jpnn.com, MALANG - Pada masa kecil saya, sekolah libur selama satu bulan penuh pada setiap bulan Ramadan. Kebetulan rumah saya dekat dengan langgar (musala).
Setelah selesai salat Subuh, saya bersama teman-teman sebaya langsung bermain dari pagi sampai menjelang asar. Jenis permainan waktu itu adalah engklek, bekelan, jumprit singit, lompat tali pakai karet dironce, dan lain-lain.
BACA JUGA: Di Bulan Ramadan, Sarwendah Ajarkan Putrinya Berbagi
Tidak ada jenis permainan yang alat-alatnya harus dibeli karena semuanya bisa dibuat sendiri.
Di kampung saya, suasana bulan puasa benar-benar terasa berbeda dengan bulan-bulan yang lain. Menjelang salat Asar, semua permainan berhenti. Saya dan teman-teman, kami semua datang ke langgar.
BACA JUGA: Puasa Bagus untuk Detoks, Nasi Merah Cocok buat Sahur
Di sana ada seorang ustad yang memberi ceramah. Isinya tentang pembinaan mental dan spiritual anak-anak. Sampai waktunya berbuka, kami mendapatkan takjil sepotong pisang goreng, atau jajanan lainnya seperti lemet, gethuk, dan jemblem.
Tidak lebih dari itu, tetapi dengan suasana hati yang sangat gembira kami pulang ke rumah masing-masing untuk berbuka puasa.
BACA JUGA: Ponpes Kampung Minoritas: Sempat Dilarang Bangun Musala
Setelah berbuka puasa bersama keluarga, kami kembali lagi ke langgar untuk salat Tarawih. Habis Tarawih, saya bersama teman-teman bermain lagi sampai malam menjelang tidur. Kegiatan rutin seperti ini saya jalani selama bulan Ramadan. Saya jalani tanpa beban, bahkan saya merasa bahagia sekali selama bulan Ramadan. Sekarang saya sadar, rupanya sumber kebahagiaan itu adalah liburan selama satu bulan penuh dan permainan tradisional bersama teman-teman tanpa harus mengeluarkan biaya.
Puncak kebahagiaan itu terjadi di saat perayaan Idul Fitri atau Hari Raya Lebaran. Bukan sekadar berkumpul bersama keluarga besar atau memakai baju baru, melainkan mendapatkan ”pemberian uang” dari orang tua, kakak, atau saudara yang sudah memiliki penghasilan karena telah bekerja, dan juga dari tetangga. Saya bersama teman-teman berkunjung ke rumah-rumah tetangga untuk mendapatkan semacam ”angpao” di hari kemenangan itu. Kami tidak bisa menjelaskan maknanya menurut ajaran agama. Kami hanya menjalaninya sebagai bagian penting dan menyenangkan yang kami nanti-nantikan setiap Hari Raya Lebaran.
Suasana bulan Ramadan yang saya alami, sejauh pengamatan saya, tidak dialami oleh anak-anak saat ini. Menurut saya, ada dua faktor yang membedakan. Pertama, saat ini tidak ada libur sekolah satu bulan penuh selama bulan Ramadan. Liburan hanya pada awal puasa, sekitar tiga hari, dan pada akhir bulan puasa, yakni saat perayaan Idul Fitri. Banyak alasan pemerintah atau pengelola sekolah tidak meliburkan anak-anak selama satu bulan. Di antaranya, kekhawatiran terlambat pelajaran sehingga tidak memenuhi ketentuan kurikulum.
Kedua, permainan anak-anak zaman now tentu berbeda dengan baby boomers karena dampak pembangunan yang dipercepat oleh teknologi informasi melalui internet. Pada zaman saya, permainan tradisional kami mainkan bersama di ruang terbuka di halaman rumah penduduk tanpa mengeluarkan biaya.
Sekarang sudah tersedia playground di mal dengan biaya sewa sesuai lamanya permainan. Tersedia pula sarana bermain yang dapat digunakan di mana saja dan kapan saja seperti games menggunakan gadget. Jenis-jenis permainan sekarang bisa dilakukan dalam kelompok, namun lebih banyak dilakukan secara individu.
Terlepas dari dampak positifnya, penggunaan gadget memberi pengaruh yang cukup banyak terhadap perkembangan kepribadian dan sikap perilaku anak-anak saat ini. Misalnya, kecenderungan perilaku individualistis dan keinginan memperoleh sesuatu secara cepat atau instan.
Anak-anak saat ini sangat mudah dan cepat belajar hal baru karena sarana dan prasarana tersedia serta didukung oleh kondisi ekonomi keluarga. Yang diperlukan saat ini adalah arah pendidikan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan memiliki akhlak yang mulia.
Kita bisa melihat beberapa bangsa yang maju dalam teknologi tetapi tidak melupakan budayanya. Sebagai contoh, bangsa Jepang dan Korea Selatan. Mereka berhasil mengembangkan teknologi maju tetapi tetap mempertahankan budayanya.
Bisa dilihat dari beberapa hal seperti pakaian tradisional, sikap hormat terhadap orang lain, terutama yang lebih tua, permainan atau olahraga tradisional seperti Sumo, cinta produk negara sendiri, dan lain-lain.
Dalam hal tertentu, berbagai kegiatan pada bulan Ramadan adalah bagian penting dari budaya. Ziarah makam, silaturahmi, mudik, saling mengantar makanan hantaran, ketupat Lebaran, rekreasi, dan sebagainya adalah contoh beberapa hal yang banyak bersentuhan dengan aspek budaya daripada agama. Permainan-permainan tradisional seperti masa kecil saya adalah budaya lokal yang saat ini hampir punah.
Kemajuan teknologi tidak terelakkan telah mendorong terjadinya globalisasi sebagai salah satu penyebab utama terhadap ancaman punahnya budaya lokal. Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Terkait aspek budaya, sebagian orang memandang beberapa hal yang dilakukan selama bulan Ramadan maupun saat Lebaran sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Cara pandang ini tampaknya banyak dipengaruhi oleh arus globalisasi. Dalam hal ini, globalisasi dimaknai sebagai suatu proses menjadikan sesuatu (perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah.
Namun, perlu diingat bahwa globalisasi yang dikumandangkan oleh sebagian besar bangsa-bangsa Barat justru di bangsa-bangsa Barat sendiri berkembang prinsip ”Think globally, act locally” atau berpikir secara global, bertindak secara lokal. Prinsip ini populer sekitar tahun 1980-an, tetapi awalnya dikemukakan oleh Partick Geddes, seorang perencana dan aktivis sosial kebangsaan Skotlandia, pada tahun 1915.
Kemajuan teknologi dan globalisasi menuntut kita berpikir secara global, tetapi bertindak secara lokal. Misalnya, masyarakat global memiliki keberagaman agama, etnis, dan budaya sehingga untuk bergaul dalam masyarakat global sepatutnya kita menerima atau toleran terhadap keberagaman tersebut. Di saat yang sama, seharusnya kita juga tetap mempertahankan ciri khas kita sebagai bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Ciri khas yang dilakukan umat Islam selama bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri dapat dilakukan sebagai kearifan lokal yang merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam berbagai bentuk religi, budaya, tradisi, dan adat istiadat.
Globalisasi bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk memperkenalkan budaya bangsa Indonesia ke dunia internasional. Sebagai contoh, kita bisa memperkenalkan kuliner tradisional yang menjadi suguhan di bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri ke dunia internasional.
Dengan kata lain, berpikir global bertindak lokal adalah globalisasi budaya lokal dengan melakukan publikasi kekayaan tradisi yang kita miliki. Hal ini tidak saja menguatkan budaya kita di mata dunia, tetapi juga berdampak positif dalam meningkatkan perekonomian rakyat di kemudian hari .
Bangsa Jepang dan beberapa bangsa lain berhasil mempertahankan budaya lokalnya sehingga dikenal di dunia internasional. Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memperkenalkan keragaman budaya lokalnya kepada dunia internasional.
Generasi muda saat ini akan dengan mudah melakukannya di zaman milenial melalui teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu, generasi muda yang sudah berpikir global perlu diperkuat dengan pemahaman akan budaya lokal sehingga tetap bertindak secara lokal.
Upaya yang saya lakukan untuk mempertahankan faktor budaya dan agama dalam bulan Ramadan dan Lebaran adalah menciptakan suasana dalam keluarga bersama anak-anak dan cucu-cucu (jumlah keluarga kurang lebih 60 orang). Kami menciptakan acara keluarga yang berkesan untuk membuat kami selalu rindu dan menantikan datangnya bulan puasa dan saat Lebaran yang indah; setelah salat Ied di tempat masing-masing, seluruh keluarga besar datang ke rumah untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan (buras, kikil lontong, sate, dan rawon).
Setelah santap pagi, dilanjutkan dengan ziarah kubur ke makam orang tua dan saudara kami yang telah meninggal dan untuk mempererat tali silaturahmi semua keluarga besar. Mudah-mudahan tradisi ini tetap kami lakukan setiap Lebaran tiba, termasuk pembagian galak gampil ”angpao” dan menjiwai kehidupan kami di era globalisasi untuk berpikir secara global tetapi tetap bertindak secara lokal. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendes PDTT Gelar Festival Embung Ramadan
Redaktur : Tim Redaksi