Komisi VIII DPR: Perpanjangan Sertifikat Halal Tidak Miliki Kontrol yang Jelas

Selasa, 20 Oktober 2020 – 13:52 WIB
MUI Logo halal

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf menilai UU Cipta Kerja pada satu sisi memberi kemudahan bagi pelaku usaha. Namun, kata dia, pada sisi yang lain juga berpotensi mengorbankan perlindungan konsumen produk halal.

Bukhori menganalisis, perubahan Pasal 42 versi UU Ciptaker terkait kewajiban perpanjangan sertifikat halal oleh pelaku usaha, membuka peluang terjadinya praktik penyimpangan administratif oleh oknum pelaku usaha apabila kontrol pengawasan tidak diperketat. Menurutnya pula, perubahan klausul Pembaruan Sertifikat Halal menjadi Perpanjangan Sertifikat Halal mengakibatkan munculnya penambahan ayat baru, yakni ayat “self-declaration” di ayat 3.

BACA JUGA: PPP Tolak Penghapusan Ketentuan Sertifikat Halal

"Sehingga membolehkan sertifikat halal diterbitkan tanpa melalui pemeriksaan ulang oleh LPH, sidang fatwa oleh MUI, dan verifikasi oleh BPJPH," kata Bukhori di Jakarta, Selasa (20/10).

Sebagai informasi, berikut sandingan antara UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal atau UU eksisting, dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal (versi Cipta Kerja). Sebelumnya, dalam Pasal 42 eksisting berbunyi;

BACA JUGA: Kata Mas Sandi, Industri Halal Bukan Sekadar dari Sertifikat

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

BACA JUGA: Cara Mudah UMKM Dapatkan Sertifikat Halal

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan klausul di ayat (2), yang sebelumnya tertulis “Pembaruan” kemudian menjadi “Perpanjangan”. Akibatnya, terdapat penambahan ayat baru, yakni ayat (3) pada Pasal 42 (versi UU Cipta Kerja) sehingga berbunyi:

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

(3) Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketua DPP PKS ini menegaskan, konsekuensi dari perubahan pasal 42 tersebut adalah memungkinkan semua pelaku usaha baik yang berskala besar, menengah, kecil, dan mikro maupun pelaku impor yang ingin memperpanjang sertifikat halalnya berhak melakukan “self-declaration” produknya dan berhak langsung mendapatkan perpanjangan sertifikat halal.

“Lantas, jika pembaruan menjadi perpanjangan hanya cukup dengan mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, maka siapa yang bisa menjamin bahwa produk tersebut memang tidak mengalami perubahan? Pasalnya, dalam hal kontrol yang ketat saja masih ada sejumlah penyelundupan produk haram yang diklaim halal,” sambungnya.

Lebih lanjut, anggota Baleg Fraksi PKS ini meminta pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Ia mendesak dalam penyusunan RPP tersebut pemerintah mampu menutup celah bagi pelaku usaha nakal yang mencoba mengambil jalan pintas dalam perpanjangan sertifikat halal. 

Dengan demikian, lanjutnya, mekanisme pengawasan produk halal harus dirancang secara cermat dan memadai agar perlindungan terhadap konsumen produk halal tidak terabaikan. Karena itu, Bukhori mengingatkan, pemerintah tidak boleh tergesa-gesa dalam menyusun aturan turunannya.

"Pasalnya, bagi umat Islam secara khusus mengonsumsi produk halal bukan semata tentang gaya hidup, akan tetapi kemerdekaan untuk menjalankan ketaatan sesuai ajaran agamanya sebagaimana hal ini telah dilindungi dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945," pungkasnya. (boy/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler