Koalisi Masyarakat Sipil Senang RUU KKS Batal Pecahkan Rekor Tercepat

Minggu, 29 September 2019 – 23:15 WIB
Gedung DPR RI. ILUSTRASI. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) gagal mencatat sejarah sebagai beleid supercepat dengan pembahasan yang dilakukan DPR dalam tempo tiga hari. Pasalnya, RUU KKS itu batal disahkan oleh DPR periode 2014-2019.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah LSM dengan fokus terhadap hak asasi manusia (HAM) mencatat RUU KKS muncul atas inisiatif DPR Juli 2019 untuk dilakukan pembahasan bersama dengan pemerintah.

BACA JUGA: Sepertinya RUU KKS Bakal Gagal Cetak Rekor Pembahasan Tercepat

Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan sebelumnya pemerintah tengah mencoba merampungkan proses penyusunan daftar inventarisir masalah (DIM) sebagai syarat untuk dilakukan pembahasan.

Meski muncul sebagai inisiatif sejak Juli lalu, rapat pembahasan baru akan pertama kali dilakukan DPR, Jumat (27/9). Dengan berakhirnya masa tugas pada 30 September mendatang, praktis hanya tersisa tiga hari bagi para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU KKS.

BACA JUGA: Jamin Banyak Kepentingan Nasional, RUU KKS Diharapkan Segera Disahkan

“Jika disahkan, RUU ini akan mencatat sejarah supercepat, mengalahkan UU KPK dan pembahasan RUU KUHP yang saat ini menjadi polemik di masyarakat,” kata Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar.

Wahyudi dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil menolak RUU KKS di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Jumat (27/9), mengaku khawatir kalau RUU KKS dipaksa untuk disahkan pada periode ini justru akan menyandera UU Perlindungan Data Pribadi. Padahal RUU ini seharusnya dibangun secara paralel dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga tidak saling mengunci.

Dia menjelaskan kenapa harus paralel antra RUU KKS dengan Perlindungan Data Pribadi. Menurutnya, untuk memastikan adanya kedaulatan individu di ruang siber, ada dua hal harus ditekankan, data security dan data protection yang terkait erat dengan hak-hak pemilik data.

"Misalnya pemilik data memiliki akses mengubah, menghapus, menolak. Sementara data security memastikan langkah pengelola bagaimana mengamankan data agar tidak ada kebocoran,” ucap Wahyudi.

Kalau ini tidak dilakukan bersamaan, lanjut dia, maka akan mengunci beberapa hal yang seharusnya bisa diatur kuat dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. "Seperti monitoring kebocoran data pribadi, akses perlindungan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan monitoring data,“ imbuhnya.

Lebih jauh dia menilai perlunya pengkajian ulang atas kebutuhan keamanan siber, identifikasi aktor dan kebutuhan tiap sektor, perumusan ulang ramcangan, serta pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas dalam proses perumusan RUU ini, mengingat besar dan luasnya materi yang akan diatur.

“DPR seharusnya membuka ruang lebih panjang dan luas dengan pemangku kepentingan, tidak hanya pemerintah, tetapi rakyat dan pemangku kepentingan bisnis,” pesan Wahyudi.

Hal lain yang menjadi perhatian serius Koalisi Masyarakat Sipil yaitu perlunya secara tepat menerjemahkan pendekatan berbasis HAM dalam perumusan aturan mengenai keamanan siber, demi menjamin keamanan individi, protokol, perangkat, data, jaringan dan infrastruktur penting lainnya. "Bukan sebaliknya, justru mengancam kebebasan sipil dan menciptakan ketidakamanan individu," jelasnya.

Wahyudi menyatakan, negara memegang tanggung jawab penuh untuk melindungi hak dan keamanan warganya, dan bila diperlukan kelompok bisnis dan pemangku kepentingan lainnya dapat terlibat secara konstruktif dan kritis, dalam setiap pengembangan dan impelementasi kebijakan siber.

“Oleh karenanya pengembangan kebijakan dan upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani keamanan siber, harus dilakukan secara terbuka dan inklusif, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” paparnya.

Erwin Natosmal Oemar Direktur Indonesia Legal Round Table (ILRL) berpendapat salah satu hal terpenting dari pembahasan RUU adalah evaluasi, antara lain mengenai persinggungan dengan regulasi lain, struktur, ataupun substansi.

“RUU ini tidak pernah dievaluasi, bagaimana persinggungan regulasi ini dengan regulasi lain. Soal struktur, substansi apakah sudah dievaluasi? Saya lihat ada dua delik pidana yang sebenarnya menjadi problem, IU ITE saja sudah ada korban, belum dievaluasi UU ITE sudah ada lagi RUU dengan pasal karet yang ancaman hukumannya tinggi,” papar Erwin.

Peneliti senior Imparsial Anton Aliabbas ll mengutarakan jika DPR kemarin tidak mengeluarkan pernyataan dibatalkannya rencana pengesahan, maka RUU KKS ini hanya akan menambah kegaduhan di Indonesia.

“Jika dipaksa tetap disahkan hanya akan menambah komplikasi dalam kegaduhan yang ada,” kata dia.

DPR secara resmi kemarin telah menyatakan tidak akan mengesahkan RUU KKS pada periode ini. Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan alasan penundaan pengesahan karena menghargai masukan pemerintah dan masyarakat untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut. Diakuinya masih ada beberapa isu krusial di dalam RUU tersebut yang memerlukan pendalaman agar dapat memajukan ekonomi digital serta mengatur peran negara dalam mengelola keamanan siber di era digital dan keterbukaan informasi.

Ia memastikan pengkajian RUU KKS selanjutnya oleh DPR para periode mendatang akan melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan lainnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler