SURABAYA--Kinerja ekonomi Indonesia diproyeksikan lebih baik pada tahun ini. Salah satu faktor penunjang adalah optimisme kondisi global. Sehingga, potensi ekspor bakal naik, seiring konsumsi domestik yang tinggi.
Managing Director & Secior Economist Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan menyebut investor global menilai resiko memburuknya krisis Eropa dan Amerika Serikat (AS) mulai turun. Namun, potensi memburuknya krisisi di Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia tetap bisa memicu krisis global.
"Kondisi global mulai memulihkan diri, tapi rentan," katanya di sela seminar edukasi keuangan Wealth on Wealth (WOW) yang berlangsung di Hotel Shangri La Surabaya, Selasa (5/3).
Fauzi menambahkan yang harus diwaspadai pada tahun ini adalah ekonomi politik tanah air. Kondisinya mulai memanas seiring mendekati Pemilu 2014. Dia mencontohkan kebijakan kenaikan BBM yang masih menunggu keputusan politis dan presidensial. "Padahal, Kemenkeu dan BI mendesak kenaikan harga," ujarnya.
Standard Chartered Research memproyeksikan ekonomi dunia bakal naik dari 2,5 persen pada tahun lalu menjadi 2,9 persen tahun ini. Bank yang berpusat di London itu menyebut 2013 adalah masa transisi kekuatan Ekonomi Asia.
"Pertumbuhan negara-negara di Asia cukup tinggi. Indonesia menjadi 6,5 persen dari tahun ini 6,2 persen. Tiongkok naik 8,3 persen, tahun lalu hanya 7,7 persen. Serta India tumbuh 6 persen. 2012, kinerja ekonomi India 5,2 persen," paparnya.
Menurut Fauzi Indonesia masih menjadi daya tarik asing untuk menanamkan investasinya. Merujuk data Bloomberg kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk yang tertinggi di dunia. Rata-rata pertumbuhan laba korporasi adalah 18 persen. Tertinggi kedua setalah Turki yang mencapai 19 persen. "Pasar saham Indonesia masih terus tumbuh," cetusnya.
Fauzi menyebut sektor-sektor yang kebal terhadap krisis adalah usaha yang melayani ritel secara langsung atau tidak langsung. Dia mencontohkan otomotif, rokok, semen, telekomunikasi, jasa persewaan, farmasi, dan pengepakan masih moncer. "Sedangkan industri yang surut adalal pakaian jadi, tekstil, sepatu, mainan dan elektronik hilir. Sebab, mereka padat karya kalah bersaing dengan Tiongkok, India, Vietnam, dan Kamboja," katanya.(dio)
Managing Director & Secior Economist Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan menyebut investor global menilai resiko memburuknya krisis Eropa dan Amerika Serikat (AS) mulai turun. Namun, potensi memburuknya krisisi di Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia tetap bisa memicu krisis global.
"Kondisi global mulai memulihkan diri, tapi rentan," katanya di sela seminar edukasi keuangan Wealth on Wealth (WOW) yang berlangsung di Hotel Shangri La Surabaya, Selasa (5/3).
Fauzi menambahkan yang harus diwaspadai pada tahun ini adalah ekonomi politik tanah air. Kondisinya mulai memanas seiring mendekati Pemilu 2014. Dia mencontohkan kebijakan kenaikan BBM yang masih menunggu keputusan politis dan presidensial. "Padahal, Kemenkeu dan BI mendesak kenaikan harga," ujarnya.
Standard Chartered Research memproyeksikan ekonomi dunia bakal naik dari 2,5 persen pada tahun lalu menjadi 2,9 persen tahun ini. Bank yang berpusat di London itu menyebut 2013 adalah masa transisi kekuatan Ekonomi Asia.
"Pertumbuhan negara-negara di Asia cukup tinggi. Indonesia menjadi 6,5 persen dari tahun ini 6,2 persen. Tiongkok naik 8,3 persen, tahun lalu hanya 7,7 persen. Serta India tumbuh 6 persen. 2012, kinerja ekonomi India 5,2 persen," paparnya.
Menurut Fauzi Indonesia masih menjadi daya tarik asing untuk menanamkan investasinya. Merujuk data Bloomberg kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk yang tertinggi di dunia. Rata-rata pertumbuhan laba korporasi adalah 18 persen. Tertinggi kedua setalah Turki yang mencapai 19 persen. "Pasar saham Indonesia masih terus tumbuh," cetusnya.
Fauzi menyebut sektor-sektor yang kebal terhadap krisis adalah usaha yang melayani ritel secara langsung atau tidak langsung. Dia mencontohkan otomotif, rokok, semen, telekomunikasi, jasa persewaan, farmasi, dan pengepakan masih moncer. "Sedangkan industri yang surut adalal pakaian jadi, tekstil, sepatu, mainan dan elektronik hilir. Sebab, mereka padat karya kalah bersaing dengan Tiongkok, India, Vietnam, dan Kamboja," katanya.(dio)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BUMN Siap Bantu Kementan
Redaktur : Tim Redaksi