Koalisi Anti Mafia Hutan Desak Nenek Asyani Dibebaskan

Minggu, 15 Maret 2015 – 13:37 WIB
Nenek Asyani di balik jeruji besi. Foto: dok.Jawa Pos/JPNN

JAKARTA - Kasus yang menimpa nenek Asyani, 63, yang menjalani proses hukum akibat dituduh mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur dan ditahan sejak 15 Desember 2014, mendapat sorotan Koalisi Anti Mafia Hutan.
 
Nenek yang sudah renta itu didakwa dengan Pasal 12 huruf d UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun.

Koalisi Anti Mafia Hutan menilai perkara yang menjerat Nenek Asyani merupakan bukti bahwasanya UU P3H secara substantif bermasalah.

BACA JUGA: Ini Kritik Pedas Terbaru Rachmawati Soekarnoputri untuk Mega

"Isi dari UU P3H bertentangan dengan semangat menjerat korporasi besar yang melakukan perusakan hutan," ujar Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, dalam keterangan pers Koalisi Anti Mafia Hutan yang diterima JPNN, Minggu (15/3).

Koalisi Anti Mafia Hutan ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan HuMa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), SAWIT WATCH, Epistema Institute, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Silvagama, dan Public Interest Lawyer Network (PILNET).

BACA JUGA: Dorong Tommy Soeharto Nyapres 2019

Dijelaskan, dalam konsiderans menimbang dari UU P3H disebutkan: bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.

Sangat disayangnya, Undang-Undang ini justru mengkriminalkan masyarakat lokal yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional, yakni masyarakat lokal yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan.

BACA JUGA: FHI Tuding Pemerintah Lakukan Diskriminasi Honorer Tertinggal

"Nenek Asyani adalah korban dari keberlanjutan kesewenang-wenangan dari UU P3H. Sejak disahkan 6 Agustus 2013, UU P3H telah memenjarakan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Bahkan Koalisi Anti Mafia Hutan mencatat setidaknya terdapat 22 orang yang sudah dihukum dengan dasar UU P3H tersebut," demikian Koalisi Anti Mafia Hutan dalam keterangannya.

Dari kasus-kasus yang dicatat Koalisi tersebut, tak satupun Korporasi yang menjadi pelaku-nya, melainkan individu-individu yang hampir semua adalah warga yang tinggal di dalam/sekitar kawasan hutan. Hal yang sebenarnya bukan tujuan mengapa UU P3H dibentuk.

"Nenek Asyani sekali lagi menjadi bukti bahwa Negara, telah sewenang-wenang terhadap warga melalui UU P3H, karena kewajiban negara untuk memperjelas tata batas kawasan hutan tidak dilakukan," ulasnya.

Koalisi juga menilai, UU P3H gagal menindak korporasi besar perusak hutan yang melakukan kejahtaan terorganisir, melainkan menyasar dan mengkriminalkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.

Koalisi Anti Mafia Hutan kini tengah melakukan Pengujian UU P3H ke Mahkamah Konstitusi dan meminta MK untuk membatalkan seluruh isi UU P3H.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi Anti Mafia Hutan menuntut, pertama, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo harus memutus bebas Nenek Asyani.

Kedua, Perhutani harus dapat menghormati hak-hak masyarakat yang berada di dalam atau sekitar hutan untuk dapat mengambil sumber kehidupannya dari hutan.

Ketiga, Perhutani dapat menertibkan aparatnya dan mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat yang berada atau di sekitar hutan.

Keempat, Mahkamah Konstitusi harus segera memutus perkara No 95/PUU-XII/2014, Pengujian UU P3H dengan membatalkan seluruh isi dari UU P3H tersebut. (sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintahan Jokowi Dianggap Diskriminatif Terhadap Honorer K2


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler