jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan menjadi penyelenggara diskusi yang membahas usulan Indonesia untuk memperbarui metode perhitungan pengurangan emisi dan gas rumah kaca dari perubahan tinggi muka air tanah di lahan gambut.
Metode perhitungan ini merupakan panduan Pemerintah dalam melaporkan inventarisasi gas rumah kaca nasional setiap negara terdiri dari perkiraan emisi dan serapan gas rumah kaca.
BACA JUGA: Terungkap, Ini Alasan Gubernur Herman Deru Tak Izinkan Lahan Gambut Dialihfungsikan, Salut!
Hal ini merupakan pemenuhan komitmen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), termasuk di dalamnya seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Demikian keterangan pers tertulis dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (14/12/2023).
BACA JUGA: Pandawa Ganjar Edukasi Milenial Antisipasi Kebakaran Lahan Gambut di Kalsel
Diskusi panel yang digelar di sela-sela penyelenggaraan COP28 di Dubai ini dibuka secara langsung oleh Wakil Menteri LHK Alue Dohong dan dihadiri oleh tiga pakar, yaitu Prof Supiandi Sabiham dari Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia dan IPB University, Prof Edvin Aldrian dari BRIN dan juga merupakan Vice Chair IPCC Working Group I serta Prof Mitsuru Osaki dari Hokaido University.
Selain itu, dua pembicara lainnya yaitu peneliti dari PT Astra Agro Lestari, Bandung Sahari dan PT Riau Andalan Pulp and Paper, Sofyan Kurnianto.
BACA JUGA: KLHK Gelar Seleksi 22 CEO Perusahaan Calon Penerima PROPER EMAS 2023
“Diskusi ini kami ingin menegaskan dalam inventarisasi dan reduksi emisi Gas Rumah Kaca, penting untuk memasukkan data capaian pemulihan Ekosistem Gambut, khususnya upaya pembasahan yang direpresentasikan dengan data hasil pemantauan TMAT. Hal ini penting karena perhitungan yang dilakukan secara komprehensif yang dapat dikategorikan sebagai metodologi Tingkat Tiga (Tier-3),” ujar Alue Dohong.
Sesi ini merupakan diskusi panel moderat dengan para ahli dan praktisi dalam restorasi lahan gambut, pengukuran karbon, dan pengembangan kebijakan.
Tujuan dari sesi ini adalah untuk memberikan kesempatan dalam mengeksplorasi dan mendiskusikan usulan faktor emisi dan metodologi Emisi GRK pada ekosistem lahan gambut berdasarkan Tinggi Muka Air Tanah.
Wamen LHK Alue Dohong mengatakan konsep dasar pengusulan metode tersebut adalah memasukkan upaya restorasi ekosistem gambut yang bertujuan mengembalikan air dengan pembasahan kembali.
Saat ini, catatan atau data dari aktivitas pembasahan ekosistem gambut belum termasuk dalam metode pengkuran tingkat tiga.
Hal ini penting, berdasarkan publikasi IPCC, pengukuran tingkat tiga merupakan metode yang lebih akurat dan mempertimbangkan kompleksitas dan persyaratan data yang cukup dominan.
Data-data yang hasil pengukuran yang dilakukan dapat membangun Faktor emisi khusus untuk Indonesia.
Menentukan Status Kerusakan Ekosistem
Wamen LHK juga mengatakan upaya pembasahan lahan gambut juga penting untuk menentukan status kerusakan ekosistem ini.
Dia menyebut ekosistem gambut terdiri dari 90 persen air dan peran air di lahan gambut sangat penting untuk mengurangi potensi proses dekomposisi yang merupakan sumber emisi metana dan nitrous oxide, dan karbon dioksida, ketika lahan gambut dikeringkan, terdegradasi dan terbakar.
Alue menjelaskan meningkatkan pengelolaan air pada lahan gambut yang terdegradasi dapat dilakukan melalui pembangunan sekat kanal, pemantauan muka air tanah di lapangan secara terus-menerus dan real time serta memanfaatkan data citra satelit, pengembangan Fire Danger Rating System (FDRS) serta pengembangan data base dan sistem informasi yang andal.
Selain itu, melaksanakan pemantauan tinggi air tanah secara terus-menerus dan real time pada lahan gambut yang terdegradasi, sebelum dan sesudah kegiatan restorasi, sangat penting untuk mendapatkan seri data untuk menunjukkan efektivitas tata kelola air dan peningkatan kualitas ekosistem gambut.
Pemantauan data muka air tanah secara terus-menerus dan real time merupakan faktor kunci dalam merumuskan model atau pola algoritma tertentu di tingkat ketiga, berdasarkan data dari pemantauan GWL langsung di lapangan.
Wamen LHK berharap siskusi ini mampu menghimpun masukan empirik dan praktis dari pakar dan dunia usaha yang menjalankan bisnisnya di Ekosistem Gambut serta mendapatkan formulasi terbaik dalam mendukung pengusulan pembaruan metode perhitungan terbaru inventariisasi dan reduksi emisi Gas Rumah Kaca sesuai dengan perhitungan tingkatan ketiga kepada Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC).
Usulan ini dapat memperkuat metode perhitungan karena akan mempertimbangkan aspek pembasahan ekosistem gambut yang merupakan bagian penting dari upaya pemulihan serta untuk menunjukkan urgensi tingginya komitmen Indonesia dalam pemulihan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Diskusi ini diharapkan mampu menghimpun masukan empirik dan praktis dari pakar dan dunia usaha yang menjalankan bisnisnya di Ekosistem Gambut, untuk mendapatkan formulasi terbaik dalam mendukung pengusulan metode perhitungan inventariisasi dan reduksi emisi Gas Rumah Kaca secara lebih akurat (Tier-3) menggunakan data tinggi muka air tanah kepada Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC).
Usulan ini penting karena menunjukkan tingginya komitmen Indonesia dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Perhitungan emisi GRK yang dilakukan berdasarkan Tier-3 menggunakan data pemantauan TMAT sehingga data emisi yang dihasilkan lebih akurat.
Dengan demikian penyusunan Renaksi Reduksi GRK dari sektor FOLU dapat lebih efektif dan efisien.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari