jpnn.com, JAKARTA - Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua terus melancarkan aksinya melalui berbagai penyerangan terutama terhadap aparat keamanan TNI/Polri.
Aksi KKB beberapa waktu lalu terjadi di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. KKB atau TPNPB-OPM mengakui bertanggung jawab atas penyerangan Posramil Kisor, Maybrat, Papua Barat pada Kamis (2/9) dini hari yang menewaskan 4 orang prajurit TNI.
BACA JUGA: Senator Filep Wamafma Dukung Bupati Sorong Lawan Mafia Sawit
Wakil Ketua I Komite I DPD RI Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum., menanggapi kejadian tersebut dan persoalan KKB yang terus bergejolak di tanah Papua.
Menurut Senator Filep Wamafma, perlawanan warga sipil menggunakan senjata sudah terjadi begitu lama. Akan tetapi tidak ada solusi dari pemerintah dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah ini.
BACA JUGA: Sentil Luhut, Filep: Rakyat Papua Butuh Jawaban, Bukan Somasi
Senator asal Papua Barat ini mengungkap tiga persoalan lama berkaitan dengan aksi KKB yang belum juga diselesaikan hingga saat ini.
Menurut Filep, aksi KKB berkaitan dengan kejadian pelanggaran HAM masa lalu, adanya perbedaan pemahaman ideologi dan penanganan pengaduan masyarakat Papua terkait pelanggaran HAM.
BACA JUGA: Pemasok Senjata untuk KKB Berinisial AT Ditangkap
Pertama, kejadian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia dan pada saat Orde Baru dengan daerah operasi militer di zaman Presiden Soeharto.
Menurut Filep, sampai saat ini tidak ada keinginan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut yang merupakan warisan dari masa lalu dan diwariskan ke masa ini.
Kedua, pemahaman ideologi dikarenakan perbedaan pendapat terhadap sejarah integrasi yang tumbuh subur di tengah rakyat Papua diikuti dengan sejarah konflik senjata pada saat tahun 60-an.
Ketiga, perlawanan masyarakat terhadap pemerintah melalui Komnas HAM, jika terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dilakukan melalui proses pengadilan.
Tokoh intelektual Papua ini berpendapat permasalahan dalam persoalan KKB. Sejauh ini belum ada kejelasan apakah institusi atau perorangan yang terlibat dalam pelanggaran HAM akan diproses pengadilan.
Oleh karena itu, kondisi ini menjadi sulit dan pada akhirnya diperjuangkan oleh LSM maupun oleh Ketua Adat karena belum ada upaya nyata oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Hal ini menjadi sulit karena perorangan tersebut melakukan tugas dari institusi dan perintah dari pemimpin di masa lalu. Hal ini terkait dengan siapa pemimpin yang menerapkan tugas tersebut. Jika pemerintah ini mau memproses hal itu maka jelas bisa diproses, tapi negara pasti akan melindungi karena hal itu dilakukan bukan berdasarkan perorangan tapi dilakukan atas nama institusi,” ungkap Senator Filep.
Menurut Filep, jejak sejarah kelam di masa lalu itu berlanjut kepada generasi saat ini.
Selain itu, hak warga dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) saat 1969 lalu juga masih menimbulkan polemik dimana terdapat lebih dari 600 ribu hak suara, akan tetapi nasib Papua hanya ditentukan oleh 1.025 suara yang seluruhnya mendukung integrasi ke Indonesia.
“Hal inilah yang masih diperdebatkan sampai sekarang, apakah warga Papua ini diakui atau tidak oleh pemerintah. Sehingga terjadilah gejolak yang memanas. Buktinya adalah setiap tanggal 1 Desember pasti dirayakan Hari Kemerdekaan Papua. Dalam hal ini seharusnya pemerintah mengambil peran, pemerintah harus menunjukkan bukti bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Filep.
Filep menuturkan Papua Barat masih memiliki keterbatasan dalam Sumber Daya Manusia (SDM) namun Papua Barat juga memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa.
Seharusnya, kata Filep, dengan bekal kekayaan Sumber Daya Alam ini, masyarakat Papua Barat dapat menikmati kesejahteraan namun pada kenyataannya Papua Barat masih termasuk dalam provinsi termiskin di Indonesia.
Menurut Filep, pemerintah seharusnya memberdayakan warga lokal Papua untuk bekerja di daerah masing-masing sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga lokal.
Terlebih, warga Papua menganggap bahwa tanah adalah investasi mereka, tetapi pemerintah kerap melakuan perjanjian investasi yang justru kurang menguntungkan bagi pemilik tanah.
Dia mengatakan seharusnya pihak pemerintah membagi keuntungannya secara adil menurut pembagiannya tanpa ada pihak yang dirugikan sama sekali.
Menurut Filep, warga Papua tidak merasakan keadilan dalam pekerjaan dan investasi tersebut. Hal seperti inilah yang membuat warga Papua melawan, mereka melawan karena memperjuangkan hak mereka.
Namun, pemerintah justru menganggap sebagai teroris atau KKB. Seharusnya pemerintah hanya dapat menyatakan bahwa di dalam Provinsi Papua terdapat beberapa kelompok atau oknum yang ingin melawan atau memerdekakan Papua.
“Jadi, stigma teroris kurang pas untuk menerapkan hal tersebut,” ucap Filep.
Dia menekankan pemerintah dapat mencegah atau meredam gejolak kelompok yang dianggap teroris dengan melakukan beberapa metode pendekatan seperti pendekatan secara budaya, ideologi, dan hal-hal lainnya.
Presiden yang melakukan beberapa pendekatan hal tersebut hanya terdapat pada satu presiden yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur).
Menurut Filep, dalam membangun Papua pemerintah dapat mencontoh bagaimana pemerintahan Presiden Gus Dur menerapkan pendekatan melalui pemahaman suku, budaya, dan agama bukan melalui pengiriman pasukan TNI dan Polri.
“Hal ini juga yang sering atau kerap diceritakan oleh para orang tua ke pada anaknya, hampir seluruh warga di pedalaman Papua pasti pernah mendengar cerita itu dari orang tuanya mengenai kekerasan yang sedemikian rupa,” kata Filep.
Selain itu, dia mengatakan banyaknya pos-pos penjagaan di setiap daerah dapat membuat warga merasa ketakutan dan ketidaknyamanan.
“Warga Papua ini hanya warga biasa yang bukan anggota OPM. Ketakutan warga dapat dipahami mengingat SDM warga Papua di sana masih rendah, terlebih jika mendapatkan intimidasi dari para anggota militer seperti diperketatnya larangan beraktivitas,” ujar Senator Fiep Wamafma.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich