Komarudin Watubun Bicara Skenario Jalur Sutra Tiongkok

Sabtu, 11 November 2017 – 20:27 WIB
Komarudin Watubun dan Presiden Joko Widodo. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Xi Jinping dipilih sebagai sekretaris jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada Kongres ke-18 PKT November 2012. 

Setelah itu, dia terpilih menjadi presiden Tiongkok pada 2013. Sejak itu, terjadi perubahan doktrin dan strategi Tiongkok di Asia Pasifik.

BACA JUGA: Pemberitaan Kunjungan Trump Oleh Media China Dibanding Media Barat

Pada Sidang Pleno PKT 12 November 2013, Xi Jinping menyampaikan secara resmi strategi ini dengan moto dan branding Yi dai Yi lu atau One Belt, One Road (OBOR).

Ketika mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 3 Oktober 2013, Xi Jinping menyampaikan prakarsa 21st Century Maritime Silk Road kepada DPR RI dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

BACA JUGA: Penjara Tiga Tahun bagi Penghina Lagu Kebangsaan

Program Yi dai Yi lu antara lain sabuk infrastruktur (jichu sheshi lianjie) seperti pos-pos laut (haiyun zhan), jalan raya, rel kereta api, kanal, jaringan IT, bandara.

Tiongkok juga menyediakan fasilitas investasi dan perdagangan

BACA JUGA: 3 Ribu Turis Tiongkok Uji Adrenalin di Manado Skyline

Tiongkok juga menyediakan dukungan keuangan dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), New Development Bank (NDB), Silk Road Infrastructure Fund, the Shanghai Cooperation Organization Development Fund.

Selain itu, Tiongkok merajut diplomasi budaya melalui pendidikan, wisata, pencegahan wabah menular, dan kerjasama riset dan teknologi.

OBOR hendak dijadikan perisai bagi Tiongkok guna merespons doktrin dan strategi AS. Yakni doktrin pivot” atau rebalance to Asia Pacific.

Sasaran strategi pivot AS di Asia Pasifik ialah menjaga posisi dan peran AS di bidang keamanan dan ekonomi Asia Pasifik.

Tahun 2010, misalnya, AS menandatangani kerja sama keamanan melalui East Asia Summit di Asia Pasifik.

AS aktif melakukan lobi dan kerja sama keamanan secara bilateral dan menjaga kehadiran militer di Asia.

Dalam pidato perdana sebagai Sekjen PKT di Beijing (Tiongkok), November 2012, Xi Jinping merilis Zhongguo meng (Impian Tiongkok).

Itu adalah reformasi Tiongkok skala besar dengan lompatan besar (Guojia de weida fuxing). Targetnya ialah pada 2021, masyarakat Tiongkok lebih makmur dengan pendapatan per kapita empat-kali tahun 2000.

Pada 2049, tercapai fae negara sosialis Tiongkok modern, kaya, dan kuat.

Untuk mengamankan operasi OBOR meraih impian Tiongkok tersebut di atas, White Paper Hankam dan People Liberation Army (PLA) tahun 2011 menetapkan fokus strategis. Yakni, strategi hankam berbasis maritim.

Ini dijadikan alasan oleh Tiongkok untuk melakukan operasi maritim PLA sejak 2010 di Asia Pasifik, khususnya Laut Cina Selatan.

Xi Jinping menerapkan tiga prinsip dasar bidang strategi diplomasi dengan Amerika Serikat sejak 2012 di Asia Pasifik.

Yakni, tanpa konfrontasi, saling menghargai, dan kerja sama saling menguntungkan.

Tanggal 21 Mei 2014, Xi Jinping mengajukan proposal New Asian Security Concept (Xin yazhou anquan guan) kepada 26 anggota negara the Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia (CICA).

Isinya, Tiongkok menolak aliansi militer era Perang Dingin di Asia : “It is for the people of Asia to run the affairs of Asia, solve the problems of Asia, and uphold the security of Asia.”

Tiongkok ingin keluar dari “kepungan” AS melalui OBOR dan CICA.

OBOR termasuk prakarsa politik luar negeri yang sangat penting abad 21.

Perdagangan Tiongkok, Asia Tengah, misalnya, meningkat dari 1 (satu) miliar tahun 2000 menjadi USD 50 miliar pada 2013.

Tiongkok juga sangat aktif mengembangkan lobi, diplomasi, dan hubungan dengan zona-zona periferi (zhoubian) perbatasan dan zona dekat dengan negara itu.

Zona periferi itu seperti sepuluh negara ASEAN, Korea Selatan, India, Jepang, Rusia, Korea Utara, India, Asia Tengah.

Pada Oktober 2013 di Beijing, Tiongkok, misalnya, Xi Jinping membentuk forum khusus diplomasi periferi dengan beberapa target.

Yakni, meningkatkan hubungan baik, memperkuat integrasi ekonomi kawasan, meningkatkan pengaruh budaya Tiongkok, memajukan kerja sama keamanan kawasan.

Hingga Juni 2016, menurut Pemerintah Tiongkok, lebih dari 70 negara dan organisasi internasional berpartisipasi membangun program kerja OBOR.

Tiongkok mengucurkan investasi sebesar USD 14 miliar dan menciptakan 60 ribu lapangan kerja baru di negara-negara rute OBOR.

Pada Juli 2015, menurut Kementerian Keuangan Tiongkok, selama Januari-Juni 2015, perusahan-perusahan RRT telah menandatangani 1.401 kontrak proyek OBOR di negara-negara lain senilai USD 37,6 miliar.

Infrastruktur Eurasian Land Bridge dan China-Central Asia-West Asia and ChinaIndochina Peninsula Economic Corridors hendak dibangun untuk menghubungkan Tiongkok-Eropa.

Juni 2015, Hongaria menjadi negara pertama Eropa yang menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Tiongkok dalam kerangka Silk Road Economic Belt.

Pertanyaannya, mengapa Tiongkok membangun strategi kawasan berbasis Yi dai Yi lu awal abad 21?

Dari sejarahnya, Silk Route atau Silk Road merupakan jalur perdagangan dan distribusi serta interaksi budaya sepanjang kawasan Asia.

Jalur ini menghubungkan pula Timur (benua Asia) dan Barat (benua Eropa) melalui pedagang, saudagar, tentara, nomaden, perantau, pendeta, dari RRT ke Laut Mediteranian sejak tahun 100 pra-Masehi hingga sekitar tahun 1450 Masehi.

Hal itu menghasilkan dialog dan interaksi kebudayaan Timur dan Barat, Utara dan Selatan.

Jalur Sutera (Silk Road) tersebut di atas mencapai luas 6.437 km atau 4000 mil. Sebutan Silk Road berasal dari nama komoditas dagang sutera dari Dinasti Han tahun 206-220 pra-Masehi.

Sebagai satu jalur diplomasi, rute-rute perdagangang di Asia Tengah diperluas sekitar tahun 114 pra-Masehi oleh dinasti Han asal RRT, khususnya melalui misi diplomasi dan eksplorasi dari utusan Kaiser Cina, Zhang Qian.

Jalur diplomasi Zhang Qian dimulai dari Xi’an melalui Gansu dan Xinjiang ke Asia Tengah, Asia Barat dan rute darat ke negara-negara di Laut Mediteranian.

Jalur Sutera, jalur perdagangan, diplomasi, komersial, arus manusia, barang, jasa, uang, dan informasi, telah menghasilkan kemajuan Tiongkok selama berabad-abad.

Maka Tiongkok selalu menyebut negaranya adalah pusat dan negara-negara lain adalah pinggiran.

Risikonya bagi 10 negara ASEAN ialah sulitnya negara-negara ASEAN mencapai satu sikap terhadap Tiongkok, khususnya dalam kasus sangketa di Laut Cina Selatan.

Karena Tiongkok melakukan upaya-upaya diplomasi bilateral, dengan tekanan, dan bahkan kekuatan militer.

Hal ini perlu direspons dengan taktis dan strategis oleh negara-negara ASEAN yang sudah terbukti dan teruji mampu mempertahankan kerjasama ekonomi dan budaya selama ini, merawat stabilitas kawasan, perdamaian, dan kerjasama berbagai bidang baik pada level pemerintahan maupun level masyarakat.

Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini. Misalnya, sejak Maret 2014, Tiongkok mereklamasi tujuh zona terumbu karang di Kepulauan Spratly.

Akibatnya, luas lahan reklamasinya mencapai 2.000 hektare. Reklamasi ini tidak pernah ada sebelumnya. Sehingga muncul protes dari Amerika Serikat dan negara-negara Asia lainnya.

Berikutnya, akhir 2013, 50 ribu kapal iklan (fishing vessels) Tiongkok dilengkapi dengan peralatan keamanannya di Laut Cina Selatan.

Contoh lain ambisi militer dan pengaruh Tiongkok melalui OBOR yakni November 2013, PLA membangun Air Defense Identification Zone (ADIZ) di Laut Cina Selatan.

Berikutnya, Tiongkok membangun landasan pacu pesawat 3.000 meter di Fiery Cross Reef, zona reklamasi Spratly.

Agustus 2014, Menlu Tiongkok Shuangggui Fangshi diplomasi dengan negara yang terlibat sangketa dengan Tiongkok dan negara-negara yang tidak bersangketa di Laut Cina Selatan.

Kemudian, sangketa wilayah dan maritim hendak diselesaikan oleh masing-masing pihak secara bilateral melalui konsultasi persahabatan dan negosiasi damai atau perdamaian dan stabilitas dijaga oleh Tiongkok dan ASEAN.

Di sisi lain, PLA (People Liberation Army) selama tahun 2012-2013, sangat aktif melakukan kunjungan dan kegiatan militer bersama di berbagai negara.


Kira-kira total kegiatan ini mencapai 80 aktivitas militer di timur-laut Asia, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Pasifik Selatan dan Rusia.

Sebanyak 85 aktivitas militer Tiongkok juga memperlihatkan tren meningkat di kawasan pada Februari-Juli tahun 2013.

Misalnya, PLA Navy Third Fleet melakukan tujuh manuver dan pelatihan militer di Pasifik barat.

Alasannya, PLA hendak mengawal kedaulatan RRT, dan mengantisipasi dinamika keamanan sepanjang zona periferi (Waiwei anquan dongtai).

Sejumlah negara ASEAN berupaya mengantisipasi dan merespons pelaksanaan OBOR dari Tiongkok yang didukung oleh operasi militer maritim.

Misalnya, Filipina merintis program modernisasi militer jangka-panjang, memperkuat kerja sama Filipina-Amerika Serikat, dan kerja sama pertahanan dengan Jepang.

Sedangkan Vietnam merancang modernisasi militer dan memperkuat hubungan bilateral dengan Amerika Serikat.

Karena respons kedua negara ini, usai sangketa dengan Filipina di Laut Cina Selatan, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang menegaskan bahwa Tiongkok berupaya melaksanakan Declaration on the Conduct of Parties dan Code of Conduct di Laut Cina Selatan. (jos/jpnn) 

Komarudin Watubun, Ketua Dewan Pembina DPP Geomaritim

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komarudin Watubun Prihatin Dana BOS di Tual Belum Cair


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler