Setiap tahunnya 1000 anak muda asal Indonesia bekerja dan berlibur di Australia di bawah skema Working Holiday Visa (WHV).
Jenis visa yang diterbitkan Pemerintah Australia ini memang diperuntukkan bagi mereka yang berusia antara 18-30 tahun, untuk menikmati liburan sambil bekerja.
BACA JUGA: Benarkah Susu Kecoa Lebih Berkhasiat dari Susu Sapi?
Mereka tidak hanya bekerja di kota-kota besar namun juga menyebar ke berbagai kota pedalaman.
Bagaimana pengalaman mereka menjalani puasa di sana? Wartawan ABC Sastra Wijaya berbicara dengan tiga peserta WHV yang bekerja di berbagai sektor.
BACA JUGA: Peringatan Sentimen Anti-China di Vietnam
Fikri Yathir, Hamilton Island (Queensland)Fikri Yathir, pemuda berusia 29 tahun, yang kini bekerja sebagai publik karya di Review Hotel, Hamilton Island, di negara bagian Queensland.
Publik karya adalah pekerjaan umum untuk memberesi sebuah tempat seperti membersihkan, membantu menyiapkan makanan dan lainnya.
BACA JUGA: Profesor Sydney Jadi Ilmuwan Australia Pertama Raih Penghargaan Sains Bergengsi
Hamilton Island merupakan gugusan pulau yang di kawasan Great Barrier Reef yang terkenal dengan terumbu karangnya yang indah. Wajar saja jika di pulau tersebut terdapat banyak resor untuk mengakomodir para turis.
Dilahirkan di Makassar (Sulawesi Selatan), Fikri adalah tamatan S1 jurusan Antropologi Budaya dari UGM Yogyakarta, sebelum memutuskan untuk mengikuti program WHV.
Sejak tiba di Australia bulan April tahun 2017, Fikri sebelumnya pernah bekerja selama beberapa bulan di Melbourne sebelum pindah ke Hamilton Island.
Fikri merasa beruntung menghabiskan Ramadan tahun ini di Hamilton Island, karena cuacanya yang tidak terlalu dingin maupun panas, sehingga dia bisa menjalankan puasa dengan relatif mudah.
"Alhamdullilah sejauh ini saya tidak pernah bolong puasanya. Di sini godaannya kurang, karena tidak seperti di kota Melbourne, dimana banyak yang berjualan, di sini daerahnya sepi dan yang jualan terbatas," kata Fikri.
Di pulau tersebut, tidak ada masjid dan tidak banyak orang yang berpuasa seperti dirinya.
"Kadang saya tidak sahur karena telat bangun, dan lanjut puasa sampai waktu berbuka. Kadang di tempat kerja ada yang bertanya mengapa saya tidak makan siang, namun saya hanya mengatakan bahwa saya sudah selesai," kata Fikri.
Karena sendirian di Australia di bulan puasa, Fikri mengatakan dia kadang rindu dengan suasana bulan puasa di Indonesia.
"Keluarga saya di Indonesia suka kumpul-kumpul dan masak-masak, dan kemudian memposting foto di WA keluarga. Itu yang membuat saya kadang rindu dengan suasana Indonesia," tambahnya lagi.
Mengenai pengalaman kerja di Australia, Fikri mengatakan beruntung dia tidak memiliki masalah berarti.
"Saya tidak mengalami masalah, namun saya tahu dari pengalaman membaca di Facebook dan media sosial ada teman-teman lain dari Indonesia maupun tempat lain yang mendapat pengalaman buruk seperti dieksploatasi, dan tidak bertahan lama di tempat kerja."
Dia mengatakan bahwa kehidupan kerja di sini telah mengajarkannya untuk berani bergaul dengan orang baru, dan juga berani mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.
"Saya pernah punya boss orang Brasil. Suatu hari dia bilang ke saya untuk tiap hari berbicara dengan tiga orang asing untuk memperlancar bahasa Inggris dan juga memperluas komunikasi," katanya.
"Saya berterima kasih atas desakan itu. Karena dengan itu saya jadi lebih berani untuk berbicara dan lebih aktif di tempat kerja," ujar Fikri lagi.Ruli Mahmuri, Mildura (Victoria) Photo: Ruli Mahmuri bekerja di Mildura di negara bagian Victoria (Foto: Istimewa)
Bagi Ruli Mahmuri, yang sekarang bekerja di pabrik pengolahan almond di Mildura, negara bagian Victoria, ini adalah puasa kedua yang pernah dijalaninya di luar Indonesia.
Ruli yang sekarang berusia 29 tahun sebelumnya pernah bekerja di kapal pesiar di Italia tahun 2011-2013.
Setelah bekerja di sana, Ruli kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di Akademi Keperawatan di Lebak, Banten, sebelum kemudian memutuskan mengikuti Working Holiday Visa (WHV) di Australia.
Sebelum bekerja di Mildura, Ruli juga pernah bekerja di Renmark, kota yang berjarak 136 km dari Mildura, namun berada di negara bagian yang berbeda.
Renmark di Australia Selatan, dan Mildura di negara bagian Victoria. Kedua kota ini adalah kota pertanian, dan banyak didatangi para backpacker yang biasanya datang dengan visa Working WHV.
Dengan itu menurut Ruli, banyak warga yang sudah mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan tradisi Islam. Misalnya berpuasa. Apalagi di Mildura ada mesjid yang biasa dikunjungi oleh pekerja dari Malaysia dan Afghanistan.
Dalam pengalaman puasa, Ruli mengatakan bahwa dia banyak mendapat bantuan dari teman sesama pekerja asal Indonesia, yang tinggal serumah.
"Saya tinggal bersama tiga orang lain, satu Tionghoa Indonesia beragama Budha, dan dua teman juga dari Indonesia beragama Kristen," kata Ruli yang berasal dari Banten.
Ruli mengakui di Australialah dia merasakan hangatnya persahabatan yang dijalin dengan teman-teman berbeda agama tersebut.
"Teman saya yang Tionghoa itu kadang membantu memasak makanan Indonesia seperti empek-empek, atau es cincau untuk buka puasa. Dia juga pernah membangunkan saya untuk saur," kata Ruli.
Dalam pengalamannya sebagai pemegang WHV, Ruli mengatakan bahwa semua pengalaman memberikan banyak manfaat bagi dirinya.
"Ketika pulang nanti, saya akan menyebarkan informasi kepada banyak orang di Lebak mengenai adanya program Working Holiday Visa."
"Di tempat saya, banyak yang belum tahu mengenai adanya program ini, yang menurut saya sangatlah bermanfaat." katanya lagi.Kandi Rahmat, Renmark (Australia Selatan) Photo: Kandi Rahmat ketika sedang berlibur di Sydney (Foto: Istimewa)
Kandi Rahmat yang sekarang berusia 27 tahun bekerja di perusahaan packing citrus (pengepakan buah-buahan jeruk) di kota Renmark, 257 km dari ibukota Australia Selatan, Adelaide.
Kandi yang berasal dari Banten tersebut sebelumnya menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Inggris dari Universitas Pasundan Bandung, dan sudah bekerja sebagai bagian dari Working Holiday Visa (WHV) hampir dua tahun.
"Karena sudah hampir dua tahun, ini menjadi Ramadan kedua yang saya jalani di Australia karena tahun lalu saya juga di sini pas bulan puasa," kata Kandi yang dihubungi melalui surat elektronik.
Menurut Kandi di tempat kerjanya sekarang selain warga Australia, banyak juga orang dari Asia seperti Malaysia, Vietnam dan Taiwan. Sehingga dia tidak banyak mendapat pertanyaan soal puasa selama bulan Ramadan.
Kandi mengalami masa sulit untuk menyesuaikan diri di awal-awal puasa karena dia bekerja dalam shift siang. Shift tersebut lamanya adalah 12 jam sehari.
"Ketika waktu buka tiba, saya masih harus bekerja. Jadi saya berbuka hanya minum air putih, setelah itu lanjut kerja lagi sampai jam pulang," ujarnya.
Dan menurut Kandi, pengalaman unik yang dirasakannya berpuasa musim dingin di Australia seperti tahun ini adalah waktu puasa yang begitu cepat, karena berbuka beberapa menit setelah Pukul 5 sore.
"Dari tempat kerja atau orang lain, saya belum pernah mendapatkan makanan. Namun tahun kemarin saya pernah diberi sebungkus kurma untuk buka puasa," katanya lagi.
Selama hampir dua tahun di Australia, Kandi Rahmat mengaku terkesan dengan kehidupan beragama yang sangat rukun, toleran, dan masing-masing orang menghargai kepercayaan yang lain.
"Kita bebas beribadah. Bebas berteman dengan berbagai penganut agama lain bahkan yang atheis sekalipun," kata Kandi.
Mengapa dia tertarik ikut dalam program Working Holiday Visa?
"Saya memang bercita-cita bekerja diluar negeri dan kebetulan ada program WHV. Di samping pengalaman, saya juga mencari uang untuk modal usaha," katanya.
"Selain itu, saya mendapat kesempatan liburan ke berbagai tempat di Australia."
"Saya juga bisa bekerja dengan orang dari berbagai negara sehingga bisa belajar dan memahami cara mereka bekerja dan berkomunikasi."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Pendeta Mengatakan Ex-Jihadis Orang yang Berkesan