Kisah Tuti, Penderita Kanker Stadium Empat: Wajib Mengonsumsi Morfin Sebelum Beraktivitas

Selasa, 11 Februari 2020 – 09:49 WIB
Tuti mengidap kanker stadium empat. Foto: ANTARA/Ogen

jpnn.com, BINTAN - Suasana Perumnas Tekojo, Kelurahan Kijang Kota, Kecamatan Bintan Timur, Bintan, tampak sepi, Selasa (4/2) siang.

Kondisi suhu yang cukup panas sepertinya membuat warga enggan beraktivitas di luar rumah. Beberapa di antaranya lebih memilih duduk santai di teras depan rumah masing-masing.

BACA JUGA: Kisah Perjuangan WNI Penderita Kanker di Australia

Hari itu, Antara membuat temu janji dengan salah seorang warga (wanita) yang tinggal di Perumnas tersebut. Persisnya di Blok I Nomor 19.

Wanita dimaksud ialah Turizan Wahyuni atau akrab disapa Tuti, usianya sudah 50 tahun. Saat ditemui dia mengenakan mukena ungu. Barangkali baru siap melaksanakan salat Zuhur.

BACA JUGA: Benarkah Sayuran Pahit Ampuh Mencegah Kanker?

"Ayo Bang, silakan masuk, silakan duduk," katanya saat menyambut kedatangan pewarta Antara di ruang tamu kediamannya.

Tuti masih bersuami dan memiliki satu anak. Wanita paruh baya ini tercatat sebagai seorang karyawati pabrik garmen di Pulau Bintan.

Namun, pada tahun 2014, dia terpaksa berhenti lantaran divonis mengidap kanker. Penyakit dengan risiko paling mematikan di Indonesia.

"Padahal, saat itu saya tengah menjadi orang kepercayaan empunya pabrik garmen," kenang Tuti kala itu.

Tuti kemudian bercerita awal mula diserang penyakit kanker, dari yang tadinya stadium dua menjadi stadium empat.

Pada tahun 2013, Tuti mendapati ada benjolan di bagian tubuhnya, tepatnya di bagian payudara. Namun, menurutnya itu hanya benjolan biasa.

Oleh rekan dan kerabatnya, Tuti disarankan menjalani pengobatan alternatif. Dengan diiming-imingi operasi gaib dan semacamnya. Tuti pun tertarik buat mencoba.

Tidak hanya di Pulau Bintan (Tanjungpinang-Bintan), bahkan dia menjajal pengobatan ala tradisional itu hingga ke Pulau Jawa. Harap-harap bisa sembuh tanpa perlu operasi di rumah sakit.

"Uang sudah banyak habis. Bukannya sembuh, benjolan itu justru pecah," kata Tuti.

Tuti kemudian mencoba beralih ke pengobatan rumah sakit. Kala itu dia pergi ke RSUD Raja Ahmad Tabib Tanjungpinang (milik Pemprov Kepri).

Ternyata di sana tak ada dokter yang mempelajari atau merawat penyakit sejenis. Akhirnya, dia memilih perawatan seadanya di rumah.

Pada waktu bersamaan kondisi tubuhnya makin memprihatinkan, berat badannya turun drastis, yang tadinya 97 kg menjadi 47 kg atau turun 50 kg.

Merasa tak sanggup lagi menahan sakit, Tuti lantas dirujuk ke Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Saat itu pada tahun 2014.

Di sana dia dibiopsi atau pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium. Hasilnya Tuti didiagnosa mengidap kanker payudara stadium dua.

"Pertama kali mendengar sakit kanker. Pikiran saya, ah, sudahlah besok pasti mati, saya terus-terusan menangis di rumah, apalagi kalau lihat anak dan suami. Jika lampu mati saya langsung takut karena merasa seperti ada di kuburan, gelap, dan sesak," kata Tuti.

Setelah divonis menderita kanker, Tuti mulai menjalani kemoterapi atau biasa disebut kemo (pengobatan untuk membunuh sel kanker).

"Pertama kali saya dikemo empat kali, lalu dioperasi. Setelah selesai, saya langsung pulang ke rumah," ujarnya.

Seharusnya, kata Tuti, seorang penderita kanker menjalani pengobatan berkala sampai 5 tahun 30 tahun baru setelah itu bisa dikatakan clear.

Akan tetapi, Tuti tak melakukan itu, alasannya logis, akomodasi penerbangan dari Tanjungpinang ke Jakarta sangat mahal. Dia tak mampu hingga akhirnya memutuskan berhenti berobat.

Namun tak disangka-sangka, pada tahun 2016 kanker di dalam tubuhnya positif tumbuh lagi, dan terpaksa dikemo kembali sebanyak sembilan kali di rumah sakit yang sama.

Kali ini dokter menyebutkan ada pembusukkan di jalur belakang punggung Tuti. Dia langsung divonis mengidap kanker stadium empat.

"Saya kembali dioperasi dengan sistem kikis habis. Setelah itu, dikemo lagi, bahkan diradiasi (penyinaran) sebanyak 35 kali karena saya pasien kambuhan," katanya.

Selesai radiasi, lanjut dia, ada evaluasi selama 3 bulan setelahnya. Usai masa evaluasi berakhir, kanker Tuti ternyata sudah menjalar ke bagian usus.

"Pada tahun 2018, saya operasi di daerah usus. Sebenarnya sel kankernya kecil. Akan tetapi, biar aman, usus saya dipotong 12 cm dan dibuat saluran keluar," ungkapnya.

Setelah itu Tuti lagi-lagi dikemo dan diperiksa ulang. Hasil pemeriksaan dokter selanjutnya ditemukan sudah ada metatase kanker ke tulang L4 dan L5.

"Bahkan, hasil pemeriksaan berikutnya, kanker saya sudah ada di paru-paru. Dari tulang ke paru-paru," ucapnya.

Pada tahun 2019, pihak rumah sakit menyebut Tuti paling lama mampu bertahan hidup sekitar 2 tahun seiring dengan penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya sejak 2013.

Mendengar kabar itu, psikologis Tuti sempat terguncang. Akan tetapi, dia menolak untuk bersedih, apalagi menyesali keadaan yang telah terjadi.

Ia justru menanamkan dalam pikirannya bahwa dokter hanya manusia biasa, sementara kematian itu akan dialami semua makhluk, tidak hanya penderita kanker.

"Saya tak mau berpikiran kapan saya mati. Akan tetapi, apa yang bisa saya lakukan menjelang kematian, saya ingin melakukan banyak hal positif sehingga kapan pun saya mati, saya harus siap," tuturnya.

Tuti pun mengaku tak ingin menunggu kematian dengan terus-terusan menangis atau hanya terbaring di rumah.

Hal ini pula yang selalu dia sampaikan kepada pasien pengidap kanker lainnya sebagai bentuk motivasi semangat hidup.

"Kadang banyak teman-teman bilang saya tampak sehat. Padahal, tidak, saya sakit. Kalau saya buka pakaian, tampak tubuh saya seperti kain yang ditambal sana-sini," kata Tuti.

Tuti menyembunyikan penyakitnya dengan melakukan berbagai aktivitas, di rumah misalnya. Seperti ibu rumah tangga pada umumnya, dia tetap memasak untuk suami dan anak semata wayangnya.

Hanya saja sebelum memulai aktivitas tersebut, dia wajib mengonsumsi morfin (obat mengatasi rasa sakit). Kalau tidak, dia tidak bisa bangun.

"Selain itu, kalau tidur malam, saya harus pakai oksigen karena sulit bernapas. Tidur pun tidak bisa sembarangan, harus dalam posisi tegak sambil bersandar menggunakan bantal," tuturnya.

Tuti bersyukur meski dalam kondisi mengidap penyakit ganas. Keluarga, terutama suami dan anaknya, sangat pengertian, perhatian, dan memotivasinya agar tetap semangat meniti hidup.

"Suami memang tak bisa mendampingi saya terus-menerus, beliau bekerja di bengkel buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau anak, sekarang masih kuliah semester akhir, itu pun sambil bekerja," katanya lagi.

Rata-rata pasien kanker, menurut dia, mengeluarkan banyak harta untuk pengobatan. Apalagi, pasien seperti dia yang memilih berobat melalui jalur umum, bukan BPJS Kesehatan.

"Ini rumah yang saya tempati, sudah digadai buat menebus biaya berobat bolak-balik Tanjungpinang ke Jakarta," kenang Tuti.

Hingga kini Tuti masih rutin menjalani perawatan kemo oral dan infus. Akan tetapi, tidak lagi di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, tetapi di Rumah Sakit Embung Fatimah, Batam, Kepri.

"Kemo infus per minggu sekali, kalau kemo oral per tiga minggu sekali. Biaya berobat ditanggung BPJS, cuma dana transportasi ke Batamnya saja yang agak berat," imbuhnya.

Dia dan rekan-rekannya pun mengharapkan rumah sakit di Tanjungpinang dan Bintan memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap untuk pasien kanker, sehingga mereka tak perlu lagi ke luar daerah apalagi sampai ke luar kota bahkan luar negeri. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler