jpnn.com - TIGA tahun sudah, Nur Lestoni, wanita berusia 80 tahun yang tinggal di KM 12, Sorong, Papua Barat positif kena tumor ganas.
Kian hari perutnya semakin membengkak. Dia tak pernah berurusan dengan medis. Bukan karena tak mau, melainkan karena tak mampu. Sayang, Nur tidak memiliki kartu sakti yang bisa mengurus biaya perawatannya. Untuk meredam rasa sakit, ia meminum sejumlah ramuan tradisional racikannya.
BACA JUGA: Parah! Puluhan Santri Keracunan Fogging
Wajah wanita ini terdapat guratan jelas yang membentuk sejumlah garis. Di tangannya yang mengering pun bernasib serupa, terdapat garis-garis halus di permukaan kulitnya. Meski demikian, senyum ramah jelas terpancar dari wajah wanita berusia 80 itu. Menambahkan sejumlah guratan di wajahnya.
Meski tertutup balutan gamis hitam bermotif oranye, dengan hijab yang menutupi mahkotanya. Tubuhnya terlihat kurus. Kotras dengan perutnya yang tampak mengembul alias membuncit. Bisa dibilang perut Nur sama dengan perut wanita hamil dengan usia kandungan sembilan bulan.
BACA JUGA: Buaya Bukan Sembarang Buaya, Nongkrong di Tepi Parit, Heboh!
“Mulai begini (membesar, red) itu di tahun 2013,”kata Nur saat berbicang dengan Radar Sorong di rumahnya.
Istana Nur sebuah rumah sederhana yang berdiri di atas lahan pinjaman. Rumah panggung berukuran 5 x 5 meter, dengan seng berkombinasi papan sebagai tembok dan atap rumah.
BACA JUGA: Wanita Malaysia Jual Diri di Singkawang, Nih Fotonya
Di dalam rumah terlihat pakaian yang menumpuk dan menggelantung. Sebuah kompor, magic com, dan kipas mini terlihat berjajar di sudut ruangan. Tak ada ruang lain.
Hanya sepetak ruang berukuran lima kali lima. Di ruangan mini itulah Nur, cucunya yang telah yatim piatu Sulaiman, bersama anak bungsunya, menantu dan tiga anaknya tinggal. “Sudah ada 3 bulan kita tinggal disini,”kata Nur dengan tersenyum simpul.
Sejak sang suami meninggal secara tragis, tersengat listrik pada tahun 2012, Nur mulai mencari pundi-pundi rupiah dengan berdagang seadanya. Dia pun memilih tinggal dengan mengontrak sebuah rumah di kawasan Melati Raya. Hari demi hari ia jalani dengan ikhlas. Terlebih ada sang cucu, Sulaiman, yang selalu setia mendampinginya.
Hingga pada tahun 2013, tiba-tiba Nur merasakan mual hebat pada perutnya. Ia lalu dilarikan ke RSUD Sele Be Solu. Selama 3 hari, Nur menjalani perawatan intensif. Tim medis lalu menyarankan Nur untuk menjalani operasi.
“Saya diminta puasa, karena mau dioperasi. Tapi pas besoknya, dokter bilang tidak jadi. Operasi cuma bisa di Makassar, karena saya kena tumor ganas,”kenang Nur dengan mata berkaca.
Mendengar ada tumor ganas yang hinggap di tubuhnya, Nur seakan tersambar petir. Lidahnya kelu, tubunya bak terpental. Kalimat selanjutnya dari tim medis membuat Nur tercekik. Karena tidak memiliki kartu ajaib seperti Jamkesmas, Nur diminta menyiapkan uang minimal Rp 40 juta. Untuk mengangkat tumor yang bersarang di tubuhnya.
Nur kehilangan arah. Dia tak memiliki barang berharga untuk dijual. Dia juga bukan tuan tanah yang bisa menjual sebidang tanah. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa.
Para tetangga yang mengetahui keadaan Nur lalu mulai berdatangan. Mereka menyarankan Nur meminum ramuan-ramuan herbal dari tumbuhan. Betbagai jenis tumbuhan pun dia coba. Dari daun sirsak, mahkota dewa, mengkudu, hingga daun yang cukup sulit didapatkan. Semua ia jalani, demi kesembuhannya. "Saya sempat drop lagi, baru dibawa ke Rumah Sakit lagi, ada satu minggu di rawat,” tutur ibu dari tujuh orang anak ini.
Karena kondisi kesehatannya, Nur terpaksa mengorbankan sang cucu, Sulaiman. Sulaiman yang seharusnya mulai masuk Sekolah Dasar, terpaksa hanya bisa berdiam diri di rumah. Bukannya tak berusaha, Nur telah menyisisihkan uang khusus untuk biaya sekolah Sulaiman. Tapi karena kondisinya yang melemah, uang harus digunakan untuk berobat.
“Saya sudah belikan dia seragam, tapi belum saya daftarkan sekolah. Karena saya sakit bagaimana uang sekolahnya, siapa yang antar dia sekolah,” kata Nur yang didampingi Sulaiman.
Sulaiman pun akhirnya hanya menjalani harinya di rumah. Di usianya yang beranjak 10 tahun, Sulaiman tak pernah merasakan warna dan keceriaan dunia pendidikan.
Untuk menyenangkan hati, Sulaiman kerap menggunakan seragam merah putih yang dibelikan sang nenek tiga tahun silam. Seragam yang terlihat menyusut di tubuh Sulaiman. “Itu seragam yang saya belikan waktu mau sekolah, dia sering pake,” kata Nur sembari menunjuk Sulaiman yang menggunakan seragam dengan rapi.
Nur memang memiliki tujuh orang anak. Tapi, nasib anaknya tidak lebih beruntung dari dirinya. Rata-rata anak-anak Nur hidup pas-pasan. Sehingga Nur juga tak tega untuk meminta bantuan anaknya. Sebelumnya, ada seorang putranya yang kerap memberinya uang tiap bulan. Namun, setelah beristri putranya yang merantau di Jakarta mulai berubah. Dia sudah jarang menghubungi Nur.
Tak hanya itu, beberapa putrinya yang telah berumah tangga juga jarang menghubunginya. Yang tersisa hanya putra bungsunya. Putranyalah yang membawa Nur bersama Sulaiman ke rumah bak gubuk berukuran 5 kali 5 miliknya. Di gubuk itulah Nur, Sulaiman, putra bungsu Nur beserta istri dan ketiga anaknya tinggal. Rumah yang esensialnya hanya ditinggali dua orang, namun harus ditinggali tujuh orang.
“Biar susah saya ikhlas, saya tidak mau minta-minta. Karena orang tua mengajarkan kepada saya untuk tidak minta-minta apa pun yang terjadi. Saya pasrah, kalau ada mau bantu saya senang. Tapi kalau untuk minta saya tidak bisa,” katanya terisak. (ayu/adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ansor Jabar Bersiaga Hadapi Upaya Makar
Redaktur : Tim Redaksi