Segala cara dilakukan para imigran asal Timur Tengah untuk meninggalkan negerinya. Dengan modal seadanya, mereka mempertaruhkan nyawa demi menuju negara baru.
UJANG Y.M.-SANDY A.W., Tasikmalaya
ABID Ali mengatakan, kakek moyangnya berasal dari Afghanistan. Mereka kabur ke Pakistan karena negeri asalnya terus dilanda peperangan. Siapa sangka, kondisi Pakistan juga tidak nyaman. Sebagai penganut Syiah, Abid merasa nyawanya terancam.
"Di Pakistan, kalau Syiah, Anda tidak dianggap muslim. Karena itu, (orang Syiah) di sana dibunuh. Hal tersebut (membuat) saya lari untuk menemukan masa depan yang lebih baik," ujarnya saat dievakuasi di kawasan Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat (4/2).
Tujuan Abid adalah Australia. Bersama puluhan imigran lainnya dari Arab Saudi dan Iran, Abid berusaha mencapai Negeri Kanguru itu dengan kapal dari Pantai Cipatujah, Tasikmalaya. Sayang, usaha mereka gagal. Perahu yang ditumpangi para imigran tersebut bocor. Mereka pun langsung ditangkap aparat berwenang.
Abid sejatinya ingin menembus Australia dengan jalur resmi. Namun, upaya tersebut tidak kesampaian karena permintaan suaka politik yang diajukan tidak mendapat respons.
"Pemerintah Australia tidak juga memproses izin kami mau ke sana. Makanya, tiada jalan lain bagi kami selain melewati jalur gelap," ungkapnya.
"Indonesia sebetulnya negeri aman, tidak ada masalah dengan seseorang. Mereka sangat baik, mereka tidak suka membunuh dan perang. Tetapi, kalau tinggal di sini, kami tidak dapat pekerjaan, apa yang bisa saya perbuat," ujarnya.
Seperti halnya Abid, para imigran lainnya punya alasan keamanan. Muhammad Hadi, 21, salah seorang imigran asal Afghanistan, menyatakan tidak mendapatkan jaminan keamanan di kampung halamannya. Pun, saat hijrah ke Pakistan.
"Jika kamu menyaksikan keadaan di negara kami, di sana sangat buruk. Setiap hari saudara-saudara kami dibunuh," ungkapnya saat ditemui Radar Tasikmalaya (JPNN Group) di Hotel Wisma Dewi Singaparna, Tasikmalaya (5/2).
Hadi mengungkapkan, mereka diancam bunuh karena berasal dari etnis Hazara. Di sisi lain, pemerintah maupun aparat keamanan di negaranya tidak bisa memberikan jaminan keamanan bagi komunitas penganut Syiah tersebut. Hadi menuding pemerintah maupun aparat keamanan cenderung membiarkan orang-orang Hazara dibunuh.
Dia menjelaskan, lebih dari seribu warga etnis Hazara, baik di Afghanistan maupun Pakistan, tewas karena dibunuh. Kondisi itu memaksa mereka mencari negara baru. Segala cara dilakukan. Termasuk, berusaha menembus negara lain tanpa paspor, visa, dan dokumen lainnya.
Hadi mengaku sudah menghabiskan lebih dari USD 10 ribu atau sekitar Rp 90 juta untuk biaya perjalanan dari Pakistan menuju Indonesia. "Kami menjual tempat tinggal. Kami menjual hidup kami untuk datang ke sini (Indonesia)," ujarnya.
Tujuan utama Hadi sejatinya bukan Indonesia. Dia ingin pergi ke Australia dan menjadi warga negeri bekas jajahan Inggris tersebut. Dengan menjadi warga Australia, Hadi berharap mendapat jaminan keamanan, kehidupan yang merdeka.
Hal sama sebenarnya bisa mereka dapat di Indonesia. Masalahnya, untuk menjadi warga Indonesia, mereka harus melewati proses yang lama. "Proses di Indonesia sangat lama. Kami membutuhkan tinggal tiga atau empat tahun," jelasnya.
Dia menegaskan tidak akan kembali ke negaranya. Sebab, hal itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka berharap mendapat hidup baru di negara lain. "Kami tidak membutuhkan uang, tapi membutuhkan kehidupan," ungkap Hadi.
Sementara itu, kegagalan menyeberang ke Australia, tampaknya, membuat para imigran tersebut tertekan. Hal itu membuat mereka berontak. Kemarin mereka menggelar aksi di halaman Hotel Wisma Dewi Singaparna. Mereka memprotes fasilitas hotel yang dinilai tidak layak. Para imigran tersebut juga menuntut pihak imigrasi memberikan pelayanan yang baik.
Dalam aksi itu, para imigran tersebut tidur-tiduran di halaman hotel. Mereka juga membuang makanan dari hotel dengan alasan tidak cocok. Sahed Golin, salah seorang imigran dari Iran, menyatakan bahwa aksi protes itu adalah bentuk kekecewaan mereka atas fasilitas hotel yang tidak layak. Salah satunya, air mandi yang tidak bersih.
Pria 42 tahun itu mengatakan, makanan yang diberikan juga tidak sesuai dengan selera para imigran tersebut. Mereka tidak ingin diberi makanan Indonesia, seperti tahu dan tempe. Yang mereka inginkan adalah kebab ayam atau kebab ikan.
Karena itu, mereka membuang makanan yang diberikan hotel. "Ini bukan hotel. Ini pondok. Tidak ada teh, tidak ada kopi dan susu," ucap dia.
Sahed mengungkapkan, ada beberapa imigran dari Iran yang sakit, terutama anak-anak. Namun, tidak ada pelayanan medis. "Kami butuh obat-obatan," tegas dia.
Di sisi lain, imigran dari Afghanistan dan Pakistan tidak mempermasalahkan fasilitas yang ada. Mereka menilai fasilitas hotel tidak terlalu jelek. "Itu urusan mereka (imigran Iran). Kami bukan bagian dari mereka," terang Hadi, imigran dari Pakistan. (*/jpnn/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Faisal Basri, Mengejar Kursi Gubernur DKI Jakarta dengan Modal Saweran
Redaktur : Tim Redaksi