Agustina Lengkong harus berhenti sekolah saat ia duduk di kelas satu SMP, setelah sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah mati rasa sehingga dia tidak bisa lagi berjalan.

"Sekolah saya dua kilometer jauhnya dari rumah, jadi karena tidak bisa berjalan saya akhirnya berhenti sekolah," kata Agustina.

BACA JUGA: Ketua DPD RI Beri 3 Masukan bagi Kaum Milenial, Apa Saja?

Ia tinggal di Desa Benteng Kado, Kecamatan Kapala Pitu di Toraja Utara, sekitar 322 kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar.

"Saya sudah 23 tahun mengalami paraplegia, dan saya sudah mulai membuka usaha berjualan di rumah sejak 11 tahun lalu," kata Agustina kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

BACA JUGA: Bea Cukai Siap Mendukung Ketahanan Energi Nasional

Dalam menjalankan bisnis toko kelontongnya, Agustina menggunakan teknologi digital banking, dan karena pengetahuannya di bidang ini pula ia dipercaya menjadi agen layanan digital salah satu bank nasional. 

"Awalnya saya pake hape jadul untuk jual pulsa, sekarang saya melayani pembayaran listrik, bayar BPJS, transfer uang. Pelanggan saya bahkan ada yang di Papua dan di tempat lain yang meminta bantuan saya setelah kenal."

BACA JUGA: Lembaga Perguruan Tinggi di Australia yang Diuntungkan dan Dirugikan Selama Pandemi COVID-19

Kini hanya berbekal telepon genggam saja, ia bisa menjalankan bisnis tanpa harus pergi ke mana-mana.

Ia menambahkan, meski sempat terjadi penurunan transaksi selama pandemi COVID-19, hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga ia tidak terlalu terdampak secara ekonomi.

"Karena saya menjual kebutuhan sehari-hari di desa, otomatis orang tetap mencari."

Perempuan berusia 36 tahun ini menjadi tulang punggung keluarganya, untuk membiayai hidup ibu, kakak dan keponakannya.

Dalam menjalani hidupnya, Agustina mengaku banyak terbantu oleh informasi dari televisi dan internet. Selain pengetahuan bisnis digital, ia juga dipertemukan dengan alat transportasi difabel dari internet.

Bulan Juni lalu, ia membeli mobil buatan Solo, Jawa Tengah, yang sudah dimodifikasi untuk warga difabel.

"Saya juga belajar nyetir dari internet dan sekarang saya berusaha untuk mendapatkan SIM. Namun menurut informasi saya tidak bisa mendapatkan SIM D di Kabupaten Toraja tetapi harus ke Makassar."

Sebelum memiliki mobil tersebut, Agustina juga sudah memiliki berbagai alat transportasi lain seperti sepeda motor yang sudah dimodifikasi. Dari membatik ke jualan keliling

Pandemi COVID juga mengubah apa yang dilakukan Andika Indra Saputra yang tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.

Sebelum pandemi, Andika yang memiliki difabel 'cerebral palsy', yaitu kondisi lumpuh otak yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, bekerja sebagai pembatik di Yogyakarta.

"Ketika mulai pandemi, kami dirumahkan, tapi saya kemudian tidak bisa bekerja karena di rumah tidak ada listrik yang cukup.

"Setelah itu, oleh keluarga saya di Boyolali, saya ditawari menjual kerupuk karak, penganan yang terbuat dari beras," kata Andika kepada ABC Indonesia.

Andika mengatakan senang menjadi penjual kerupuk karak yang biasanya dibawa ke Yogyakarta, sesuai pesanan.

Ia juga mengaku senang berjualan karena membuatnya tidak membuatnya diam di dalam rumah saja, seperti ketika ia bekerja membatik.

"Saya bisa tahu suasana Yogya dengan berjualan bisa menghilangkan rasa stress, saya bisa melihat dunia lebih luas," katanya lagi.

"Alhamdulillah ini sedikit mengurangi beban hidup saya. Dan penghasilannya lebih tinggi dari membatik, walau kadang untuk memenuhi kehidupan keluarga masih tidak cukup," katanya.

Pendapatan Andika dari berjualan kerupuk karak digunakan untuk menghidupi istrinya, Yuli Lestari, yang juga difabel dan anak perempuannya, Ika Nurjanah, yang berusia 2 tahun.

"Sebagai laki-laki saya harus bertangung jawab menghidupi keluarga. Saya harus berusaha mencukupi kebutuhan mereka," kata pria asal Cirebon, Jawa Barat, tersebut.

Menurut Andika kebutuhan rumah tangganya berkisar antara Rp700 ribu sampai Rp1,5 juta per bulan dan kadang dari penjualan karak tidak mencapai penghasilan untuk belanja bulanan bagi keluarganya.

"Dulu saya pernah dapat bantuan dari Pemerintah, namun hanya dua kali. Sekarang sudah tidak lagi," kata Andika yang pernah ke Adelaide di tahun 2015 mengikuti program OzAsia festival untuk pameran mengenai Batik dan diabilitas.

Sekarang dia merasa beruntung sudah memiliki rumah yang dibangun atas bantuan desa di Kongklangan, Tawangsari Teras, Boyolali, Jawa Tengah.

Rumah tersebut adalah bantuan dari Komunitas Masyarakat Tawangsari (Komasta).

"Tapi baru sebatas dinding saja, belum ada jendela, belum ada listrik, masih banyak kekurangan. Kalau nanti ada rezeki, akan saya pasang jendela, pasang listrik," kata Andika lagi.

Dalam berjualan, Andika menggunakan sepeda roda tiga yang khusus dibuat untuk difabel.

Saat mengendarai motor roda tiganya di jalanan umum yang ramai di mana dia harus berinteraksi dengan pengguna jalan lainnya, ia mengaku kerap kesulitan.

"Dulu saya tidak bisa naik motor, namun setelah berkeluarga saya harus bisa. Walau juga saya pernah nabrak, pernah jatuh ke sawah bersama dengan motornya.

"Tapi saya senang sekarang bisa pergi ke Yogya kadang seminggu tiga kali membawa pesanan bagi mereka yang mau membeli karak." Menguatnya jaringan kelompok difabel di Indonesia

Di Makassar, Sulawesi Selatan, nama Dr Ishak Salim dikenal sebagai pegiat difabel yang memiliki organisasi bernama  Pergerakan difabel Indonesia untuk kesetaraan (PerDik).

Doktor ilmu politik lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini bukan difabel, namun sudah lama tertarik dan bergiat dalam bidang pergerakan untuk membantu kelompok difabel.

Menurut Ishak Salim, dalam survei pertama ketika pandemi terjadi di tahun 2020 yang dilakukan jaringan difabel, ditemukan bahwa 86 persen difabel yang bekerja di sektor informal mengalami dampak pandemi.

"Adanya pembatasan sosial membuat pendapatan harian mereka kalau dikalkulasi dalam rupiah berkurang Rp50 ribu sampai Rp100 ribu sehari," tutur Ishak.

"Mereka ini bekerja sebagai tukang parkir, melakukan usaha pijat, berjualan kue, usaha menjahit yang terhenti karena tidak adanya pesta."

Namun, diakui olehnya, para difabel yang sudah memiliki akses digital, seperti Agustina, bisa bertahan selama pandemi, walau jumlah tersebut masih rendah.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2019, jumlah difabel di Indonesia adalah 21,5 juta orang atau sekitar 8 persen dari populasi Indonesia.

Dari jumlah tersebut, menurut Ishak, baru sekitar 40 persen yang memiliki akses digital, seperti kepemilikan hape atau gawai lainnya.

Saat ini, pergerakan kelompok difabel tengah membuat survei kedua untuk mengetahui keadaan sebenarnya di masa pandemi, hal yang dinilai Ishak Salim sebagai sebuah kemajuan.

"Ketika melakukan survei masing-masing teman difabel memberikan kontribusi mulai dari desain survei, apa yang harus dilakukan sampai kemudian pada pengelolaan hasilnya," kata Ishak.

Sekarang sudah terkumpul data dari 1.680 orang difabel dan hasilnya akan disebarkan di pertengahan bulan Desember.

Teknologi daring seperti pertemuan lewat Zoom, juga membuat proses menjangkau para pegiat difabel di seluruh Indonesia lebih mudah dilakukan.

"Dari hasil survei kami bisa memberikan masukan kepada Pemerintah yang dalam reaksi cepatnya juga bisa menyertakan kepentingan kelompok difabel," kata Ishak lagi.

Kelompok pegiat difabel sendiri bisa menggunakan hasil riset untuk kepentingan masing-masing organisasi entah sebagai bahan advokasi maupun sebagai bahan untuk riset lanjutan.

"Adanya survei dan pertemuan Zoom, misalnya membuatt organisasi difabel yang sudah punya kapasitas bagus, bisa menjangkau organisasi di daerah yang kapasitasnya masih terbatas.

"Jadi pergerakan lebih intensif dan meluas, aktivitasnya semakin membuncah," kata Ishak Salim.

Adanya konsolidasi berkat pandemi COVID, menurut Dr Ishak juga digunakan kelompok difabel untuk merespon kegiatan lain, tak hanya soal COVID-19.

"Misalnya seperti gempa di Sulawesi Barat, atau banjir di Malang, atau kejadian di NTT, juga untuk hal lebih luas seperti pemenuhan hak-hak disabilitas menurut PBB. 

"Yang dilakukan teman-teman sekarang adalah tetap menjaga dan memperkuat jaringan yang ada." Harapan agar ada tunjangan difabel

Hari Disabilitas Internasional jatuh setiap tanggal 3 Desember dan tahun ini mengusung tema  “Kepemimpinan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas Menuju Tatanan Dunia yang Inklusif, Aksesibel, dan Berkelanjutan Pasca COVID-19”.

Andika dan Agustina punya harapannya masing-masing.

Andika Saputra berharap agar Pemerintah Indonesia memberikan tunjangan bagi mereka yang difabel, seperti halnya yaang dilakukan di Australia.

"Tidak memandang kaya atau miskin, difabel harus dilindungi oleh pemerintah. 

"Jadi, harapan saya teman-teman disabilitas lebih dipedulikan lagi hidupnya, setidaknya seperti di Australia, mereka dapat tunjangan dari Pemerintah," katanya.

Sementara iAgustina berharap warga difabel di masa depan semakin setara dengan warga lainnya.

"Akses bagi kelompok difabel ditingkatkan. "

"Banyak tempat-tempat umum di Indonesia di kantor-kantor tidak ada fasilitas untuk kursi roda, tidak ada ramp di kantor-kantor pemerintah."

Menjelang peringatan hari Disabilitas Internasional, Presiden Joko Widodo pada 1 Desember lalu melantik tujuh anggota Komisi Nasional Disabilitas.

Staf khusus Presiden Jokowi bidang Sosial, Angkie Yudistia, menyebut pelantikan anggota Komisi Nasional Disabilitas ini sebagai bentuk komitmen pemerintah kepada disabilitas.

"Harapan kami dengan berdirinya Komisi Nasional Disabilitas ini adalah sebagai langkah awal yang positif atas kesetaraan penyandang disabilitas untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, indonesia yang ramah terhadap disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki ruang yang sama untuk berkontribusi bagi pembangunan bangsa Indonesia," ujar Angkie. 

Simak! Video Pilihan Redaksi:
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rexy Mainaky Mulai Tegas di Malaysia, Ancaman Buat Indonesia?

Berita Terkait