Komisoner KPU Sumut Terancam Dipecat

Rabu, 28 November 2012 – 08:38 WIB
JAKARTA - Maruli Firman Lubis membantah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tapanuli Tengah (Tapteng) tidak profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya. Apalagi jika sampai disebut tidak pernah melakukan konsultasi terkait pelaksanaan Pilkada Tapteng beberapa waktu lalu.

Bantahan ia kemukakan kepada JPNN di Jakarta, Selasa (27/11), usai sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang beragendakan mendengar keterangan saksi dari sejumlah pihak. Termasuk saksi yang dihadirkan pihak teradu, KPU Sumatera Utara, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Widyaningsih dan anggota KPU Tapteng Dewi Elfrina.

"Kalau disebut tidak pernah melakukan konsultasi, ada bukti-bukti pendukung yang kita serahkan itu menunjukkan kalau kita telah melakukannya. Bahkan berita acara hasil Pilkada juga ditandatangani Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu,red)," katanya.

Makanya atas permasalahan ini, Maruli yang sebelumnya dipecat Ketua KPU Sumut, sangat meragukan kesaksian-kesaksian yang diutarakan pihak teradu. "Saya melihat banyak yang direkayasa untuk mengaburkan pokok gugatan perkara," katanya.

Pengaduan pada intinya meminta agar DKPP bersedia menjatuhkan sanksi kepada Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution dan sejumlah anggota KPU lainnya. Karena tidak mematuhi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang memerintahkan agar Maruli dikembalikan sebagai anggota KPU Tapteng.

"Perintah pengadilan itu sudah berkekuatan hukum tetap. Tapi dia bersikeras sampai saat ini untuk tidak menjalankannya. Padahal Presiden atau Menteri Dalam Negeri saja, itu mematuhi putusan pengadilan," katanya.

Selain itu, Maruli juga merasa heran karena atas kasus sejenis, KPU Sumut bersedia mengaktifkan kembali anggota KPU Nias Selatan, Tadronaufandu Laia. Makanya tidak heran Maruli kembali menyebut kuatnya dugaan Irham menerima uang.

Apalagi dalam keterangan tertulis saksi yang diajukan Maruli, memerkuat dugaan tersebut. Masing-masing sebagaimana dikemukakan Irwanner Muda Ritonga yang merupakan anggota KPU Tapteng. Ia menyatakan bahwa benar telah menyerahkan uang kepada Irham sebesar Rp15 juta dalam amplop berwarna kuning di salah satu restoran di Atrium Plaza medio Maret 2011 lalu.

"Benar saya bersama Kabul, Maruli dan Syahrial Sinaga juga membayarkan bill hotel Irham di Hotel Arya Duta melalui resepsionist sebesar Rp5 juta,” katanya dalam keterangan tertulis tersebut. Pernyataan senada juga dikemukakan saksi lainnya, Syahrial Sinaga.

Secara terpisah, pemohon lainnya Burju Sihombing, juga menyatakan keheranan yang sama. Hanya bedanya, meski terbukti melakukan tindak pidana, KPU Sumut justru tidak jua memberhentikan anggota KPU Humbang Hasundutan. Padahal pengadilan jelas-jelas menyatakan mereka bersalah karena memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda. Dan atas hal tersebut, juga telah menjalani hukuman penjara selama 3 bulan.

"Dalam peraturan disebutkan apabila penyelenggara selama tiga bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka harus diberhentikan," katanya. Selain itu, Ketua Bawaslu ketika itu Nur Hidayat Sardini, menurut Burju, juga telah mengeluarkan rekomendasi agar anggota KPU Humbang Hasuntutan tersebut segera diberhentikan.

"Tapi Irham tidak menjalankannya. Jadi kalau melihat kondisi ini, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran Pilkada Humbang Hasundutan yang dilaksanakan 2010 lalu. Dan bisa disebut inkonstutisional. Karena diselenggarakan oleh terpidana,” katanya yang mengkhawatirkan pelaksanaan Pemilu 2014 di Sumut akan diwarnai banyak pelanggaran, jika penyelenggaranya tidak mematuhi putusan hukum yang ada.

Maruli maupun Burju, dalam kesempatan kali ini mengungkap dugaan kalau selama ini mayoritas sengketa Pilkada di Sumut, pihak KPUD menggunakan jasa pengacara dari kantor pengacara yang didirikan oleh Irham.(gir/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sikap KPU Tunggu Pleno

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler