jpnn.com, JAKARTA - Pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat tetapi juga berkesan mengada-ada.
“Komnas HAM seperti hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK (jumlahnya kurang dari 5,4 persen pegawai KPK),” ujar Ketua SETARA Institute Hendardi di Jakarta, Kamis (10/6).
BACA JUGA: Soal 75 Pegawai KPK, Petrus: Komnas HAM Telah Bertindak Melampaui Wewenangnya
Menurut Hendardi, tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).
“Hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini semestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” ujar Hendardi.
BACA JUGA: Komnas HAM Diminta Tak Memfitnah Pimpinan KPK Soal Aduan TWK
Aktivis HAM ini menilai pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.
Analoginya, kata Hendardi, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengategorisasi sebagai pelanggaran HAM?
BACA JUGA: Lihat Nih, KRI Diponegoro-365 Berpapasan dengan Kapal Perang Asing, Lantasâ¦
Dia mengatakan dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM.
Tujuannya, menurut Hendardi, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapa pun dengan interest apa pun.
Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights).
“Dalam persoalan alih status menjadi ASN di mana pun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan,” ungkap Hendardi.
Hendari menilai menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK. Namun, ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4 persen) yang menuntut diistimewakan.
Menurut dia, dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). Namun, tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.
Hendardi mengingatkan sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
“Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lain-lain tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tetapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu,” ujar Hendardi.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich