Ide awalnya simpel. Seorang web programming bernama S Rudyanto yang kala itu masih jadi karyawan di salah satu perusahaan IT di Jakarta secara nyata merasakan kemacetan setiap hari, sepanjang perjalanan tol dari Karawaci menuju Jakarta.
Kondisi itu membuatnya bosan dan capek. Belum sampai kantor, otak sudah stres di perjalanan.
Ditambah lagi, pada 2005 silam, muncul rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM dari Rp 2400 ke Rp 4500. Sebuah angka kenaikan yang cukup signifikan, sehingga meresahkan banyak pihak. Khususnya, mereka yang memiliki kendaraan.
Melihat kondisi itu, bersama istri dan mertuanya, mereka bertiga membuat sebuah web posting bernama nebeng.com. "Pada waktu itu, belum ada facebook dan twitter. Yang ada hanya miling list dan email. Jadilah akhirnya kami coba untuk mengajak teman-teman kami secara berantai mengurangi penggunaan kendaraan yang otomatis mengurangi biaya BBM. Simpelnya, dengan prinsip dua mobil jadi satu. Caranya, dengan saling menumpang alias nebeng," urai pria berkacamata itu saat bertemu INDOPOS di mal kawasan Tangerang Selatan, Rabu (12/12) lalu.
Kata nebeng sendiri baru dia ketahui belakangan pada saat hendak melaunching web postingnya. Kebetulan, ada seorang temannya yang asli Jakarta menggunakan bahasa ajakan untuk menumpang dengan kata nebeng. "Saya yang orang daerah, merasa kata itu pas, mudah diucapkan, dan simpel. Nebeng," kata pria kelahiran Malang, Jawa Timur itu.
Jadilah, melalui web posting yang mulai launching pada 28 September 2005 itu, dia mulai menjadi ’mak comblang’ bagi orang-orang yang ingin menemukan ’jodoh’ tebengannya. "Jadi web itu tidak bisa untuk interaksi. Hanya untuk memberikan informasi bagaimana si A mendapatkan tebengan dengan B atau C dan seterusnya. Soal kesepakatan biaya bensin dan lain sebagainya, saya serahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri," urai ayah dua orang anak itu.
Biasanya, setahu Rudy, mereka yang menebengkan mobil tidak meminta tarif apapun. Kalau tidak patungan, biasanya kesepakatan bergantian menyupir lebih dominan. "Dan umumnya, mereka yang nebeng sepakat diturunkan pada titik tertentu. Kecuali, jika kantor mereka berdeketan atau dilewati," jelas pria yang kini menjadi wirausahawan sejak 2007 dengan membuka CV Mitra Utama Dagang yang bergerak di bidang IT dan software.
Kini, istrinya Sylvia yang lebih banyak mengupload info di nebeng.com. Saat ini, jumlah member yang mengakses nebeng. com ada sekitar 45 ribu orang dan 90 persen dari Jabodetabek dan Banten. Tapi jumlah itu, menurutnya, belum signifikan dengan tujuannya, yaitu membuat kendaraan roda dua atau empat berkurang di Jakarta.
"Kami tentu saja mendukung rencana kebijakan Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Jokowi (Joko Widodo) untuk memberlakukan plat nomor ganjil genap di jalanan ibukota. Prinsipnya dengan apa yang kami lakukan itu sama, yaitu mengurangi penggunaan mobil dari dua menjadi satu," paparnya. Hanya saja, selama ini kombeng mengajak orang secara sukarela untuk bergantian menggunakan mobil, sedangkan jika kebijakan Jokowi diberlakukan, akan memaksa orang (mau tidak mau) untuk mengurangi penggunaan mobil.
Nah, belum lama ini, pihaknya sempat mengajukan tawaran kerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan salah satu staf bagian Kominfo. Pada prinsipnya, dia menawarkan kerjasama untuk menjadikan nebeng.com sebagai sarana komunikasi warga Jakarta dalam hal transportasi.
"Selama ini, web nebeng.com tidak mampu menampung jika ada 3000-5000 orang mengakses bersamaan. Biasanya langsung drop. Itu karena memang kami tidak mempersiapkan web ini untuk kapasitas besar," kata dia yang membayar tidak sampai 100 ribu untuk operasional web program nebeng.com itu. Jadi, lebih tidak mungkin lagi untuk interaktif (live chat).
Jadi sebenarnya, yang dia tawarkan dalam kerjasama itu adalah bahwa Pemprov bisa menyediakan infrastruktur untuk memudahkan jaringan komunikasi antar warga Jakarta yang ingin menebeng. Sehingga dengan komunikasi langsung, diharapkan akan lebih banyak orang yang mengurangi penggunaan kendaraan.
"Otomatis, bisa mengurangi antrian kendaraan di jalanan ibukota. Saya optimis sekali, kalau web itu berkembang dengan sistem yang mendukung, maka nebeng bisa menjadi solusi mengatasi kemacetan yang signifikan," ucap alumni Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (STTS) itu penuh optimisme. Hanya saja, tawaran kerjasamanya itu belum direspon langsung oleh Pemprov, baru taraf pengkajian.
Meski begitu, dengan atau tidak adanya bantuan dari Pemprov DKI Jakarta, upaya untuk meningkatkan kapasitas server sehingga bisa menjadi web yang interaktif tetap dia upayakan. "Jika memang ada investor yang berminat, web itu bisa juga menjadi bagian bisnis. Bayangkan, jika ada 10 juta member, tentu akan menjadi lahan menggiurkan bagi pemasang iklan," tuturnya bicara bisnis.
Angka 10 juta itu dia keluarkan dengan perhitungan dari data pengguna kendaraan yang hilir mudik di DKI Jakarta. Jika ada sedikitnya 5 juta orang yang mau nebeng, maka persoalan kemacetan bisa diatasi, karena setengah pengguna kendaraan bermotor dan mobil akan menjadi si penebeng.
Keinginannya semakin kuat, mengingat, persoalan BBM selalu menjadi momok menakutkan bagi seluruh negara importir minyak. Jangan-jangan, jika mendadak sumber minyak dunia habis atau jika terjadi peperangan di negara penghasil minyak, sehingga suplay minyak ke negara-negara importir berkurang, maka setidaknya Indonesia masih memiliki cadangan BBM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lain, selain transportasi.
"Kondisi ini bukan tidak mungkin terjadi. Akan lebih baik jika kita bisa memulainya dari sekarang. Yaitu dengan membuka mindset setiap pengendara agar lebih lebih bijak dalam penggunaan BBM untuk kendaraan mereka," imbaunya menutup percakapan kami. (sic)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Koridor Feeder Transjakarta Merugi
Redaktur : Tim Redaksi