KNKT Rusia Akui Ada Parasut SSJ 100

Rabu, 16 Mei 2012 – 08:26 WIB

JAKARTA-Kontroversi soal penemuan parasut di lokasi kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet (SSJ 100) di Gunung Salak sedikit terkuak. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Rusia mengakui adanya parasut di dalam pesawat tersebut. Hanya saja tidak diketahui apakah parasut itu sejak awal melekat pada badan pilot.

Ketua KNKT Rusia Sergey Korostiev dalam jumpa pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Selasa (15/5), mengatakan, parasut tersebut terdapat di kontainer box bersama makanan dan minuman dan lainnya. Dikatakan, parasut tersebut merupakan bagian dari survival kit, yakni perangkat untuk pertahanan hidup jika pesawat harus mendarat darurat.

’’Parasut itu secara otomatis terbuka sebagai dampak dari tabrakan yang terjadi,’’ ungkap Sergey melalui seorang penerjemah. Parasut itu terlempar sebagaimana komponen pesawat lain. Sergey mengatakan, pihaknya akan terus membantu Basarnas dalam proses evakuasi dan investigasi kecelakaan SSJ 100.

Turut bersama Sergey, Ketua Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Daryatmo menegaskan parasut tidak berada di kokpit, tapi di ruang kargo. Maka parasut itu bukanlah berada dengan kursi lontar layaknya di pesawat tempur.

Jika di pesawat tempur, pilot bisa menyelamatkan diri keluar dengan kursi lontar yang mengeluarkan parasut. Namun, Daryatmo mengaku tidak tahu secara pasti posisi dan kondisi parasut saat ditemukan tim identifikasi. ’’Survival kit bukan untuk terbang, tidak ada kaitan dengan kursi lontar. Saya tidak tahu posisinya apakah dekat atau jauh, terbuka atau tidak saya juga tidak tahu,’’ kata Daryatmo.

Di tempat terpisah, Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin, mengungkapkan, berdasarkan hasil risetnya, sebelum hingga saat kecelakaan SSJ 100, Gunung Salak terutup awan comolonimbus. Awan hitam pekat itu memang membahayakan penerbangan.  

Hal tersebut tentu berbeda dengan hasil analisis BMKG bahwa saat itu yang ada di Gunung Salak adalah awan biasa. Padahal baik Lapan maupun BMKG menggunakan data sama. Yakni, berdasarkan rekaman data cuaca dari satelit MTSAT milik Jepang. Satelit tersebut berfungsi mengamati keadaan atmosfer di wilayah Asia Pasifik.

Thomas mengakui adanya perbedaan hasil analisis dengan BMKG meski dari data sama. Data-data dari satelit itu memang belum menunjukkan jenis awan tertentu yang meliputi wilayah tertentu. Pihaknya menyimpulkan adanya comolonimbus setelah menganalisis tiga variabel yakni prosentase liputan awan, indeks konveksi atau pergerakan udara di ketinggian tertentu, dan albedo.

’’Prosentase awan 70 persen, maka hanya ada celah 30 persen yang tidak diliputi awan,’’ ungkap Thomas saat ditemui di Kantor Lapan, di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur. Sedangkan semakin tinggi nilai albedo semakin menunjukkan ke ciri-ciri awan comolonimbus. Hasil analisanya, albedo awan di Gunung Salak saat itu mencapai 90 persen.

Berbeda dengan BMKG menganalisis albedo awan hanya 30 persen. Thomas juga menunjukkan pergerakan awan yang menyelimuti Gunung Salak di laptopnya. Data dari situs Lapan yang diambil dari satelit itu menunjukkan awan menutupi Gunung Salak pukul 14.30 hingga puncaknya pada 14.30. Rentang waktu itu merupakan saat Pesawat SSJ lost contact.    

Suhu awan tersebut mencapai minus 48 derajat celcius atau jauh di bawah titi beku. Kendati demikian, Thomas tetap enggan berkomentar apakah kondisi awan waktu itu membahayakan penerbangan. Namun dia hanya mengatakan, tidak semua comolonimbus membahayakan penerbangan.

’’Ada juga yang masih bisa diterobos pesawat. Pilot tentunya sudah tahu itu,’’ ungkapnya. Thomas juga menampik anggapan bahwa pilot SSJ 100 menurunkan ketinggian dari 10 ribu ke 6 ribu kaki untuk menghindari awan comolonimbus itu. Sebab itu merupakan keputusan pilot yang kemungkinan besar bisa diketahui hanya dari hasil pembicaraannya di black box.

’’Sebaiknya kita tunggu hasil dari KNKT setelah menemukan black boxnya dulu. Saya tidak mau mendahului petugas berwenang dalam masalah ini,’’ pungkasnya. Thomas juga berpesan bahwa temuan Lapan itu agar tidak menjadi bahan yang diperdebatkan atau sebagai spekulasi mengenai penyebab kecelakaan SSJ 100.  

Hanya saja dalam kondisi tertentu Lapan turut aktif meneliti sesuai bidangnya. Termasuk, menganalisis awan pada saat pesawat SSJ 100 kecelakaa di Gunung Salak. ’’Kami juga membantah informasi bahwa seolah-olah Gunung Salak itu selalu membahayakan bagi penerbangan. Sebaliknya, dalam kondisi normal rute itu aman bagi penerbangan,’’ tandasnya. (dni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jasad Pramugari Ditemukan Sepotong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler