Kokpit dan Awak Kabin Beda Jenis Pilihan Fly

Sabtu, 11 Februari 2012 – 08:28 WIB

PILOT Lion Air yang tertangkap menggunakan Narkoba di Surabaya pekan lalu seolah mengungkap labirin gaya hidup para pekerja udara saat di darat. Maklum, penangkapan di Surabaya adalah pengembangan dari pengungkapan kasus serupa di Makasar. Kok bisa seorang pilot yang bertanggungjawab atas keselamatan penumpang terjerat narkoba? Berikut penuturan pilot dan kru pesawat udara.
--------------------
HENDROMASTO, Jakarta
--------------------
Wajah ayu Wartina, sebut saja begitu, tampak segar saat INDOPOS (Grup JPNN) menemuinya di sebuah cafe di Jakarta Pusat. Rambut panjang yang biasa dia gelung saat bertugas di pesawat dibiarkan tergerai. Penampilannya sangat casual, segar dipandang. Awak kabin senior yang punya pengalaman terbang sejak 15 tahun lalu ini kebetulan tengah tidak bertugas.

"Saya lagi off. Nunggu schedule," katanya membuka percakapan. Wartina kembali menegaskan dirinya mau berbagi cerita asal identitasnya dirahasiakan, hal yang dia minta sejak kali pertama INDOPOS mengajukan permintaan wawancara. Tidak ingin dianggap membuka aib sesama orang udara jadi alasannya. Di lain pihak, dia juga ingin menyampaikan tak semua pilot dan awak kabin adalah pengguna narkoba hingga membuatnya bersedia ditemui INDOPOS.

"Nggak semua pilot dan awak kabin begitu. Banyak kok yang lurus-lurus saja," katanya. Narkoba di kalangan pekerja udara, menurut Wartina, tidak selalu sama antara mereka yang di dalam kokpit dan kabin. Pilot dan Kopilot sangat jarang menggunakan ganja. Sabu-Sabu adalah narkoba yang jamak digunakan mereka yang bertugas di ruang kendali pesawat.

Efek amphetamin dalam sabu-sabu yang membuat pemakainya bisa lebih lama terjaga dari tidur, percaya diri dan perasaan nyaman cocok dengan ritme kerja mereka. Jadwal terbang yang padat hingga amburadulnya manajemen waktu istirahat menjadi salah satu sebab mengapa ada pilot yang menggunakan sabu.

”Kalau captain (pilot, Red) lurus-lurus saja, setelah landing dia akan langsung masuk kamar dan istirahat untuk schedule terbang berikutnya. Tapi, ada juga kan yang suka jalan-jalan dulu,’’ tuturnya. Nah, pilot yang tak bisa mengatur waktu istirahat dan sekaligus punya gaya hidup tak biasa inilah yang rawan menjadi korban narkoba. Efek sabu-sabu yang membuat penggunanya bisa terjaga lebih lama dan merasa percaya diri dinilai bisa membantu tugas mereka saat terbang. ”Jadi kayak doping gitu,” tukas Wartina.

Bagaimana dengan awak kabin? ”Sebenarnya sih sama saja. Ada yang lurus-lurus saja dan ada yang belok-belok. Sama kayak orang di luar airlines lah,” tandasnya. Kasus penangkapan awak kabin yang terjerat narkoba memang pernah terjadi. Pada April tahun lalu, seorang pramugari diciduk aparat di rumah kosnya di bilangan Jakarta Pusat. Pengadilan memberinya vonis empat tahun kurungan akibat kedapatan menyembunyikan sabu-sabu di dalam bra saat digerebek.

Menurut Wartina, awak kabin relatif lebih bisa menyembunyikan efek zat aditif yang ada dalam tubuhnya dari para penumpang. ”Kerja awak kabin kan melayani penumpang. Memastikan apa yang ada di kabin beres. Tingkat konsentrasinya relatif tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kokpit,” bebernya. Akibatnya, mereka tak terlalu pilih-pilih zat aditif yang digunakan. Wartina menyebut hampir mustahil ada pilot atau co pilot mengonsumsi ganja. ”Bisa-bisa tidur deh saat terbang,” katanya.

Bagaimana dengan ekstasi? Menurutnya, ekstasi tidak terlalu banyak dipilih pekerja udara karena efeknya lebih banyak menyebabkan penggunanya ingin bergerak terus. ’’Tapi, tentu ada juga sih yang pakai,’’ katanya.

Dia mengingatkan INDOPOS pada nama Mohammad Said Badeges. Pilot Garuda itu tertangkap tangan membawa delapan ribu pil ekstasi saat berada di Bandara Schiphol, Amsterdam pada Oktober 1996 silam. Kapten Said, begitu dia biasa disapa, adalah pilot senior yang sudah mengantongi 20 ribu jam terbang. Dia akhirnya dipecat dari Garuda.

Apakah Anda malu dengan penangkapan pekerja udara dengan Narkoba yang makin sering belakangan ini? Wartina tidak langsung menjawab. Dia lebih dulu menghisap rokok di sela bibir tipisnya. Sambil menghembuskan asap tembakau, dia balik bertanya kepada INDOPOS. ’’Anda mau jawaban dari sisi mana dulu? Bagi yang tidak memakai Narkoba, tentu akan menjawab malu. Bagi yang memakai, jawabannya adalah kenapa Lo sampai ketahuan sih?’’ ujarnya.

Namun, Wartina menegaskan, rasa malu yang teramat sangat dipikul oleh airlines tempat mereka bekerja. Dampak bagi bisnis airlines sangat besar karena terkait dengan kepercayaan penumpangnya.

’’Kepercayaan penumpang pasti terganggu. Ini yang berat,’’ ujar awak kabin berpengalaman ini. Bagi pelakunya, jika memang tertangkap kemudian bisa menjalani rehabilitasi dan hukuman, bukan tidak mungkin bisa kembali terbang. Wartina menyebut salah satu pilot lokal yang pernah berkasus dengan Narkoba kini menjadi salah satu pilot senior sebuah maskapai asing dan kini tinggal di luar negeri.

Bagaimana dengan para pekerja udara asing? ’’Setahu saya, mereka yang di kokpit lebih senang alkohol. Itu pun dengan catatan mereka sangat ketat mengatur waktu. Jika sudah masuk jam-jam rawan dan waktu istirahat, mereka akan langsung balik kanan dan beristirahat. Beda dengan lokal, kadang sampai kebablasan,’’ beber Wartina. Ucapan Wartina ada benarnya. Pilot yang tertangkap di Surabaya pekan lalu diciduk aparat hanya tiga jam sebelum jadwal terbangnya.

Wartina menegaskan, sesuai aturan penerbangan internasional, semua pekerja udara harus bersih dari pengaruh-pengaruh Narkoba dan sebangsanya belasan jam sebelum penerbangan. Namun, ketentuan itu sering dilanggar. Apakah tidak ada tes urin sebelum terbang? ’’Urin bisa beli,’’ selorohnya membuka trik mengakali tes urin. Itu pula sebabnya kini tes Narkoba pada pekerja udara diketatkan dengan mengambil sample dari rambut.

Menurut Presiden Federasi Pilot Indonesia, Hasfrinsyah, pilot dan kru pesawat kecil kemungkinannya dapat mengkonsumsi narkoba di dalam kokpit atau sesaat sebelum terbang. Alasannya, si pilot atau kru lainnya melewati X-Ray (detektor) untuk sampai ke pesawat. "Jadi kalau bawa ke kokpit pasti sudah ketahuan," katanya.

Hasfrinsyah mengaku kemungkinannya si pilot atau kru mendapatkan barang haram dari jaringan/ bandar narkoba didaerah atau negara tujuan. "Bisa jadi dia sudah menjadi klien pengedar didaerah atau tempat dia mendarat, karena selesai tugas (terbang), dia bebas, meski seharusnya dimanfaatkan untuk istirahat," jelasnya.

Dengan semakin banyaknya pilot dan kru pesawat yang tertangkap menggunakan narkoba, Hasfrinsyah mendukung upaya pemerintah bersama BNN untuk melakukan tes urine atau tes lainnya yang dapat menekan penggunaan narkoba. "Kita tidak bisa melihat dari profesinya saja tetapi juga secara individu, itu sudah melanggar negara dan wajib ditindak," kata Hasfrinsyah. Penindakan oleh aparat juga diharapkan keduanya agar "penyakit" pilot tersebut tidak menulari pilot atau kru lainnya.

Disebutkan, baik peraturan ICAO atau pun yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Udara (CASR) mengatakan bahwa awak pesawat (pilot dan semua kru) tidak diperkenankan terbang dalam keadaan mabuk, kadar alkohol dalam darah harus bersih kandungan alkohol. Apabila mengkonsumsi alkohol minimum 8-12 jam sebelum bertugas. "Jadi jelas untuk alkohol saja tidak diperkenankan apalagi Narkoba," kata Staphanus.

Dia juga mengaku sebagai organisasi yang mewakili Indonesia yang setiap tahun selalu menghadiri rapat (Annual Conference) pada Induk Organisasi Pilot Dunia (International Federation of Air Lines Pilots Association-IFALPA), pihaknya tidak pernah mendengar adanya pilot mengkonsumsi narkoba dalam penerbangan. (diperkaya vita amelilawati)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Suara Hati Para Imigran yang Gagal Menyeberang ke Australia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler