jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah mencermati proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan wacana siswa kembali ke sekolah di tengah pandemi COVID-19.
Menurut Fikri, saat ini perkembangan pandemi masih belum menunjukkan normal, kecuali ada data yang mampu meyakinkan bahwa kondisi sudah aman.
BACA JUGA: Jenderal Andika Perkasa Terima Laporan Mencengangkan dari Dokter Nana
Fikri memberi syarat apabila pemerintah berniat membuka kembali sekolah dengan sistem tatap muka.
“Harus ada progress data terkait pandemi Covid-19 yang baik dan benar,” kata Fikri, Rabu (13/5).
BACA JUGA: Corona Klaster Indogrosir Terbukti Ganas, Lihat Usia para Korbannya
Fikri menjelaskan yang dimaksud “baik” ialah angka-angka terkait pasien yang positif, orang dalam pemantauan (ODP), maupun pasien dalam pengawasan (PDP) menurun signifikan.
“Idealnya mendekati nol pertumbuhan pasien baru positif Covid-19,” tegasnya.
BACA JUGA: Mulan Jameela Khawatir Ahmad Dhani Masuk Penjara Lagi
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan lagi yang dimaksud “benar” ialah data yang digunakan sebagai acuan kebijakan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan keilmuan.
“Artinya harus mempertimbangkan juga analisis lintas pakar epidemiologi, medis, dan akademisi soal risiko dan mitigasi apabila terjadi gelombang kedua pandemi Covid-19 yang sudah menjadi fakta di beberapa negara,” jelasnya.
Lebih lanjut Fikri menjelaskan bahwa pengumuman pendaftaran PPDB sudah mulai berjalan secara nasional.
Sesuai aturan dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang PPDB tingkat TK hingga SMA/SMK bahwa pengumuman pendaftaran PPDB selambat-lambatnya pada pekan pertama Mei.
“Di masa seperti sekarang, idealnya PPDB dan proses belajar secara daring. Namun kendala masih banyak di sana-sini,” ujarnya.
Ia menjelaskan meskipun sudah ada Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pendidikan di Masa Darurat Covid-19, secara teknis masih banyak kendala pelaksanaan di daerah.
“Terkait semua proses, baik PPDB maupun sistem belajar dilakukan secara daring, ini kan tidak merata karena kendala akses internet serta fasilitas,” jelasnya.
Akibatnya, Fikri menegaskan, proses tatap muka atau pertemuan fisik tetap dilakukan di tengah aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Pemerintah pusat dan daerah mesti mencarikan solusi yang lebih realistis soal ini misalnya dengan melakukan pengetatan protokol kesehatan di sekolah.
Selain itu, lanjut Fikri, proses PPDB yang sepenuhnya daring dikhawatirkan memunculkan potensi penyimpangan lebih tinggi.
“Misal pemalsuan dokumen, secara digital sangat mudah dilakukan, terlebih fisik aslinya tidak bisa dicek langsung,” ucap Fikri.
Karena itu, Fikri meminta tahap verifikasi dilakukan dua tahap yakni ditambah dengan mencocokkan antara dokumen yang diberikan siswa dengan data kependudukan nasional atau dengan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). “Seharusnya bisa terlacak dari database yang ada,” katanya.
Fikri menambahkan, jalur prestasi dalam proses PPDB juga membingungkan terutama setelah tidak adanya ujian nasional (UN).
Sebelumnya, berdasar Permendikbud 44 Tahun 2019, jalur prestasi ditentukan berdasarkan nilai UN siswa dan prestasi non-akademis.
Namun, dengan SE Mendikbud 4/2020, UN ditiadakan dan sebagai gantinya prestasi siswa dilihat dari akumulasi nilai rapor pada lima semester terakhir.
Padahal parameter nilai siswa di tiap sekolah bisa berbeda dan juga sangat tergantung subjektivitas guru. Menurut Fikri, ini akan bisa menjadi masalah baru.
“Apakah ketentuan soal nilai rapor ini mengacu pada nilai mata pelajaran yang sebelumnya di-UN-kan saja, bila demikian maka tentu ada potensi bakat anak di bidang lain yang menjadi tidak terlihat,” pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy