Koalisi Masyarakat Sipil: Pemilu Sudah Dibajak Rezim, Saatnya Demokrasi Diselamatkan!

Sabtu, 17 Februari 2024 – 09:50 WIB
Ketua PHBI Julius Ibrani mewakili Koalisi Masyarakat Sipil menilai Pemilu 2024 telah dibajak oleh rezim dan sudah saatnya demokrasi Indonesia diselamatkan. Foto: Dokumentasi Antara

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Julius Ibrani mewakili Koalisi Masyarakat Sipil menilai Pemilu 2024 telah dibajak oleh rezim dan sudah saatnya demokrasi Indonesia diselamatkan.

Hal ini disampaikannya merespons sejumlah kejanggalan yang terjadi pada penyelenggaraan Pemilu 2024 yang digelar pada Rabu (14/2) lalu, antara lain hasil hitung Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada formulir C1 dengan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).

BACA JUGA: Elite MUI Angkat Bicara soal Isu Kecurangan Pemilu 2024

"Sudah saatnya kelompok masyarakat Sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia," tegas Julius Ibrani dalam keterangannya yang diterima, Sabtu (17/2).

Julius menyampaikan pemungutan suara Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari lalu mengonfirmasi bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan Calon Presiden Prabowo Subianto yang didampingi oleh anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

BACA JUGA: Masyarakat Diharapkan Sabar dan Tenang, TPN Akan Serahkan Bukti-bukti Kecurangan ke Bawaslu

"Sejak awal koalisi menilai bahwa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming adalah paslon yang bermasalah. Prabowo merupakan pelanggar HAM karena telah melakukan penculikan aktivis HAM pada 1997-1998 yang telah diakuinya dan membuatnya dicopot dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998," kata Julius.

Sementara itu, kata Julius, majunya Gibran sebagai cawapres nyata-nyata mengabaikan agenda reformasi 1998.

BACA JUGA: Heran Terima Laporan Kecurangan di Pilpres, Oso Hanura: Ini Pemilu Gila!

"Pencalonan Gibran sarat dengan praktik KKN, serta melanggar etika konstitusi. Tidak ada kepentingan rakyat yang diwakilinya, karena kepentingan utamanya adalah untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroni Jokowi," imbuhnya.

Julius menyebut cawapres Gibran tidak layak sebab dimulai dari pembajakan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pamannya, Anwar Usman, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan MK saat itu.

Putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) jelas menyatakan terjadi pelanggaran etik berat dalam Putusan 90/2023 yang membuka jalan pencawapresan Gibran.

Pencawapresan Gibran di KPU juga bermasalah, karena seharusnya ditolak oleh lembaga penyelenggara Pemilu tersebut lantaran tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) sendiri.

PKPU baru diubah kemudian setelah Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres 02 diterima.

"Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa Ketua dan Komisioner KPU melanggar etik berat dan diberikan sanksi peringatan keras terakhir terhadap ketua KPU Hasyim Asy’ari karena telah meloloskan pencalonan Gibran," kata Julius lagi.

Menurut Julius, hal ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi, keluarga dan kroni-kroninya benar-benar telah membajak lembaga negara, seperti MK dan KPU.

Mereka tidak lagi memperdulikan etika, Konstitusi Negara, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN.

"Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan paslon 02," ungkap Julius.

Sejak sebelum Pemilu, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menemukan bahwa kejahatan Pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan paslon pada 18 November 2023 hingga masa tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.

Bahkan sehari sebelum presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu.

Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk 'menaklukkan' Bawaslu.

Dalam konteks itu, kata Julius lagi, pelanggaran masif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pasca itu menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut.

"Kejahatan Pemilu dalam bentuk intimidasi (sebagaimana diakui Bawaslu) untuk mendukung paslon 02, salah input (sebagaimana diakui KPU) dan pencurian suara serta penggelembungan suara untuk paslon 02 pada Sistem Rekap KPU, pencoblosan Paslon 02 oleh KPPS dan orang-orang tidak bertanggungjawab atas perintah KPPS atau aparat desa, dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Pemilu 2024, khususnya Pilpres, tidak legitimate serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi," paparnya.

Lebih lanjut Julius mengatakan melaporkan pelanggaran Pemilu kepada Bawaslu dan MK sebagaimana disampaikan Jokowi adalah tindakan sia-sia.

"Sebab MK dan Bawaslu hanyalah kelembagaan negara yang tidak terbukti tunduk pada kebaikan bersama rakyat dan tunduk pada kehendak politik Jokowi dan kroni-kroninya," tegasnya.

Oleh karena itu, tegas Julius, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan Pemilu 2024 sudah dibajak Rezim dan saatnya demokrasi diselamatkan.

"Sudah saatnya kelompok masyarakat sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia," tandas Julius kembali. (jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler