KLHK: Indonesia Berhasil Mengurangi GRK melalui Mekanisme REDD+

Jumat, 12 Februari 2021 – 03:15 WIB
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohongprogres result based payment REDD+*. Foto: KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong menjelaskan bahwa Indonesia telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca melalui mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Hal itu diungkap Alu bersama Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto menjelaskan perkembangan terkini kerja sama pengurangan emisi GRK melalui mekanisme (REDD+) dengan beberapa pihak internasional, Rabu (11/2).

BACA JUGA: Pak Into Menemukan Tarsius Leucistic, KLHK Ucapkan Terima Kasih

"Bahwa dalam kerangka keberhasilan Indonesia mengurangi emisi GRK melalui mekanisme REDD+, Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan Result Based Payment (RBP) REDD+,” kata Alue kepada media secara virtual.

Ia menjelaskan komitmen pendanaan Result Based Payment (RBP) REDD+ itu dari, Letter of Intent (LoI) RI-Norwegia, Green Climate Fund (GCF), Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) World Bank untuk Provinsi Kalimantan Timur.

BACA JUGA: 5 Fakta 2 Harimau Sinka Zoo Lepas: Nomor 1 Menegangkan, Nomor 2 Mengenaskan

Alue menjelaskan RBP Norwegia merupakan pembayaran atas kinerja pengurangan emisi GRK dari kegiatan REDD+ untuk periode 2016-2017 sebesar 11,23 juta ton CO2eq, dengan nilai USD 56 juta.

Sementara RBP GCF diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ periode 2014-2016 sebesar 20,3 juta ton CO2eq dengan nilai USD 103,8 juta.

BACA JUGA: KLHK dan Tim Gabungan Sukses Tangani Dua Harimau Benggala yang Lepas di Singkawang

Selanjutnya RBP dari kerja sama FCPF Carbon Fund World Bank di Provinsi Kaltim diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ sebesar 22 juta ton CO2eq dengan nilai USD 110 juta untuk tiga kali tahap pembayaran antara 2021–2025.

Menurutnya, untuk RBP GCF saat ini dalam proses menyelesaikan project document yang menyajikan detail pemanfaatan dana yang harus disampaikan oleh Indonesia kepada GCF selambat lambatnya April 2021.

Untuk RBP FCPF Carbon Fund World Bank sudah dilakukan penandatanganan Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA) antara KLHK dan World Bank pada 27 November 2020.

Proses pembayaran RBP sebesar 22 juta ton CO2eq senilai USD 110 juta, direncanakan akan dilakukan dalam 3 tahap, yaitu pada 2021 sebesar 5 juta ton CO2eq senilai USD 25 juta, pada 2023 sebesar 8 juta ton CO2eq senilai USD 40 juta, dan pada 2025 sebesar 9 juta ton CO2eq senilai USD 45 juta.

Kemudian terkait kerja sama RBP Indonesia-Norwegia, Wamen LHK Alue menyebut menjadi kasus yang cukup menarik.

Ia menjelaskan saat ini proses realisasi pembayaran RBP Norwegia tahap pertama senilai USD 56 juta sudah melalui serangkaian tahapan proses yang panjang.

Menurutnya, kedua belah pihak sudah sepakat bersama, dan pemerintah Indonesia telah memenuhi semua syarat-syarat yang diminta, namun pembayaran belum terealisasi hingga saat ini.

"Semua sudah kita penuhi tinggal pihak Norwegia bayar. Janjinya akhir 2020 yang lalu akan dikucurkan dananya. Indonesia sudah berkomitmen, BPDLH sudah siap, syarat-syarat sudah kita penuhi tinggal kita tunggu komitmen pemerintah Norwegia untuk menyelesaikan pembayaran itu,” katanya.

Bahkan Alue mengatakan kesepakatan atas angka capaian pengurangan emisi GRK yang terverifikasi dan rencana pembayarannya telah diumumkan bersama antara Wamen LHK dan Dubes Norwegia melalui konferensi pers pada 27 Mei 2020.

Kesepakatan tersebut juga telah diformalkan lewat forum Joint Consultation Group (JCG) meeting antara Pemerintah RI dan Norwegia yang dilaksanakan 2 Juli 2020.

Pemerintah Norwegia pun sudah mengumumkan melalui rilis resmi Menteri Iklim dan LH pada 3 Juli 2020 yang menyatakan bersedia membayar USD 56 juta atau equivalent 530 juta NOK kepada Pemerintah Indonesia (https://www.regjeringen.no/en/aktuelt/noreg-betaler-530-milionar-for-redusert-avskog).

Djoko Hendratto menjelaskan BPDLH selain mengelola dana dari program REDD+, juga diberikan mandat melakukan pengelolaan dana reboisasi Rp 2,014 triliun yang didistribusikan dengan skema dana bergulir untuk usaha kehutanan.

Usaha kehutanan yang dapat dibiayai dengan dana tersebut bervariasi.

Mulai dari usaha kehutanan on-farm, antara lain pembiayaan terhadap usaha pembuatan tanaman kehutanan, tunda tebang tanaman kehutanan, pemungutan tanaman kehutanan dan usaha kehutanan off-farm.

“Antara lain pengelolaan hasil hutan dan sarana produksi," ujarnya.

Total dana yang telah disalurkan sampai akhir 2020 Rp 1,434 triliun. Pada 2019 telah disalurkan Rp 578.910.150,- dan 2020 Rp 151.414352.390.

Atas sisa dana Rp 580 miliar telah masuk dalam pipeline BPDLH. Pada 2021-2022 akan disalurkan kepada 4.220 debitur yang telah berkomitmen sebelumnya dengan nilai Rp 606,393,430,862.

Selain itu, sisa dana tersebut juga akan disalurkan kepada debitur baru.

Beberapa proposal baru telah diterima BPDLH sebanyak 2430 dengan nilai Rp 777,500,000,000 dan sedang dalam proses penilaian.

Sementara, Wamen LHK Alue menambahkan untuk dana RBP dari beberapa kerja sama internasional tadi ini tidak diarahkan untuk pembiayaan sektor mikro seperti yang disebutkan direktur utama BPDLH.

Melainkan pemerintah RI sudah membuat investment plan yang diarahkan untuk memperkuat aksi-aksi mitigasi untuk mengurangi emisi di lapangan seperti salah satu contohnya untuk pemulihan mangrove dan gambut," pungkas Alue.

Hadir pula dalam acara tersebut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung S, Kepala Badan Litbang dan Inovasi Agus Justianto, dan Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanti. (*/jpnn)

 

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler