Didar Ali hafal hampir semua barang yang ada di tokonya hanya dengan menyentuh dan mencium baunya, setelah kondisi penglihatannya kian menurun.
Sejak membuka toko Daily Market pada tahun 2014 di daerah Naracoorte, Australia Selatan, penglihatan mantan pengungsi Afhan itu perlahan-lahan memburuk. Tapi dia jarang memikirkannya.
BACA JUGA: Australia Nyatakan Vaksin COVID Ini Aman untuk Anak 5-11 Tahun
"Sangat tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada mataku. Saya ingin hidup bahagia," ujar Didar.
"Saya berusaha menggunakan pikiran, hati atau tangan saya dalam bekerja," katanya kepada ABC.
BACA JUGA: Erupsi Gunung Semeru, Dewan Dawah Kirim Personel untuk Bantu Pengungsi
Tampaknya Didar cukup berhasil. Selama tujuh tahun menjalankan usaha tokonya, dia sudah memiliki pelanggan setia, melayani kebutuhan sehari-hari warga dari latar belakang budaya yang banyak bermukim di kawasan antar Melbourne dan Adelaide itu.
"Saat pertama kali datang ke sini, belum ada yang menjual bahan makanan asal negara kami. Harus menempuh lima jam perjalanan ke Adelaide atau Melbourne untuk mendapatkannya," kata Didar.
BACA JUGA: Warga Difabel Indonesia Gunakan Teknologi Digital untuk Bertahan di Tengah Pandemi
Dia membuka toko barang kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat asal Afghanistan yang kian berkembang. Kini dia mengimpor ratusan barang produksi dari puluhan negara.
Migran asal Laos, Iran, Samoa, dan negara lainnya yang tinggal di sekitar Naracoorte, kini ramai datang ke toko Didar untuk membeli teh, rempah-rempah, minuman ringan, mainan anak-anak, ikan beku, hingga sayuran.
"Saya tahu dari negara mana sebagian besar bahan makanan ini berasal dan apa yang disukai oleh konsuen," katanya.
"Jika barangnya tidak ada di sini, mereka biasanya memesan untuk saya carikan," kata Didar. Mendapat bantuan putrinya
Untuk membantu melayani konsumen, putri Didar yang berusia 9 tahun, Raihana, sering turun tangan dan mengoperasikan mesin kasir.
Raihana, anak tertua dari pasangan Didar dan Basbanoo, mengaku suka membantu ayahnya sepulang sekolah dan di akhir pekan.
"Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama ayahku," ujarnya.
"Meskipun kondisi penglihatannya semakin menurun, dia masih terus bekerja untuk kami," kata Raihana, bangga pada ayahnya.
Didar merupakan satu dari ribuan orang Hazara yang melarikan diri dari Afghanistan pada tahun 2008 dan berhasil tiba di Indonesia.
Setelah tinggal selama beberapa saat di Indonesia, Didar bersama pengungsi lainnya memulai perjalanan laut dengan yang berbahaya dengan perahu kayu ke Australia.
Semua itu terus menjadi kenangan pahit bagi Didar.
"Lebih dari 40 tahun perang, kondisi Afghanistan sangat buruk sekarang. Perang belum berhenti," katanya.
"Orang selalu bertengkar satu sama lain. Bagi saya, hal itu sangat menyedihkan," ucap Didar.
Setelah ditahan selama dua bulan di Pulau Christmas, ia akhirnya dipindahkan ke Brisbane pada tahun 2008 dan mendapatkan visa penduduk tetap.
Didar lalu pindah ke Adelaide. Istrinya kemudian menyusulnya ke sana.
Ketika kondisi matanya menyulitkannya untuk ikut pelajaran bahasa Inggris, Didar pun mengambil pekerjaan di pengolahan daging di Naracoorte.
"Saya harus berpikir secara berbeda. Saya memilih untuk bekerja,” katanya.
Setelah beberapa tahun bekerja di pengolahan daging dan kemudian di perkebunan anggur, Didar berhasil menabung dan memulai usaha toko, seperti yang dilakukannya di Afghanistan.
Tokonya menjual bahan-bahan makanan dari seluruh dunia. Sesekali pelanggan lokal menanyakan cara memasak bahan-bahan makanan dari negara asing itu.
Didar mengaku para pelanggan ini biasanya datang kembali dan menyampaikan bahan makanan yang mereka beli itu ternyata enak rasanya. Bukan hanya sebuah toko
Pejabat urusan migran di daerah Naracoorte, Frances Kirby, mengatakan toko milik Didar sudah menjadi semacam tempat "nongkrong" bagi kaum pendatang di daerah itu.
Apalagi di tokonya ini ada dua meja biliar di bagian belakang yang bisa dipakai oleh para pelanggan.
"Didar sudah menjadi semacam perekat bagi masyarakat multikultural di sini," ujar Frances.
"Dia menjadi sosok yang bertindak sebagai titik pertemuan bagi orang-orang dari latar belakang multikultural yang berbeda," jelasnya.
Sejak mengetahui keberadaan toko Daily Market dari temannya, Ali Hussaini kini menjadi pelanggan setia toko itu.
Padahal, Ali harus menempuh perjalanan satu jam dari daerah Mount Gambier setiap minggu untuk membeli biskuit, roti, dan daging halal.
"Cukup menyenangkan karena sudah ada toko semacam ini di daerah ini," ujar Ali.
Karena kondisi penglihatan Didar yang menurun, dia harus mengandalkan pelanggan untuk berbuat yang semestinya.
"Australia negara yang baik, orang-orangnya jujur ?," kata Didar.
"98 persen pelanggan saya orang baik meski ada beberapa yang tidak. Tapi tak apa-apa," katanya.
Pelanggan yang tidak baik itu, juga tak membuat Raihana kesal.
"Saya merasa kasihan pada ayahku karena ada beberapa pelanggan yang menipunya," kata Raihana.
Menurut Frances Kirby, Didar kadang ditipu orang yang membayarnya dengan uang palsu.
"Tapi dia akan tahu, dan akan meminta orang itu membayar dengan uang asli," katanya. Masa depan toko
Meskipun Didar berusaha melupakan retinitis pigmentosa, kondisi penglihatan yang tak dapat diperbaiki lagi, namun dia tak bisa menghindarinya.
"Saya khawatir dengan kondisi penglihatanku karena membayangkan apa yang akan terjadi 10 tahun ke depan?" kata Didar.
"Jika penglihatanku masih sama, maka saya akan baik-baik saja. Tapi kalau terus menurun, itu jadi tantangan," ucapnya.
Tapi untuk sementara ini Didar dengan bantuan Raihana akan terus melayani konsumennya.
Raihana pun tampaknya akan tetap menemani ayahnya.
"Saya senang bisa belajar menjaga toko. Kalau sudah besar, kalau tidak mendapat pekerjaan lain, saya bisa jadi penjaga toko," ucap Raihana.
Didar menambahkan, "Hidupku cukup baik, saya bahagia sekarang."
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lembaga Perguruan Tinggi di Australia yang Diuntungkan dan Dirugikan Selama Pandemi COVID-19