Komisi IX DPR Mencari Solusi Tentang Selisih Biaya Kenaikan Iuran BPJS Kelas III PBPU dan BP

Kamis, 30 Januari 2020 – 02:25 WIB
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemerintah dan BPJS Kesehatan serta sejumlah pemangku kepentingan terkait kenaikan iuran BPJS, Selasa, (28/1). Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bersama Komisi IX DPR RI serta sejumlah pemangku kepentingan terkait menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari solusi pembiayaan selisih biaya kenaikan iuran BPJS kelas III pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang berjumlah lebih dari 19 juta orang. FGD digelar di Ruang Pansus B Gedung Nusantara, Selasa, (28/1/2020). FGD tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad didampingi Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena.

Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto dalam FGD menjelaskan kata “dapat” berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa berdasarkan angka 267 Bab III Lampiran II disebutkan bahwa kata “dapat” digunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang/lembaga sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut.

BACA JUGA: Respons Menkes Terawan Soal Penolakan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

“Dengan demikian kata “dapat” dalam pasal 21 PP Nomor 87/2013 merupakan bentuk pemberian diskresioner dari penggunaan asset DJS Kesehatan, sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut,” jelas Terawan.

Direktur Utama BPJS, Fachmi Idris mengatakan berdasarkan peraturan perundangan, penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III.

BACA JUGA: Pak Jokowi, Please Jangan Beri Sanksi ke Penunggak Iuran BPJS Kesehatan

Fachmi menyatakan bahwa kesimpulan RDP Komisi IX tanggal 12 Desember 2019 terdapat frasa “…diimplementasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan…” untuk itulah, lanjut Fachmi, dilakukan telaah apakah alternatif dua yang telah disepakati tersebut terdapat potensi risiko hukum atau tidak.

Merujuk pada ketentuan Pasal 43 UU BPJS, menurut Fachmi tidak disebutkan tindakan yang dapat didiskresi maupun lembaga yang diberikan kewenangan melakukan diskresi atas ketentuan Pasal 21 PP 87/2013. Sehingga penggunaan kata “dapat”pada pasal tersebut, kata Fachmi, bukan dimaksudkan untuk menyatakan sifat diskresi atas penggunaan asset DJS Kesehatan oleh direksi BPJS kesehatan.

BACA JUGA: Melki Laka Lena: Pemuda Harus Bersinergi Memajukan Indonesia

“Sehingga berdasarkan peraturan perundangan penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III,” tegas Fachmi.

Sementara dari Pihak Kepolisian RI yang diwakili Kadivkum Polri, Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho mengatakan berdasarkan arahan dari Presiden RI, agar mendukung percepatan pembangunan maka kepolisian diharapakan untuk tidak sembarang memidanakan pejabat negara terutama berkaitan dengan administrasi

Sedangkan Jampidum Kejagung RI, Ali Mukartono, mengatakan terdapat jurisprudensi dari Mahkamah Agung meski terdapat unsur  perbuatan melawan hukum (PMH), sepanjang terdakwa tidak mendapatkan keuntungan pribadi, negara tidak dirugikan, kepentingan umum terlayani; maka tindakan tersebut tidak melanggar korupsi.

Dengan demikian menurut  Jampidum, penggunaan asset DJS Kesehatan diluar dari yang terdapat dalam Pasal 21 PP 87/2013,  dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan negara, tidak ada keuntungan untuk pribadi, dan demi kepentingan umum.

Sementara Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN, Indra Budi Sumantoro mengingatkan agar berhati – hati terhadap konsekuensi kesalahan pengelolaan dana dengan mempertimbangkan dari sisi hukum formil. Sedangkan Perwakilan BPK RI dalam FGD tersebut belum memberikan pendapat secara kelembagaan mengingat belum ada diskusi internal yang bersifat kelembagaan dengan pimpinan BPK RI.

Dewan Pengawas BPJS RI dalam FGD tersebut berpendapat  terdapat  dua pandangan hukum yang saling bertentangan dan juga terdapat alternatif/ opsi 3 yang tidak memerlukan perubahan peraturan perundangan atau berisiko hukum, akan tetapi menurut Dewan Pengawas dalam implementasinya memerlukan waktu  dan melibatkan banyak pihak terkait.

Di akhir FGD, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta agar dalam waktu dua hari masing-masing kementerian dan lembaga menyerahkan pendapat/opini kepada DPR RI dan Legal Opinion (LO) dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI.

“Pendapat dan LO tersebut akan digunakan sebagai landasan hukum bagi BPJS Kesehatan untuk mengimplementasikan alternative solusi untuk membayar selisih kenaikan iuran PBPU dan BP kelas III sejumlah 19.961.569 jiwa,” tegas Sufmi.

Sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena menambahkan kelompok pakar hukum ada yang memberikan tafsir kata “dapat” dalam aturan hukum yang diperdebatkan Kemenkes RI dan BPJS Kesehatan artinya boleh menambah opsi lain. Kelompok pakar hukum lain ada yang memberikan tafsir kata dapat tersebut tidak dalam rangka menambah opsi lain. Sehingga, kata Melki, antardua pendapat hukum itu DPR minta clearance resmi dari Kapolri, Kejagung dan BPK RI. Sikap resmi ketiga instansi ini sangat penting agar BPJS Kesehatan bisa segera bekerja mengeksekusi keputusan bersama DPR RI dan pemerintah tidak menaikkan iuran peserta BPJS kesehatan kelas lll PBPU dan BP tanpa khawatir mendapat masalah hukum dikemudian hari.

Pihak BPJS Kesehatan diakhir FGD, meminta waktu lebih dari dua hari agar dapat melapor dan meminta persetujuan kepada Presiden RI sebagai atasan langsung sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam Pasal 25 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sambil menunggu surat resmi dari Kapolri, Kejagung dan BPK RI.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler