"Ketika sebuah hamparan masih berbentuk hutan, tidak ada yang merasa memiliki. Tetapi begitu lahan kebun sawit selesai dibangun dan mulai berproduksi, saat itu pula banyak pihak yang mengklaim lahan itu sebagai miliknya," kata Isra Nur, saat membuka diskusi panel perkebunan sawit, diikuti sejumlah bupati dari daerah penghasil sawit, di Jakarta, Kamis (5/7).
Konflik kepemilikan lahan kebun sawit ini lanjutnya, secara relatif terjadi di seluruh daerah perkebunan sawit. Bahkan pada sejumlah kabupaten eskalasi konfliknya sangat keras sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat.
"Kalau konflik kepemilikan lahan sawit di Pasaman tidak segera diselesaikan maka sawit yang semula diharapkan jadi pendorong pembangunan justru berubah jadi malapetaka," ungkap Bupati Kutai Timur itu.
Lebih lanjut Isra menjelaskan kontribusi sawit terhadap pembangunan di Kutai Timur. Menurut dia sekitar 75 persen pembangunan di daerahnya ditopang oleh hasil perkebunan sawit.
Berbeda halnya dengan Pasaman yang memiliki potensi konflik kepemilikan, di Kutai Timur masalah yang menonjol adalah tidak tersedianya tenaga kerja perkebunan sawit yang mencukupi.
"Dari keseluruhan kebutuhan tenaga kerja perkebunan sawit, Kutai Timur hanya bisa memenuhi sekitar 45 persen. Sisanya berasal dari Nusa Tenggara Timur dan Pulau Jawa," ungkap Isra Nur. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Neraca Perdagangan Diprediksi Kembali Surplus
Redaktur : Tim Redaksi