Kisah Spiritual: Hidup Penuh Misteri

Senin, 28 Mei 2018 – 03:40 WIB
Prof Dr Mudjia Rahardjo, Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur.

jpnn.com, MALANG - Siang itu, kira-kira pukul 13.00, jam pelajaran di sekolah dasar tempat saya mengenyam pendidikan formal pertama hampir usai. Beberapa teman sudah siap-siap pulang.

Saat itu saya duduk di kelas 6. Entah mengapa guru Agama saya yang bernama Pak Ismail tiba-tiba mendekati saya. Sambil menepuk bahu saya, beliau bertanya, nanti setalah lulus SD mau sekolah ke mana?

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Bertindak Lokal, Berpikir Global

”Gak tahu, Pak,” jawab saya.

Saya benar-benar tidak tahu apa akan melanjutkan sekolah atau tidak karena rata-rata saat itu teman-teman SD jarang sekali yang melanjutkan sekolah. Malah beberapa langsung menikah atau membantu kerja orang tuanya di sawah. Seingat saya, di desa saya, yang melanjutkan sekolah ke SMP hanya dua orang, yaitu anak Pak Lurah dan Pak Kamituwo. Maklum, desa saya saat itu sangat terbelakang dan rata-rata penduduknya miskin. Jangankan untuk menyekolahkan anak mereka, untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja susah. Mereka sama sekali tidak memikirkan pentingnya pendidikan.

Pak Ismail adalah guru Agama yang sangat sabar dan dicintai para siswa. Beliau menyemangati saya dengan mengatakan, ”Tak doakan kamu nanti bisa terus sekolah ya sampai jenjang pendidikan tertinggi,”.

Mendengar ucapan Pak Ismail itu saya hanya tersenyum karena tidak yakin apa saya bisa melanjutkan sekolah atau saya diizinkan kakek dan nenek (maklum, saya sejak usia 1 tahun ikut nenek karena keburu punya adik).

Sebagai petani desa, kakek dan nenek saya tidak begitu kaya, tetapi juga tidak terlalu miskin. Saya pun tidak tahu apa yang dimaksudkan Pak Ismail ”sampai jenjang pendidikan tertinggi” itu. Saya juga tidak tahu apa yang ada di benak Pak Ismail tentang saya, karena hanya kepada saya saja beliau mengatakan hal itu.

Singkat cerita, harapan Pak Ismail menjadi kenyataan. Saya dan beberapa teman akhirnya melanjutkan sekolah ke SMP swasta tidak jauh dari desa kami. Alhamdulillah semua keluarga mendukung saya melanjutkan sekolah.

Tetapi usai sekolah harus tetap membantu bekerja di sawah dan mencari rumput untuk makanan sapi. Pendidikan SMP saya lalui tanpa ada kendala dengan prestasi akademik biasa-biasa saja.

Peristiwa seperti di SD saya alami lagi di SMP. Menjelang kelulusan, kepala sekolah SMP itu menepuk pundak saya dan bertanya melanjutkan ke mana setelah lulus SMP ini.

Saya menggelengkan kepala karena saya sungguh tidak tahu akan melanjutkan sekolah atau tidak. Tanpa saya tahu, tiba-tiba kepala sekolah itu datang ke rumah saya dan meminta izin agar saya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya.

Saya pun didaftarkan ke Sekolah Teknologi Menengah (STM) di Blitar Jurusan Teknik Sipil bersama satu orang teman.

Mengapa STM? Karena harapannya setelah lulus bisa langsung bekerja. Harapan itu tidak salah karena saat itu beberapa proyek pembangunan sedang dikerjakan di daerah Blitar. Lulusan STM dengan sangat mudah bisa bekerja di proyek-proyek itu.

Untuk yang ketiga kali peristiwa seperti di SD dan SMP terulang lagi. Usai kelulusan STM, wali kelas saya, seorang ibu guru bergelar BA, juga bertanya setelah lulus STM mau ke mana.

”Saya mau bekerja Bu, seperti teman-teman yang lain,” jawab saya. ”Oh, saya gak setuju kamu bekerja. Sebaiknya kamu kuliah saja,” kata ibu guru.

”Kuliah itu apa, Bu?” tanya saya polos. ”Kuliah itu sekolah lagi di perguruan tinggi setelah lulus sekolah menengah,” jelas Bu Guru. Maklum, jarang sekali anak STM yang melanjutkan kuliah.

Di STM, prestasi saya sangat baik dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik saat malam perpisahan. Esok harinya, tanpa sepengetahuan saya, beberapa guru datang ke rumah saya di desa dan meminta ke keluarga saya agar saya bisa melanjutkan sekolah (kuliah).

Terjadi tarik-menarik. Keluarga saya bingung dengan usulan para guru itu, terutama menyangkut biaya. Terutama, kakek saya yang paling tidak setuju. Takut kalau sawah atau sapinya terjual untuk biaya sekolah.

Di tengah-tengah tarik-menarik itu, nenek saya tegas mengizinkan dan saya akhirnya kuliah ke Malang dan mendaftar di IKIP Malang (saat ini UM). Karena saya lulusan STM Jurusan Tekinik Sipil, saya mendafar di IKIP Malang jurusan Pendidikan Teknik Sipil.

Secara kebetulan, saya tinggal di rumah kos bersama seorang dosen bahasa Inggris. Dia terus memengaruhi saya agar saya pindah jurusan, karena di masa depan, bahasa Inggris sangat penting.

Pengaruh pak dosen muda itu luar biasa bagi saya. Sehingga saya siap-siap untuk daftar lagi di IKIP Malang memilih Jurusan Bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris saya sangat kurang, maka saya mengambil kursus. Tahun berikutnya, saya benar-benar mendaftar di Jurusan Bahasa Inggris, dan akhirnya diterima. Persaingan sangat ketat saat itu. Maklum, bahasa Inggris adalah jurusan paling favorit di IKIP Malang. Anehnya, di jurusan itu saya satu-satunya alumni STM yang diterima.

Malah, ada pegawai dari bagian penerimaan mahasiswa mengatakan aneh saya bisa diterima. Mestinya lulusan STM tidak bisa daftar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sambil berkelakar dia mengatakan, ”mungkin petugas pendaftar tidak membaca ijazahmu dengan teliti, sehingga kamu bisa lolos. Atau, ada malaikat yang menutup mata petugas saat itu,”.

Lulus dari IKIP Malang, saya mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi sebelum akhirnya melamar menjadi dosen di UIN Malang. Saat itu masih berstatus Fakultas Tarbiyah Malang cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ketika saya mendaftarkan diri sebagai dosen, tak seorang pun yakin saya diterima. Sebab, jatah untuk Fakultas Tarbiyah Malang hanya 1 orang, sedangkan pendaftar calon dosen lebih dari 60 orang. Beberapa dari mereka sudah lama antre sebagai dosen honorer.

Secara nalar sangat bisa dipahami. Bahkan seorang staf pendaftaran sempat mengatakan, apa gak sebaiknya saya cari tempat lain yang peluangnya lebih besar daripada di fakultas ini yang hanya untuk 1 orang. Dengan halus saya mengatakan, ”Gak, Pak, siapa tahu satu peluang itu untuk saya,” jawab saya. Lagi pula, saya memang ingin menjadi dosen di kampus ini.

Singkat cerita, saya lulus seleksi dan satu peluang itu benar-benar untuk saya. Banyak orang terkejut antara percaya dan tidak. Tetapi itulah kenyataannya.

Ketika mengawali tugas sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) usai menerima Surat Pengangkatan, saya ditempatkan di Bagian Akademik dengan tugas melayani keperluan dosen, mulai mengetik soal ujian, menggandakan, mengantar hasil ujian, dan juga menulis ijazah dan transkrip. Semua saya laksanakan dengan tulus ikhlas dan penuh amanah.

Suatu kali seorang ibu dosen senior yang saya layani berbincang-bincang dengan saya sambil bertanya nama saya siapa, dari mana, dan tinggal di mana. Kok tiba-tiba nyeletuk, ”Kok kerja di sini, Dik? Nanti gak bisa jadi pejabat lho. Jadi kajur (ketua jurusan) saja susah,”. Seketika saya menjawab ”Saya gak ingin jadi pejabat, Bu. Diterima jadi dosen saja saya sudah bersyukur,”. Ibu itu diam saja sambil senyum.

Dengan berstatus sebagai dosen, saya mesti meningkatkan kompetensi dan kualifikasi. Jika tidak, saya nanti akan tertinggal. Karena itu, saya sambil bekerja harus kuliah S-2. Usai lulus S-2, saya juga berpikir, sebagai dosen, saya harus sampai pendidikan puncak. Karena itu, pada tahun 1999 saya melanjutkan studi S-3 ke Universitas Airlangga Surabaya mengambil Program Studi S-3 Ilmu-Ilmu Sosial. Pada tiga semester awal kuliah padat sekali, sehingga saya harus pandai membagi waktu antara kerja dan kuliah.

Di akhir semester pertama akan ada ujian akhir tulis untuk beberapa mata kuliah. Kebetulan saya sedang siap-siap menunaikan ibadah haji. Di luar kelas, saya minta ke beberapa dosen tidak bisa ikut ujian akhir dan mohon diberi kesempatan menyusul.

Kendati agak berat mengizinkan, saya diberi kelonggaran ujian susulan setelah pulang haji. Di tengah-tengah kesibukan menjalankan ibadah haji, saya sempat berpikir bagaimana ujian di kampus dan berdoa semoga saya diberi kelancaran ketika mengikuti ujian susulan.

Ketika teman-teman pada ziarah haji, saya bertanya bagaimana ujian akhir semesternya. Betapa kagetnya saya karena ternyata semua dosen menunda ujian dan menunggu kedatangan saya dari haji agar tidak membuat soal dua kali. Alhamdulillah, doa saya di Tanah Suci dikabulkan Allah. Wal hasil, studi S-3 saya lalui dengan lancar, dan saya menjadi lulusan pertama di program studi itu untuk angkatan itu, kendati bukan lulusan terbaik.

Dalam konteks pengembangan fisik kampus, ada peristiwa yang sulit saya lupakan hingga saat ini. Sebagai manajer pembangunan kampus melalui dana IDB (Islamic Development Bank), saya terlibat cukup dalam dengan pernik-pernik pembangunan.

Suatu saat, atas izin konsultan, letak gedung Students Center dan Sport Center ditumpuk demi penghematan lahan. Menurut konsultan, itu diizinkan karena toh tidak menambah luas dan biaya pembangunan. Biaya dua gedung itu mencapai sekitar Rp 75 miliar.

Singkat cerita, bangunan itu jadi ditumpuk sebagaimana hari ini kita saksikan. Nah, ketika ada inspeksi dari IDB melalui perwakilannya di Kuala Lumpur, langkah itu dianggap salah fatal, karena tanpa izin dulu dari pihak IDB sebagai penyandang dana. Akibatnya, pihak IDB murka karena dianggap melakukan perubahan pembangunan gedung tanpa izin terlebih dulu. Kami semua pengurus proyek dipanggil ke Bappenas di Jakarta dan ditemukan dengan perwakilan IDB. Kami dimarahi habis-habisan.

Dan celakanya, IDB tidak akan mau membayar biaya gedung yang sudah jadi dengan anggaran sebesar Rp 75 miliar itu. Kita diminta mencari biaya sendiri untuk membayar kontraktor. Semua bingung dari mana mencari dana sebesar itu.

Dr Nijad sebagai koordinator proyek IDB untuk UIN Malang yang biasanya lemah lembut dan santun juga ikut marah dan kecewa berat atas kejadian tersebut. Tetapi, saya sangat memahami kemarahan dan kekecewaan beliau, karena itu menyangkut track record beliau sebagai koordinator.

Di tengah-tengah kebingunan itu saya berpikir, harus meminta pertolongan ke mana lagi jika tidak ke Allah? Sebab, meminta pertolongan ke manusia sudah mentok semua.

Saya usul ke rektor UIN Malang saat itu (Prof Imam Suprayogo) untuk umrah sambil bertandang ke kantor IDB di Jeddah. Ketika di Jeddah, saya menghubungi Dr Nijad dan menyampaikan keinginan untuk bertemu. Saya masih ingat beliau mengatakan dalam bahasa Inggris yang artinya, ”Untuk apa bertemu? Semua sudah jelas, bahwa IDB tidak mau membayar biaya gedung Student Center dan Sport Center itu,”. Kami berpikir tidak akan pulang ke Indonesia sebelum persoalan selesai.

Sore itu kami berdua meninggalkan hotel di Jeddah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah. Dari hotel kami sudah berpakaian ihram. Keajaiban terjadi. Di lift hotel kami menginap, secara tiba-tiba bertemu Dr Nijad yang juga sudah berpakaian ihram dan sama-sama ingin umrah bersama keluarganya.

Dalam waktu hitungan detik, di lift itu saya sampaikan keinginan untuk bertemu esok hari di kantornya. Dengan menatap wajah kami dalam-dalam, beliau mengatakan, ”Silakan kalau mau. Saya di kantor besok sekitar jam 10.00,”.

Kesediaan Dr Nijad menerima kami itu membuat kami sangat bahagia. Terbayang persoalan akan selesai karena beliau bersedia menerima kami. Sesuai waktu yang dijanjikan, kami akhirnya bertemu Dr Nijad di kantornya. Kali ini beliau menerima kami dengan lemah lembut dan mengatakan akan berkunjung ke proyek UIN Malang dalam waktu dekat. Karena itu, kami diminta untuk menyiapkan semua berkas dana membuat kronologi peristiwa serta siap diaudit.

Janjinya ditepati. Bulan berikutnya beliau benar-benar datang untuk menyelesaikan persoalan proyek. Setelah selama 3 hari di kampus dan melihat hasil pekerjaan serta dari audit, dikatakan tidak ada unsur korupsi atas nama IDB. Beliau akhirnya menyatakan akan membayar semua biaya gedung tersebut dengan catatan tidak diulangi lagi. Kami dan seluruh warga kampus tentu sangat lega dengan penyelesaian itu.

Secuil kisah hidup saya itu tentu tidak untuk dipamerkan, tetapi dipetik pelajaran, bahwa campur tangan Allah itu ada dalam setiap urusan kita. Sesuatu yang menurut nalar tidak mungkin, atau setidaknya sulit terjadi, ternyata begitu mudah di tangan Allah.

Harapan guru agama saya, Pak Ismail, kepala SMP, dan guru-guru di STM agar saya bisa menggapai pendidikan tertinggi (S-3) terkabul. Keraguan ibu dosen bahwa saya tidak mungkin bisa menjadi pejabat dengan bekerja di Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel tidak terbukti, karena saya sempat diberi kepercayaan oleh pemerintah memimpin kampus Islam ini menjadi rektor. Sekali lagi, itu semata-mata campur tangan Allah agar umatnya tidak suuzon.

Tampaknya, ungkapan ”hidup adalah misteri’ sungguh relevan untuk menggambarkan kisah saya di atas. Hidup bukan sekadar sebuah titik antara kelahiran dan kematain. Hidup adalah episode perjuangan.

Di dalamnya ada suka, duka, kekecewaan, kesenangan, kebahagiaan, kegagalan, keberhasilan, dan sebagainya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, bagaimana terjadinya, dan di mana. Yang dapat kita lakukan ialah berencana mengisi kehidupan sesuai yang kita cita-citakan

Kehidupan itu indah dan menyenangkan. Karena hidup, kita dapat menikmati dunia dan isinya. Karena itu, kehidupan ini harus diisi dengan amal saleh lewat profesi apa pun yang kita sandang; apakah kita menjadi pendidik, pegawai kantor, polisi, tentara, pedagang, politisi, pejabat negara, dan sebagainya.

Semua profesi itu bisa mengantarkan turunnya rahmat atau kasih sayang Allah jika ditunaikan dengan baik dan niat suci bahwa bekerja merupakan amanah Allah disertai sikap husnuzon. Karena itu, menyandarkan diri pada kekuatan nalar atau logika semata pada setiap langkah untuk menggapai tujuan sebagaimana prinsip sebagian orang-orang yang mengaku ”modern” adalah sikap sombong yang semakin menjauhkan diri dari rahmat Allah.

Capaian-capaian seseorang dalam hidup belum disebut keberhasilan hakiki. Keberhasilan adalah ketika kehidupan itu bermakna, baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan, dan tentu bermakna di mata Tuhan. Karena itu, sukses hidup seseorang bukan semata diukur berapa lamanya hidup, apa saja prestasi dan kariernya, dan berapa banyak harta yang dikumpulkan. Tetapi, sukses itu telah berbuat apa bagi orang lain dan lingkungannya. (radarmalang/jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler