Beberapa warga Indonesia terdiagnosa kanker ketika sudah berada di Australia, jauh dari keluarga dan sanak saudara di Indonesia. Kondisi pasien kanker sering pengaruhi fisik dan mental 'support system' 'Support system' penderita kanker harus cari bantuan bila perlu 'Support system' WNI penderita kanker di Australia tidak hanya keluarga
BACA JUGA: Dampak Virus Corona, Lobster Australia Kini Dijual Murah
Tinggal di perantauan, para WNI penderita kanker ini tidak memiliki 'support system' atau pendamping sedarah sebanyak yang ada di negara mereka sendiri.
Di tengah perjuangan menjalani pengobatan kemoterapi, mereka juga harus mencari 'support system' lain yang dapat menggantikan peran keluarga di Indonesia.
BACA JUGA: Lestari Moerdijat Minta Pemerintah Beri Perhatian Lebih Soal Kanker
Atau malah mendatangkan 'support system' tersebut dari Indonesia.
Ratna Sari Tjiptorahardjo merasa bersyukur karena ibunya dapat terbang dari Indonesia dan menjadi 'support system' baginya di Melbourne, Australia ketika didiagnosa kanker payudara 11 tahun lalu.
BACA JUGA: Warga Canberra Diizinkan Menanam Dua Pohon Ganja untuk Konsumsi Pribadi
Dengan visa turis, ibunya yang bernama Sonja Ivonne Torn mendampingi masa pengobatannya selama satu tahun.
"Untungnya kan ibu saya bisa mengantar ke rumah sakit dan sebagainya, selain dari memasak," kata perempuan yang bekerja sebagai guru musik sejak tahun 1987 itu.
"Selain itu, [ibu saya] juga [dapat] menghibur saya dan anak-anak. Istilahnya dia bisa 'support' seluruh keluarga."
Selain dukungan fisik, Ratna juga menerima dukungan mental dari Sonja yang meninggal 2018 lalu.
"Bagi saya, banyak sekali bantuan fisik yang diberikan [ibu saya] sama halnya dengan bantuan mental," kata Ratna kepada ABC News ketika ditemui di rumahnya hari Senin (03/02/2020).
"Memang dalam keadaan [menderita kanker] seseorang itu merasa lemah, tidak bisa melakukan banyak hal meskipun mau, karena badannya lemas."
Banyaknya bahan kimia dari pengobatan kanker yang masuk ke tubuhnya juga memicu depresi.
"[Depresi ini] terdeteksi oleh dokternya. Memang [saya] ada perasaan tidak enak sekali. Tiap kali kalau bertemu orang di rumah makan misalnya, rasanya hanya sebentar bisa fokus, sebentar lagi sudah merasa ingin pulang," kata dia.
"Untunglah ada ibu yang membuat saya merasa jadi ada teman."
Setelah dinyatakan bebas dari kanker payudara di tahun 2008, empat tahun lalu, Ratna menemukan bahwa ruas kedelapan tulang belakangnya (T8) telah termakan oleh kanker saat melakukan pemeriksaan CT scan.
"Istilahnya dia bukan kanker ganas walau susah dihilangkan karena sulit untuk melakukan operasi tulang belakang di mana terdapat banyak saraf," katanya. Photo: Ratna Sari Tjiptorahardjo dinyatakan sembuh dari kanker payudara di akhir tahun 2008 dan hingga kini terus melakukan pemeriksaan rutin. (ABC News: Natasya Salim)
"Jadi karena dokter menduga ini efek kanker payudara, tipe pengobatan yang dilakukan tetap ke arah pengobatan kanker payudara yaitu dengan obat estrogen dan antidepresan."
Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, Ratna melakukan CT scan untuk memeriksa keadaan tulang belakangnya yang ternyata dalam kondisi tidak baik.
"Ketika CT scan, dokter mengatakan pergerakan tulang saya 'hot' atau panas istilahnya. Artinya ada keaktifan [kanker]."
Karena menunda pengobatan, di pemeriksaan tiga bulan setelah menerima laporan itu, ia menemukan tumbuhnya nodul sebesar 2 cm di hati.
Namun, setelah mengonsumsi obat yang diwajibkan dokter selama enam bulan, nodul tersebut telah menyusut menjadi 14 mm ketika diperiksa minggu lalu.
"Ketika ditanya dokter bagaimana perasaan saya sekarang sehari-hari, saya bilang 'I'm very happy' karena saya merasa sehat dan kuat untuk menjalankan aktivitas sehari-hari." "Mental pendamping harus kuat"
Di saat Ratna beruntung memiliki sosok ibu sebagai 'support system', seorang ibu bernama Angela Wika juga menjadi 'support system' bagi anaknya yang didiagnosa kanker tiga tahun lalu.
Ramos Binar Situmorang yang kini berusia empat tahun didiagnosa terkena kanker darah atau leukemia di usia dua tahun empat bulan.
Mengetahui hal tersebut, suami Wika, Apriadi Situmorang atau Adi yang tinggal di Adelaide (Australia Selatan) harus cuti kuliah satu semester untuk menemani Ramos di rumah sakit dan mengurusnya di rumah.
Setelah menjalani proses perawatan selama enam bulan, Ramos yang lahir di Adelaide dinyatakan sembuh di awal tahun 2018.
Wika yang melahirkan anak keduanya ketika Ramos sedang dalam masa pengobatan tersebut sempat mengalami kesulitan membagi waktu. Photo: Ketika menjalani kemoterapi leukemia, Ramos didampingi oleh Wika (kiri) dan Adi yang menjadi 'support system'nya. (Supplied: Angela Wika)
Namun, ia menerima bantuan dari ibunya yang saat itu sedang berada di Australia.
"Saya harus membagi waktu antara mengurus bayi dan menemani Ramos ke rumah sakit," kata Wika ketika diwawancara via telepon.
"Untungnya karena ada ibu saya di sini, kadang-kadang bayi saya ini saya titipkan ke beliau."
Menurut Wika, seorang 'support system' harus kuat secara fisik dan mental.
Ini karena berdasarkan pengalamannya mendampingi Ramos, ia merasa bahwa mendampingi pasien anak-anak lebih sulit dari pasien orang dewasa.
"Mungkin kalau orang dewasa sudah bisa respon atau berbicara dengan baik," kata dia.
"Kalau anak-anak kan tidak tahu apa yang terjadi, jadi kita harus kuat istilahnya walaupun [dalam hati] rasanya ingin menangis."
"Tapi kita tidak boleh menangis di depan dia." tambahnya lagi. Beruntung ada di Australia
Ratna mengatakan bahwa banyaknya 'support system' keluarga akan membantu meredakan depresinya seandainya menjalani pengobatan di Indonesia.
"Istilahnya kakak dan adik kan semua ada di sana, walau depresi itu pasti ada, tapi pasti keadaan ini membantu sekali, karena suasana akan beda sehari-harinya." Photo: Foto Ratna (kanan) bersama ibunya, Sonja dua tahun sebelum Ratna didiagnosa kanker payudara di tahun 2008. (Supplied: Ratna Sari Tjiptorahardjo)
Namun, Ratna merasa beruntung ada di Australia ketika didiagnosa kanker.
Keringanan biaya pengobatan dan penanganan dokter yang berbasis kerjasama menjadi nilai tambahan baginya.
"Tapi kalau soal biaya dan pengobatan, puji Tuhan saya mengalaminya di sini karena banyak ditanggung pemerintah," kata dia.
"Di sini [Australia], dokternya bekerjasama. Misalnya onkologi dengan ahli bedah, radiolog dan dokter umum punya data saya dan selalu berdiskusi [tentang pasien]."
Hal yang sama juga disampaikan oleh Wika, yang mengatakan bahwa sistem kesehatan Australia lebih baik dari Indonesia.
"Kadang-kadang saya dan suami bersyukur karena Ramos terdiagnosa di Australia," kata dia. Photo: Ramos Binar Situmorang dinyatakan sembuh dari kanker di awal tahun 2018. (Supplied: Angela Wika)
"Dokter dan obat-obatan istilahnya lebih bagus, sementara di Indonesia sistemnya mungkin tidak sebagus ini juga, masih harus antre dan sebagainya."
Walau menyadari bahwa ada lebih banyak anggota keluarga yang dapat membantu di Indonesia, Wika mengatakan 'support system' di Australia sebenarnya juga sangat membantu.
"Memang di sana kelebihannya ada keluarga yang mendukung, yang mungkin bisa membantu menjaga anak dibandingkan di sini," kata Wika.
"Tapi di sini [Australia] juga, selain 'support system' [sendiri] yaitu ibu saya, ada banyak organisasi kanker anak-anak dan mereka sangat luar biasa dukungannya."
Bantuan yang Wika terima dari organisasi tersebut meliputi bantuan finansial berupa peringanan biaya sekolah hingga voucher belanja dan uang bensin.
Selain itu, organisasi tersebut juga menyediakan layanan konsultasi kesehatan mental para 'support system'.
"Anggota organisasi suka punya perwakilan yang datang ke rumah sakit dan mengajak ngobrol, menanyakan kabar dan bertanya perlu bantuan apa." Pendamping juga butuh bantuan
Wika mengatakan bahwa suaminya sempat mengalami gangguan stress pascatrauma atau PTSD setelah Ramos dinyatakan sembuh.
"Karena suami saya yang paling dekat dengan Ramos karena dia yang selalu menjaga, dia sempat kena PTSD," kata Wika.
"Sekarang dia baik-baik saja, tapi waktu itu dia sempat suka stress dan mudah marah malah setelah 'treatment' Ramos selesai, padahal selama 'treatment' dia baik-baik saja." Photo: Apriadi Situmorang yang sedang menempuh pendidikan S3 Bioteknologi cuti kuliah untuk menemani putranya, Ramos. (Supplied: Angela Wika)
Menurut perempuan asal Jakarta itu, hal ini bisa terjadi karena dalam proses pengobatan Ramos, mereka sering menahan emosi sedih di depan anak tersebut.
Sangatlah penting menurut Wika bagi 'support system' untuk mendapatkan pertolongan yang mereka perlukan.
"['Support system'] harus saling mendukung dan kalau butuh bantuan jangan ragu-ragu untuk mencari atau bertanya," kata dia.
"Seperti kami dulu, ketika mendampingi Ramos, saya dan suami suka bergantian jaga. Kadang kami bergantian keluar dari rumah sakit untuk jalan-jalan dan menghirup udara segar."
Ia mengatakan hal ini penting karena 'support system' seringkali tidak sadar sedang dalam keadaan stress ketika mendampingi sang pasien.
Simak berita dan artikel menarik lainnya dari ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Benarkah Sayuran Pahit Ampuh Mencegah Kanker?