jpnn.com, POLANDIA - Indonesia telah menetapkan ambisi penurunan emisi sebesar 29% tanpa syarat hingga 41% penurunan emisi bersyarat dari skenario BAU tahun 2030, dengan kehutanan dan energi sebagai sektor sasaran utama.
Ambisi tersebut tentu tidak akan bisa dicapai tanpa didukung oleh tiga pemegang kekuasaan negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sebagaimana ajaran Montesquieu yang dikenal dengan Trias Politika.
BACA JUGA: Giliran Rakyat Jambi Terima Izin Kelola Perhutanan Sosial
Dalam satu sesi diskusi bertemakan “Law, Regulatioan, and Policy in Reducing Green House Gas and Environmental Protection for Environmental Justice” di Pavilin Indonesia COP 24 UNFCCC Katowice, Polandia.
Hadir secara bersamaan tiga elemen tersebut. Dari Komisi VII DPR RI, Aryo P.S. Djojohadikusumo, Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, dan Hakim Agung Takdir Rahmadi.
BACA JUGA: Bali Declaration Mendapat Apresiasi Global pada COP24 Â
Aryo P.S. Djojohadikusumo mengatakan dalam untuk pengendalian perubahan iklim dibutuhkan tiga hal, yaitu aksi, legislasi dan keuangan.
“Dari sisi legislasi, DPR telah meratifikasi Paris Agreement menjadi UU No 16 Tahun 2016 dalam waktu yang paling singkat, kurang dari satu bulan," kata Aryo.
BACA JUGA: Gadis dan Monang Lahirkan Dua Bayi Harimau
Dari sisi anggaran, dikatakan Aryo berkat dukungan DPR dalam tiga tahun terakhir, jumlah anggaran pembiayaan perubahan iklim yang ditetapkan pada APBN terus meningkat.
“Pada tahun 2016 sebesar Rp. 72,3 triliun, pada tahun 2017 sebesar Rp.81,7 triliun, dan pada tahun 2018 mencapai Rp.121,4 triliun dari total belanja negara sebesar Rp.2.220 triliun," jelas Aryo.
Sementara Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa KLHK telah berhasil menekan kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan.
"Tipologi kejahatan yang ditangani meliputi illegal logging, kejahatan pada tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang dilindungi, perambahan hutan, pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan dan lahan, yang tentunya sangat berdampak pada lingkungan dan perubahan iklim," ujar Rasio.
Rasio mengklaim baru di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo penegakan hukum Karhutla berani menyentuh korporasi.
Sejak 2015 hingga sekarang, menurutnya, sudah ada 510 kasus pidana LHK dibawa ke pengadilan oleh penyidik Gakkum KLHK.
Selain itu hampir 500 perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif. Puluhan lainnya dinilai lalai menjaga lahan digugat secara perdata.
Sepanjang tahun 2015-2017, total putusan pengadilan yang dinyatakan inkracht untuk mengganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 Triliun.
Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) mencapai Rp36,59 miliar.
Angka tersebut menurut Rasio, menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
Diperkuat dengan elemen ketiga, Takdir Rahmadi siap mendukung upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan dengan memegang prinsip in dubio pro natura, atau keberpihakan kepada lingkungan hidup.
Takdir mencontohkan beberapa kasus yang sampai ke Mahkamah Agung, dan akhirnya dimenangkan oleh KLHK. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) memutuskan PT JJP bersalah setelah melalui proses kasasi, 28 Juni 2018.
Perusahaan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp491 miliar.
Pada bulan Agustus 2018, MA juga menolak kasasi PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan mengabulkan gugatan KLHK senilai Rp639,94 miliar, contohnya.
Perpaduan ketiga elemen negara ini selalu diperlukan dalam perbaikan lingkungan hidup dan kehutanan serta pengendalian perubahan iklim. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Dorong Flexibilitas Perjanjian Paris di COP24
Redaktur & Reporter : Natalia