jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyoroti perlawanan masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau demi mempertahankan kampung Melayu dari penggusuran atas nama investasi.
Adapun konflik tersebut terjadi antara masyarakat Pulau Rempang dengan pemerintah, dalam hal ini BP Batam terkait pengembangan kawasan tersebut melalui investasi asing.
BACA JUGA: Heikal Safar: Pemerintah Wajib Selamatkan Rakyat Pulau Rempang
Dalam pendapat hukumnya, Chandra mengatakan rencana investasi tidak akan dapat diproses apabila tak terdapat keputusan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk mengeluarkan SK Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), penerbitan Sertifikat (Hak Pengelolaan) HPL kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam.
"kedua, bahwa apabila SK HPL tersebut dikeluarkan dan diberikan diberikan kepada BP Batam, SK tersebut dikhawatirkan akan menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah)," ujar Chandra melalui keterangan di Jakarta, Rabu (13/9).
BACA JUGA: Jokowi Sebut Komunikasi BP Batam Cs soal Relokasi Warga Rempang Buruk, Terjadilah Konflik
Dia menjelaskan prinsip itu mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya untuk mengambil dan mengusir masyarakat yang dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan.
Chandra menyebut praktik yang demikian terjadi di zaman penjajahan Belanda.
BACA JUGA: Polisi Tetapkan 7 Tersangka soal Bentrok Warga Pulau Rempang dengan Aparat
"Dahulu, Domein Verklaring dipraktikkan agrarische besluit oleh penjajah Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara," tuturnya.
Berikutnya, Chandra berpendapat bahwa apabila ketentuan tersebut dipraktikkan kembali maka akan berpotensi menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.
"Ini juga yang kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya," terangnya.
Bila itu yang terjadi, Chandra khawatir bakal muncul banyak persoalan struktural yang berimplikasi kelirunya penerapan kebijakan atas suatu lahan.
"Ujungnya sudah dapat diduga, bermunculan konflik agraria yang bersumber dari dominasi negara dan persoalan struktural," ujarnya.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam