Klop dengan Opsi Usulan Wamen ESDM

Penerapan Harga Tengah Premium

Minggu, 22 Januari 2012 – 08:12 WIB

JAKARTA - Beragam opsi yang muncul terkait rencana pembatasan dan pengaturan BBM bersubsidi, sepertinya, tidak sulit menemukan titik temu. Setidaknya jika dikaitkan dengan opsi adanya harga tengah premium untuk mobil pribadi.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo mengungkapkan, usulan mengenai harga tengah itu tidak jauh berbeda dengan salah satu opsi yang pernah disampaikannya untuk memangkas subsidi BBM, khususnya premium. "Itu (usulan harga tengah, Red) hampir sama dengan opsi yang keempat," ujar Widjajono kepada Jawa Pos ini, kemarin (21/1).

Opsi keempat tersebut adalah menarik beberapa komponen subsidi secara bertahap. Misalnya, biaya distribusi BBM yang selama ini ditanggung pemerintah dicabut, harga premium naik menjadi Rp 7.200 per liter. Tahun berikutnya, pajak BBM yang selama ini juga ditanggung pemerintah dikenakan kepada konsumen, sehingga harga premium meningkat menjadi Rp 8.200 per liter (Jawa Pos, 20/1).

Dengan opsi itu, bisa muncul harga Rp 6.500 per liter. Widjajono mengatakan, angka itu sebenarnya berarti tidak ada kenaikan harga premium. "Itu biaya premiumnya," kata dia.

Sebagai informasi, harga premium terdiri atas biaya premium, biaya alpha, dan pajak. Biaya alpha adalah biaya distribusi ditambah margin, serta pajak. Nah, jika harga ekonomis Rp 8.200 per liter dikurangkan biaya alpha dan pajak, maka didapati harga Rp 6.500 per liter.

Guru besar program studi teknik perminyakan ITB itu mengatakan, subsidi tidak bisa terus-terusan dilakukan. Namun bisa dicabut bertahap. "Kalau orang tahun depan harganya jadi sekian, kan bisa persiapan," kata Widjajono. Dengan pemberlakuan secara bertahap, persiapan untuk pengalihan ke BBG juga dimulai.

Seperti diwartakan, anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha menyebut harga tengah premium merupakan opsi yang memungkinkan dilaksanakan per 1 April 2012. Untuk sepeda motor dan angkutan umum tetap Rp 4.500 per liter, sedangkan mobil pribadi Rp 6.400 per liter. Harga Rp 6.400 per liter itu berasal dari harga premium tanpa subsidi Rp 8.000 per liter, dikurangi pajak BBM yang dibebaskan sekitar Rp 1.600 per liter, sehingga harga premium menjadi Rp 6.400 per liter (Jawa Pos, 21/1).

Skema itu berbeda dengan menaikkan harga BBM subsidi. Sebab, premium subsidi untuk sepeda motor, angkutan umum, dan UMKM masih tetap Rp 4.500 per liter. Sementara mobil pribadi tidak boleh mengkonsumsi premium subsidi, sehingga diberi opsi premium nonsubsidi dengan insentif pembebasan pajak. Skema itu dinilai lebih fair dengan penghematan bisa sampai Rp 12 triliun.

"Itu (usulan, Red) cocok, cuma caranya berbeda," terang Widjajono yang juga anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) itu. Dia mengungkapkan, saat rapat kerja antara kementerian ESDM dengan komisi VII DPR memang ada kesepahaman mengenai pengurangan subsidi. "Cuma caranya bagaimana belum disepakati," sambung pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah itu.

Selain opsi menarik beberapa komponen subsidi secara bertahap, ada tiga opsi lain yang pernah diutarakan Widjajono. Opsi-opsi itu adalah menaikkan harga jual premium untuk mobil pribadi setiap tahun hingga mencapai harga keekonomiannya; menaikkan harga premium pada 1 April 2012 menjadi Rp 8.200 per liter untuk wilayah Jakarta, lantas dilakukan hingga ke daerah secara bertahap hingga 2014; dan menaikkan harga premium untuk mobil pribadi secara otomatis 5 persen per bulan, sehingga dalam satu setengah tahun harga premium sudah mencapai Rp 8.100 per liter.

Opsi mana yang akan dipilih, lanjut dia, bergantung pada pemerintah. Widjajono sebagai wakil menteri ESDM hanya dalam kapasitas memberikan usulan sebagai pribadi. "Itu opsi saya, nanti silakan pemerintah atau presiden yang memilih."

Dihubungi terpisah, pengamat perminyakan dan kebijakan ekonomi Pri Agung Rakhmanto berpendapat, penerapan harga tengah premium terkesan tidak tegas. "Harga tengah itu hanya pembatasan yang malu-malu," katanya.

Padahal, kebijakan pembatasan dikhawatirkan akan meningkatkan potensi penyelewengan penimbungan BBM bersubsidi hingga ada pengumuman. Dalam pandangannya, lebih baik pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara fluktuatif. "Kalau saya, naikkan Rp 1.000 sampai 1.500 per liter," katanya.

Pri Agung mengungkapkan, dirinya sudah melakukan hitung-hitungan jika menaikkan harga dengan nominal sesuai usulannya. Jika kenaikan harga premium Rp 1.000 per liter, maka potensi inflasi hanya 1 persen. Langkah itu menghemat keuangan negara sebesar Rp 38,3 triliun per tahun.

Dalam konteks anggaran tahun 2012, menurut dia, memang hanya ada pilihan pembatasan BBM atau kenaikan harga. Namun untuk jangka panjang, pilihan konversi BBM ke BBG bisa menjadi opsi yang diupayakan. "Tapi (konversi ke BBG) jangan 1 April ini. Jelas tidak mungkin," kata direktur eksekutif ReforMiner Institute itu.

Menurutnya, untuk menerapkan kebijakan konversi BBM ke BBG, setidaknya akan memakan waktu lima hingga sepuluh tahun, bergantung pada kesiapan negaranya. "Itu perhitungan mulai dari nol hingga siap semua infrastrukturnya," jelasnya.

Saat ini, Pri Agung menyayangkan banyaknya opsi yang muncul ke publik terkait kebijakan pengaturan BBM bersubsidi. Menurutnya, opsi-opsi yang terlontar sebaiknya hanya menjadi pembicaraan di internal pemerintah.  "Nggak usah diungkap, tapi dimatangkan dulu. Publik itu perlu kejelasan, jadi pembatasan atau tidak. Kalau tidak, berarti harga naik," ucapnya. (fal)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Kurangi Impor, Bibit Sapi Harus Dioptimalkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler