Konflik Hukum Kedudukan Putusan MK dan UU: Sebuah Ujian Kenegarawanan dalam Pembahasan RUU Pilkada

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Jumat, 23 Agustus 2024 – 08:03 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Polemik terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang rencananya akan diketok palu pada 22 Agustus 2024 lalu.

Namun, hal ini mendapat protes keras dari berbagai kalangan masyarakat. Alhasil, masyarakat bereaksi, peringatan darurat menjadi viral, dan massa dari berbagai perwakilan melakukan demonstrasi besar-besaran di DPR yang selanjutnya berhasil menghentikan pengesahan RUU Pilkada.

BACA JUGA: Revisi UU Pilkada Batal Disahkan, Putusan MK Berlaku

Banyak pihak menilai bahwa pengesahan tersebut justru mendistorsi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang selama ini menjadi jalan untuk menjamin hak konstitusional.

Ada juga yang berpendapat bahwa RUU tersebut menjadi kontraproduktif dan merupakan cermin kesewenang-wenangan.

BACA JUGA: Demo Penolakan Revisi UU Pilkada Masih Berlangsung, Massa Pelajar STM Bertambah

Perdebatan ilmiah kemudian muncul dalam penilaian tentang kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sumber hukum atau dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Dapat dikatakan bahwa sebuah perdebatan atau konflik hukum terjadi dalam pembahasan RUU Pilkada karena salah satu pasalnya tidak sesuai dengan Putusan MK.

BACA JUGA: Polisi Menahan 159 Pelajar yang Hendak Demo Tolak RUU Pilkada

Lalu bagaimana sesungguhnya menyikapi hal ini? Benarkah diskresi atau kewenangan pembentuk undang-undang (dalam hal ini DPR dan Pemerintah) yang dijamin Konstitusi dapat mengatur berbeda dari Putusan MK, karena jaminan tersebut? Hal ini tentu membutuhkan kajian yuridis.

Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.

Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tentu memiliki kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK bahkan dalam hal ini dapat dinilai memiliki kedudukan lebih karena mengikat tidak hanya para pembuat undang-undang melainkan seluruh pihak. Hal ini karena undang-undang merupakan sebuah produk publik atau mengikat secara umum.

Perlu sebuah pemahaman bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan peradilan konstitusi yang lahir dari era reformasi dan merupakan jalan penegakan supremasi Konstitusi atau UUD NRI 1945 yang menjadi landasan yuridis seluruh peraturan perundang-undangan.

MK menjadi salah satu jalan untuk membuktikan bahwa Indonesia menganut supremasi hukum dan menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.

Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga kehakiman yang menguji produk-produk hukum dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang dalam hal ini pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, baik dari sisi formil maupun materiil, sebagai wujud dianutnya prinsip check and balance.

Pengujian undang-undang (Constitutional Review) merupakan gagasan dalam prinsip negara hukum (rule of law), doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan perlindungan hak asasi manusia (human rights protection).

Hausmaninger mengatakan bahwa Pengujian UU terhadap UUD (Constitutional Review) berfungsi untuk mencegah perebutan kekuasaan oleh salah satu cabang dengan cara yang tidak sah atau pengorbanan cabang lainnya serta melindungi hak konstitusional seluruh warga negara dari pelanggaran kekuasaan tersebut.

Dalam hal ini peran MK sangat penting dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang demokratis dan mencegah dominansi atau superioritas lembaga yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Sebagaimana implementasi dalam pengujian undang-undang, Putusan MK dapat berupa putusan yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut atau putusan langsung, yakni putusan yang membatalkan norma dan memberi pengaturan sehingga tidak menimbulkan penafsiran lainnya.

Meskipun Putusan MK memerintahkan pengaturan lebih lanjut, namun sepanjang tidak ada tindak lanjut dari pembuat UU, maka putusan tersebut dianggap mengikat. Dengan kata lain, pembuat UU juga memiliki diskresi untuk tidak menindaklanjuti Putusan MK tersebut.

Hal ini karena pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan sebuah proses panjang dalam satu kesatuan yang memerlukan kehati-hatian.

Namun lain halnya, jika pembuat UU menindaklanjuti Putusan MK dengan hal yang justru bertentangan atau berlainan makna dari isi dan pertimbangan Putusan MK.

Terdapat beberapa ahli hukum yang berpendapat bahwa diskresi pembentuk UU pada pokoknya dijamin kebebasannya oleh undang-undang untuk mengatur segala hal termasuk pengaturan di luar Putusan MK – merupakan esensi dari separation of power.

Selama ini, jika terdapat suatu undang-undang yang menyimpang dari prinsip-prinsip dalam Konstitusi atau melanggar Hak Konstitusional, maka pengujiannya dilakukan di MK.

Oleh sebab itu, manakala terjadi pembentukan UU yang justru bertentangan dengan Putusan tersebut, maka hal ini justru menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian hukum.

Kita mengetahui bersama bahwa dengan dibahasnya RUU Pilkada, isinya berpotensi menyebabkan konflik hukum.

Putusan MK seolah dihadapkan dengan diskresi pembentukan undang-undang. Dalam hal ini kita perlu memaknai arti dari prinsip pembagian kekuasaan dan penerapan check and balance dalam kehidupan demokrasi kita yang tertuang dalam Konstitusi.

UUD NRI 1945 jelas mengatur adanya pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan hubungan satu sama lainnya. Seperti misalnya, kekuasaan Legislatif mengawasi eksekutif, demikian pula yudikatif memberi koreksi terhadap pelaksanaan UU maupun UU itu sendiri.

Dalam hal kewenangan MK, pengujian UU dilakukan berdasarkan UUD NRI 1945 atau uji konstitusionalitas. Pembagian kekuasaan ini sangat jelas diatur dalam Konstitusi untuk menjamin demokrasi dan distribusi kewenangan dalam rangka menghindari kekuasaan absolut.

Ahli hukum boleh berpendapat bahwa posisi Putusan MK atau putusan peradilan berada dibawah Undang-Undang.

Namun jika kemudian dan Pemerintah legislatif menyimpang dari Putusan MK, maka hal ini menjadi sebuah preseden yang tidak menimbulkan kepastian hukum karena dapat kembali diuji oleh MK.

Apabila fenomena seperti ini dibiarkan terjadi, maka berpotensi terjadi konflik hukum yang berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kekacauan dalam ketatanegaraan dan sistem hukum dan perundang-undangan ini menjadi hal yang tidak patut dan tidak sesuai dengan falsafah Pancasila khususnya sila ketiga dan sila keempat.

Kita tentu dapat mengingat kembali permasalahan yang terjadi pada UU Pilkada dalam perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang dilakukan oleh Jumanto dan Fathor Rasyid terhadap ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2015 yang tidak dijalankan oleh par ekskutif yakni KPU.

Alhasil pada pengujian berikutnya, pertimbangan dalam Putusan MK Nomor 42 tersebut dikutip kembali dalam Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV-2016.

Dalam hal ini sifat putusan MK sangat aktif dalam menentukan putusan berikutnya seperti dalam Doctrine of Precedent atau ketentuan mengikat pada Yurisprudensi pada putusan selanjutnya.

Oleh sebab itu, seluruh undang-undang seyogyanya wajib mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi.

Hal ini agar menimbulkan kepastian hukum dan tidak membingungkan sistem penegakan hukum dan masyarakat.

Cerminan para pemangku kewenangan ini dapat juga dinilai tidak memperlihatkan sebuah kepemimpinan yang aspiratif dan konstitusional.

Negarawan yang baik tentu akan mengindahkan prinsip-prinsip dalam demokrasi dan supremasi hukum.

Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa Putusan MK merupakan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi untuk penerapan keseimbangan.

Putusan MK merupakan aturan yang memiliki peranan setingkat dengan undang-undang karena keduanya memiliki kekuatan yang sama untuk saling mencabut keberlakuan.

Namun dalam hal kepastian hukum, Putusan MK menjadi lebih tinggi karena mengikat dan final sebagaimana diatur dalam Konstitusi, serta mengikat pada Putusan MK selanjutnya.

Masyarakat tentu memahami bahwa persaingan dalam politik untuk menentukan sebuah sistem kepemimpinan merupakan hal yang wajar, namun jika ditumpangi dengan kesewenang-wenangan atau pelanggaran hukum dan etika, justru menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.

Ketidakpastian hukum akan menurunkan kredbilitas penegakan hukum dan peradilan yang tentunya sangat berdampak pada stabilitas keamanan dan hukum yang berdampak juga pada seluruh sektor lainnya.

Sehingga sikap yang ditunjukkan oleh seluruh pihak dalam menghormati Putusan MK serta menyerap dan mengimplementasi aspirasi rakyat dalam seluruh ketentuan perundang-undangan, terlepas dari perbedaan pandangan dan latar belakang, merupakan sikap kenegarawanan yang ditunggu oleh masyarakat dan diharapkan dari pimpinannya.

Maka sikap untuk mendengar dan melaksanakan amanat rakyat untuk menghentikan pembahasan RUU Pilkada tersebut patut untuk diapresiasi.

Semoga keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan keseimbangan di dalam sistem hukum dan demokrasi kita dapat selalu terwujud. Merdeka!(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler