Komunitas Single Parent, Tempat Berbagi Para Janda dan Duda

Pilih Tak Kawin dan Hidupi Anak Sendirian

Jumat, 06 April 2012 – 00:36 WIB

Menjadi orang tua tunggal (single parent) tentu bukan pilihan. Padahal, hidup harus terus berjalan meskipun membesarkan anak tanpa pasangan bukanlah hal yang mudah. Komunitas Single Parent didirikan untuk menampung keluh kesah dan curhat para janda-duda yang membutuhkan support mental itu.


AGUS WIRAWAN, Jakarta

MASA lalu yang kelam sudah harus benar-benar dikubur, sementara masa depan yang terang harus terus dikejar. Setidaknya, itulah motto hidup Titi Atmodjo setelah lima tahun lalu hidupnya terpuruk. Bagaimana tidak, wanita asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini harus menerima kenyataan harus mengasuh anaknya seorang diri.
      
"Saya nggak mau cerita soal masa lalu. Saya sudah berusaha melupakan dan tidak ingin ada hubungan lagi dengan pria itu," ujar Titi saat ditemui di Caf' Lokananta, Jl Panglima Polim Jakarta Selatan, Selasa (3/4) malam.

Kini wanita berkulit putih itu hanya ingin mengasuh anak hasil hubungannya dengan pria tersebut dengan baik-baik. Anaknya sekarang sudah berusia lima tahun dan butuh perhatian yang lebih dari dirinya.
      
Pada awalnya, Titi merasa hancur hidupnya begitu sang kekasih meninggalkannya. Tapi hidup harus terus berjalan. Perasaan marah, benci, dan putus asa hanya dipendamnya sendiri. Tapi, lama-kelamaan dia tidak bisa lagi menahan perasaan itu, apalagi setelah dia memutuskan untuk menjadi ibu tunggal yang tidak menikah (unmarried single mom). Dalam suasana"kesepian" itulah, dia kemudian melampiaskan kegundahan hatinya dengan mencari teman senasib di internet.
      
Di dunia maya, Titi ternyata menemukan banyak sekali wanita yang senasib. Di forum itu dia bisa bebas bercerita dan mencurahkan beban hidupnya sebagai orang tua tunggal. Dalam perkembangannya, orang-orang senasib itu lalu membuat blog khusus, indosingleparent.blogspot.com. Di situlah mereka saling mencurahkan perhatian dan saling memberi nasehat.

"Untuk yang kasusnya dihamili pacar atau diperkosa, awal-awalnya memang ada fase menghujat laki-laki, seperti saya dulu. Itu normal," tukasnya.

Maklum, wanita yang dihamili terus ditinggal pria kekasihnya pasti merasakan sakit hati karena merasa ditipu dan diberi "tanggung jawab untuk mengurus anak seorang diri. Bukan hanya itu, pandangan masyarakat yang negatif  makin membuat hidup wanita itu  tertekan.

"Hebat banget kalau nggak sakit hati. Di sisi lain ada keluarga atau tetangga yang nggak bisa terima, nggak diakui anak, dan dikucilkan," jawabnya lirih.

"Beruntung, Titi memiliki orang tua yang berbesar hati. Mereka mau menerima keputusan Titi untuk membesarkan anak seorang diri, tanpa suami. Meskipun awalnya berat, Titi bersikukuh bahwa anak yang dilahirkannya adalah tanggung jawab yang harus dipikul, sekalipun seorang diri.

"Itu balik ke pribadi masing-masing. Memang "ada teman-teman yang mau buang (bayi, Red) karena takut keluarga, nanti tidak diakui anak, dan lain-lain," katanya.

Titi mengaku beban sebagai single parent memang berat, apalagi bagi seorang single mom (ibu single). Sebab mereka harus mengurus dan membiayai anak-anaknya sendirian. Beban yang seharusnya dipikul dua orang, kini harus dipikul seorang diri.

"Belum lagi stigma kepada single mom "kurang positif. Walaupun sekarang single mom sudah lazim di masyarakat, masih banyak yang menutupi status mereka di pergaulan atau di kantor," ungkapnya.

Menurut Titi, masih banyak lingkungan yang belum bisa menerima status janda atau wanita memiliki anak tanpa menikah (unmarried moms). "Hal itulah yang semakin membuat mereka semakin menutup diri.

"Kalau saya sendiri nggak mau ngikuti (kata masyarakat) itu, karena kalau kita ikuti pasti malah negatif. Saya berusaha membawa diri dengan lebih baik, walaupun memang kita nggak ngapa-ngapa juga," ujarnya.

Jangankan di masyarakat, lanjut Titi, di antara sesama perempuan saja terkadang tidak bisa menerima status single mom. Banyak wanita yang enggan dekat-dekat dengan janda karena takut suaminya direbut atau tertarik pada si janda.

"Padahal kita tahu, laki-laki mana sih yang nggak hai-hai pada janda. Akibatnya, sesama perempuan pun akhirnya bukan saling men-support malah mendiskreditkan kita," keluh wanita berusia 30 tahun itu.

Bagi Titi, suatu saat dirinya harus bisa mengakhiri status single mom seperti sekarang. Oleh karena itu, dia mengaku seluruh anggota Komunitas Single Parent tidak ada yang pro-perceraian. Bagi mereka keluarga sempurna itu terdiri atas bapak, ibu, dan anak-anak, "Komunitas ini hanya untuk saling support, supaya kalau lagi sendiri jangan sampai bablas," ucapnya sambil terkekeh.

Salah seorang anggota Komunitas Single Parent, sebut saja namanya Dewi, mengaku sangat tertolong dengan bergabung di perkumpulan ini. Sebab, secara khusus, orang tua tunggal  kadangkala butuh tempat berbagi, tempat curhat, dan tempat mendapatkan support dari orang"orang yang punya pengalaman sama.

"Kalau orang lain mungkin simpati mendengarkan cerita kita, tapi belum tentu mereka empati. Beda dengan orang yang pernah mengalami hal yang sama, pasti empatinya lebih tinggi," tuturnya.

Sebagai single parent, Dewi mengaku dihadapkan pada peliknya permasalahan yang menyangkut kehidupan, seperti anak sakit atau butuh biaya banyak untuk sekolah. Untuk itu, dukungan dari teman-teman di Komunitas Single Parent sangat diperlukan.

"Saya belum lama menyandang status janda dengan dua putra. Komunitas ini nyata sangat mendukung saya dalam masa-masa transisi menjadi orang tua tunggal," lanjut wanita 39 tahun yang suaminya meninggal karena kecelakaan itu.

Pendiri Komunitas Single Parent, Cahyo Dwi, menceritakan terbentuknya komunitas unik tersebut. Awalnya, Cahyo,  dirinya sering menjadi tempat curhat teman-teman online-nya yang hamil di luar nikah. Mereka lebih srek berbicara di dunia maya karena privasinya lebih terjamin daripada bercerita langsung kepada orang yang dikenal.

"Kasus wanita hamil di luar nikah ternyata banyak sekali, terus ditinggal pacarnya. Kasihan," kata lulusan Teknik Elektro STT Telkom yang masih bujangan itu.

Beberapa wanita temannya yang dikenalnya di dunia maya itu bahkan banyak yang sempat berpikiran ingin bunuh diri karena tidak tahu lagi harus bagaimana menyelesaikan persoalan hidupnya. Mereka rata-rata tidak bisa berpikir sehat lagi karena kalut dan takut dimarahi orang tua atau dikucilkan masyarakat.

"Karena lama-kelamaan banyak yang begitu, akhirnya, bersama mbak Titi Atmodjo, kami sepakat membentuk komunitas dan membuat milis khusus untuk para wanita senasib itu," kata dia.

Sejak saat itu ada saja orang yang mendaftar di Komunitas Single Parent yang resmi berdiri pada 14 November 2007 itu. Milis menjadi sangat membantu karena anggotanya bisa bebas bercerita tentang keadaannya sekarang. "Kalau biasanya cuma chating one on one di blog, di milis satu orang curhat bisa dikomentari banyak orang. Setidaknya mereka bisa mendapatkan banyak saran," tuturnya.

Anggota Komunitas Single Parent, kata Cahyo, adalah orang-orang yang menjadi orang tua tunggal karena berbagai sebab.  Misalnya, pasangannya meninggal dunia, ditinggal pergi pasangan atau pasangan kerja di tempat yang jauh.

"Pria juga ada yang menjadi anggota komunitas ini, tapi jumlahnya hanya sekitar 10 persen saja. Kenapa sedikit" Karena laki-laki cenderung merasa kuat menghadapi keadaannya," cerita Cahyo.

Pria kelahiran Bekasi 1980 ini mengaku tidak canggung menjadi satu-satunya anggota yang belum menikah di Komunitas Single Parent. Pasalnya,  sebagai pendiri dia memiliki tanggung jawab agar komunitas itu tetap memberikan nilai positif dan membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Oleh karena itu, setiap ada gathering anggota dia selalu dating.

"Pertemuan tidak ada jadwal pastinya, tergantung kesepakatan saja. Biasanya juga mengajak anak-anak mereka," jelasnya. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Antusiasme Penggemar Sepeda Ikuti Lombok Audax 400 Kilometer


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler