Hana Assafiri membuka Melbourne's Moroccan Soup Bar pada Juni 20 tahun silam.
Kini pemilik dua restoran tersebut, juga menjadi penggagas kegiatan komunitas Speed Date a Muslim, yang bertujuan mengatasi Islamofobia di Australia.
BACA JUGA: Kematian TKW di Malaysia Ungkap Kebrutalan Human Trafficking
Sejak pengungkapan pelecehan seksual marak melalui gerakan #MeToo, Hana Assafiri percaya kini saat untuk mengakhiri diamnya. Untuk pertama kalinya, dia menceritakan kisah pelecehan yang dialaminya.
Ceritakan tentang masa kecilmu.
BACA JUGA: Meminta Maaf Tidak Cukup Dengan Kata Saja
Saya lahir di Melbourne pada tahun 1964. Saya adalah anak tengah dari lima bersaudara, ditambah lagi saya punya saudara perempuan 17 tahun lebih tua. Ayahku orang Maroko, ibuku tumbuh di Lebanon.
Kami berbahasa Arab di rumah karena Mama um tidak bisa bahasa Inggris. Dia merasa terisolasi dan seluruh eksistensinya berpusat di keluarga dan rumah. Waktu berumur lima atau enam tahun, kami pindah ke Lebanon. Ayah saya mencari pekerjaan dan meninggalkan kami di Lebanon selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Politisi Senior Partai Buruh Terlibat Cekcok
Hana (paling kiri) bersama ayah dan saudara-saudaranya.Supplied: Hana Assafiri
Kapan pelecehan dimulai?
Pria tersebut sudah ada di sekitar kami sebelum saya lahir. Dia menikahi kakak perempuanku sehingga selalu jadi bagian keluarga besar.
Saat saya berumur empat tahun dia mulai memegangi tubuhnya. Dia membuatku percaya hal ini normal dalam proses tumbuh dewasa.
Tak ada yang tahu. Dia menjaga kerahasiaannya dengan mengatakan "Dalam budaya kita, jika ada yang tahu, saya harus menikahimu". Saya tak ingin menikah dengannya, jadi terpaksa diam.
(Keluarga Assafiri kembali ke Australia tahun 1976 saat Hana berumur 12. Saat itu, Hana tidak dapat berbahasa Inggris, dan selama setahun menolak bicara sama sekali di SMA. Dia merasa seperti orang asing, bahkan di rumahnya sendiri. Selama itu, pelecehan seksual berlanjut). Ibunda Hana.
Supplied: Hana Assafiri
Apa yang terjadi saat kamu berusia 15 tahun?
Saat 15 tahun itu terakhir kalinya dia melecehkanku. Dia membawaku keluar dari sekolah dan ketika dia mengembalikanku, saya menjadi sadar. Untuk pertama kalinya saya mengaku pada seorang guru. Dia tahu saya bersikap aneh, bahkan untukku sendiri.
Dia berkeras agar keluargaku diberitahu dan saya merasa dia tidak mengerti dinamika budaya dan keluarga. Saya tidak mau menikahi pria ini karena saya berasumsi jika dia memberi tahu keluargaku maka saya harus menikah dengannya. Saya tak bisa menghadapi kenyataan itu.
Jadi, saya meminum tumpukan pil milik ibuku dan masuk rumah sakit. Di sanalah mama dan keluarga mengetahui (kecuali ayah, dia tidak tahu sampai bertahun-tahun kemudian).
Ibuku menanggapi hal ini dengan cara terbaik yang diketahuinya. Dia takut penghinaan dan rasa malu keluarga. Dia merasa satu-satunya cara memecahkan masalah ini adalah menikahkanku dan entah bagaimana kami akan melewati hal ini tanpa akibat apa-apa. Lalu dia menemukan seorang suami buatku.
Bagaimana Anda diperbolehkan menikah pada usia 15?
Saat itu tahun 1980 dan di Australia ada UU yang memungkinkan wali memberikan izin atas nama Anda. Jadi saya menikah dengan seseorang yang hanya saya lihat beberapa kali.
Rasanya dia seperti berada sedang berbelanja dan menemukan saya dan semua orang dewasa. Seorang membuat keputusan bahwa dia orang baik, termasuk pelaku pelecehan seksual terhadapku.
Saya cuma berpikir "Tidak peduli, keluarkan saya dari situasi ini". Dan saya menemukan diri dalam pernikahan yang penuh kekerasan.
Saya melahirkan 10 bulan sejak bersamanya. Perkawinan berlangsung tiga setengah tahun dengan dua anak. Dia menginginkan satu anak setiap tahun; tim sepakbola, katanya.
Syukurlah anak-anak laki-lakiku tidak seperti dia.
Setelah pernikahan berakhir kamu kembali ke sekolah di usia 19?
Saya berumur 19 tahun dan saya suka (dengan berakhirnya pernikahan). Saya kembali ke sekolah tanpa perduli jadi sisiwa tertua.
Rasanya jauh lebih mudah dibandingkan apa yang saya alami. Di sekolah saya cuma duduk menyerap pengetahuan.
Anak-anakmu tinggal bersama ayah mereka. Bagaimana Anda hidup tanpa mereka?
Sangat sulit hidup tanpa anak-anakku.
Ayah mereka mendapatkan hak asuh tunggal karena dia lebih baik merawat mereka. Dengan memperhatikan kekerasan dan situasinya, saya dianggap tidak dapat merawat anak-anakku.
Kemudian mereka dipindahkan ayahnya ke Sydney.
Saya mengunci diri di kamar merasa tertekan dan kian tertekan merasakan rindu dan kesedihan.
Sampai suatu hari, saya membuka pintu dan memutuskan 'mau diapakan lagi'. Sudah waktunya bangkit dan keluar dari kamar itu.
Saya melakukannya. Rasanya seperti metamorfosis. Saya masuk ke dunia dimana saya berubah dari seorang balita, merangkak, berjalan, belajar duduk di kafe untuk pertama kalinya dan mengeksplorasi apa yang aku sukai dipandu barometer saya sendiri, intuisiku, dimana saya berada sekarang. Hana mendirikan "Speed Date a Muslim", kegiatan komunitas untuk mengatasi Islamophobia di Australia.
ABC: Compass
Bagaimana memulai Maroccan Soup Bar?
Saat itu tahun 1998 saya sedang mengendarai mobil di jalan dan melihat tempat disewakan.
Saya pikir, 'mengapa tidak? Saya tidak tahu seperti apa, tapi ini akan jadi tempat aman, lingkungan yang mendukung wanita, dan kami akan membentuknya, memungkinkannya berkembang. Saya menghubungi agen dan menyetujui perjanjian sewa.
Anda memulai Speed Date aMuslim pada November 2015. Apa itu?
Saya penasaran bagaimana bisa secara kreatif melibatkan komunitas dengan humor, mengingat ironi bahwa secara teoretis orang Islam tidak kencan.
Melalui semacam kencan cepat, kami mengajak orang bersama-sama - Muslim duduk berseberangan dengan non-Muslim - orang bisa bertanya apa saja tentang Islam. Salah satu aktivitas Muslim Speed Dating.
Supplied/Hana Assafiri
Pernahkan Anda labrak pelaku pelecehan terhadap Anda?
Saya melihatnya bertahun-tahun silam. Saya menyetir, dan dengan emosi saya membayangkan menabraknya ke tembok. Jadi saya putar mobilnya dan kemudian sabar menguasai diriku. Saya keluar dari mobil, menatapnya dan berkata:
"Awas. Kita semua akan mempertanggungjawabkan perilaku kita".
Dia (tak mengatakan apa-apa). Dan bagiku inilah prinsip Islam yang membawa kita kembali ke penentu utama dari yang benar dan salah. Menurut keyakinanku, kita semua meninggalkan hal ini. Di situlah saya menemukan ketenangan sebagai orang dewasa. Ayahanda Hana.
Supplied: Hana Assafiri
Saat ibuku masih hidup yang kuinginkan hanyalah melindunginya. Dalam banyak hal, saya orang emosional bersamanya. Dia didiagnosis menderita penyakit motor-neuron. Penyakit yang sangat kejam. Menjelang akhir, saat dia masih bisa berbicara, dia menatapku dan berujar, "maafkan aku".
Kemarahanku bukan pada mama dan ayah. Mereka berbuat yang terbaik dan saat orang berbuat yang terbaik, kita tidak boleh marah pada mereka. Kemarahan tertuju pada pelaku.
Mengapa sekarang membuka semua ini?
Saya ingin mendorong para wanita muda berbicara - bukan hanya wanita Muslim tapi juga di semua kalangan - menyuarakan bahwa hal itu tidak dapat diterima. Tidak boleh. Tidaklah Islami memaafkan pelecehan dan mendiamkannya. Kekerasan terhadap wanita bukanlah kesalahan (wanita) dan tentu saja tidak ada yang perlu membuat malu.
Perlu membuka adanya pelecehan dan jangan membiarkan hal itu menentukan kehidupan Anda.
Perlu mengalihkan rasa malu itu dan menempatkan pada tempatnya; yaitu pada pelaku.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produsen Kosmetik Avon Tutup Operasi Di Australia