prostitusi yang berkedok karaoke. Dia mengaku menjalani pekerjaan itu karena terdesak kebutuhan hidup.

Namun, menurut Bunga, dia hanya sebatas menenami menyanyi dan minum (minuman keras, Red) saja. Bila diminta lebih jauh dia berusaha menolak.

Tetapi tidak demikian halnya dengan hampir sebagian besar rekan sesama purel. Mereka berusaha mencari penghasilan tambahan dengan dua cara. Menambahi layanan dengan tarian striptease. Serta bersedia di-BO, istilah untuk “pelayanan terlarang”.

Saat itu, terang Bunga, permintaan untuk menari striptease tak melewati bos ataupun karyawan karaoke.

Hanya, tiap kali ada pelanggan yang berkantong tebal, sang pemilik selalu memberikan informasi. "Biasa kan mas. Bos dan orang berduit selalu cari yang bagus-bagus," ujarnya.

Setelah memilih pemandu karaoke, biasanya sang bos memberitahu purel agar mau melayani permintaan apapun dari pelanggan. Termasuk agar mau menari striptease. "Kan kalau tamunya makin kaya bisa kasih tarif yang makin besar," ujarnya.

Jika pelanggan datang dari kalangan atas, sang bos pun selalu meluangkan waktu menemani di room. "Ngajenilah istilahnya. Jadi dengan begitu tamunya bisa betah," ujarnya.

Meski begitu, dunia yang suram tersebut telah ia tinggalkan sepenuhnya. Alasannya, karena anak.

"Saya yakin. Meski pekerjaan itu menghasilkan banyak uang, tetap saja hidup saya susah. Pekerjaan saya saat ini hasilnya pas-pasan. Tetapi lebih berkah dan justru bisa disisihkan untuk masa depan anak saya," ujarnya.

Beda lagi dengan, sebut saja, Bulan. Wanita ini mengaku memang sengaja melamar jadi purel sejak awal. Juga di daerah Kecamatan Pare.

Karena itu, ketika ada peluang menambah penghasilan dengan memberi layanan plus-plus. Melayani permintaan striptease bahkan BO.

Menurut Bulan, awalnya ada beberapa pelanggan yang meminta layanan ‘nakal’. Permintaan itu menjurus ke hal-hal yang berbau prostitusi.

Ketika disanggupi, akhirnya permintaan seperti itu semakin banyak. Biasanya para pelanggan yang meminta karaoke plus-plus berasal dari golongan menengah ke atas.

"Biasanya pesannya lewat bos atau karyawan di situ," ujar janda satu anak tersebut.

Baru setelah itu si oknum karyawan mengungkapkan tawaran pekerjaan tambahan tersebut kepada si purel. Jika sudah disetujui, pemandu lagu hanya tinggal menanti eksekusi.

Tapi, ada cara lain untuk mendapatkan layanan plus-plus itu. Transaksi dilakukan langsung antara pelanggan dan purel. Tanpa melalui pihak karyawan karaoke.

"Biasanya saat di dalam room ada pelanggan yang menawari," ujar perempuan 30 tahunan itu.

Lewat cara kedua ini biasanya si purel bisa mendapat penghasilan yang lebih besar. Alasannya, tentu karena tidak adanya perantara pihak ketiga dalam bertransaksi. Sehingga tak ada potongan fee untuk perantara itu.

“Tempat saya dulu sih memperbolehkan. Tapi mungkin ada juga yang tidak boleh,” ujarnya.

Karena kebebasan itu, di tempat kerjanya dulu muncul istilah ‘cewek BO’. Istilah untuk menunjukkan cewek yang bisa dibooking. Jika seorang pelanggan menghendaki adanya servis lebih yang menjurus ke hubungan terlarang, sejumlah rekannya pun bersedia melayani itu.

Tentunya dengan tarif tambahan yang nilainya lebih besar. Tapi, Bulan mengaku tak tahu harga layanan itu karena dia enggan melakukan.

Beda dengan striptease, Bulan mengaku bersedia melakukan atraksi tersebut. Menurut perempuan kelahiran Mojokerto ini, ada dua jenis tari striptease.

Yang pertama hanya dengan bagian dada yang terbuka. Sedangkan yang kedua adalah dengan tidak mengenakan sehelai kain pun di tubuh. "Dan itu tarifnya berbeda," ujarnya. (zl/fud)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Operasi Dimulai di Kafe Bibir dan Dilanjutkan ke Apartemen, Hasilnya?


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Purel   karaoke  

Terpopuler