Konflik Vertikal

Rabu, 22 Juni 2011 – 11:12 WIB

ISTANA bertindak sewenang-wenangKonstitusi diabaikan

BACA JUGA: Demokrat Partai Tokai

Hukum berjalan digaris penguasa
Istana dan kroninya pesta pora setiap hari

BACA JUGA: Pendukung Presiden Mulai Bingung

Bergelimang harta korupsi
Tak terjangkau hukum

BACA JUGA: SMS = Semua Memfitnah Soesilo

DiskriminatifIntoleransi dalam kehidupan keagamaan…

Hutang negara bertumpukTapi infrastruktur dan fasilitas sosial berantakanTak ada lapangan kerjaKrisis panganPara pejabat sibuk berbohongTerjadi ketidakstabilan politik.

Begitulah latar belakang terjadinya Revolusi Perancis menurut catatan para sejarawanCatatan ini terus digunakan para analis politik untuk mengukur apakah di sebuah negara akan terjadi revolusi atau tidak.

Kalau indikator prarevolusi seperti di Perancis cocok, biasanya memang terjadi revolusiRusia, Cina, Kuba, juga Iran, mengalami semua itu sebelum revolusi.

Mula-mula memang tanpa darahTapi karena ada dendam (politik) yang terpendam tak terlalu dalam, memudahkan kebencian menyeruak ke luar, dan berubah jadi sangar....

Bangsa Indonesia yang religius secara kultural adalah orang-orang yang sabarNrimoTapi bukan berarti tidak bisa menumpahkan darahAda sejumlah catatan tentang peristiwa berdarah dengan korban yang tidak sedikit.

Ada yang positif seperti peristiwa 10 November 1945 di SurabayaTapi ada juga yang negatif seperti kejadian pada 1965Di beberapa daerah ada juga catatan revolusi kecil berdarah-darah.

Para analis Barat tak pernah bisa menganalisa kenapa di Indonesia bisa terjadi Amok (massa) yang sangarKontradiktif dengan budaya masyarakatnyaTapi kalau sungguh-sungguh dikaji, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Karena diam-diam rakyat Indonesia senang menyimpan kekesalan yang kemudian berubah menjadi dendam terpendamDendam ini bisa mencuat bila situasi memungkinkanAda pemicunya yang tepat.

Adagium “Gusti Allah ora sare” (Tuhan tidak tidur) yang berkembang di masyarakat Jawa saat menghadapi penguasa yang dzolim, sesungguhnya cermin dendam yang dikamuflase, yang dipendam di ranah keagamaan.

Pernyataan “Gusti Allah ora sare” tampak seperti kesabaran religius rakyat Indonesia yang menakjubkanKarena seolah-olah rakyat memasrahkan kepedihan akibat perlakuan keji penguasa kepada TuhanPadahal di balik gumaman “Gusti Allah ora sare” itu, tersembunyi kebencian dalam dendam yang kalau dijelaskan kira-kira berbunyi begini: “Oke, sekarang kamu berkuasaKamu bisa berbuat semena-menaKorupsi tanpa bisa dihukumTapi awas, pada saatnya Tuhan akan menghukum kejahatan yang kamu lakukan…!”

Maka ketika datang hukuman Tuhan, dan kekuasaan sang penguasa dicabut, maka gemuruh kemarahan yang dikubur di ranah keagamaan pun menyeruak, mencari sasaran yang sudah terpateri di hatiKalau sudah begini, nilai-nilai kemanusiaan pun tertutup kabut kemarahan.

Indonesia hari-hari ini memang memiliki ciri-ciri seperti yang terjadi di Perancis menjelang 1789, tahun dimulainya revolusi yang berakhir pada 1799Kaum bangsawan politik kekuasaan asyik-masyuk dalam kesenangan duniawiKorupsi merata ke semua lini: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif.

Sementara rakyat dibiarkan mencari sendiri kesejahteraannya hingga ke luar negeri tanpa bekal pengetahuan dan perlindungan hukumSehingga bisa seenaknya dianiaya para majikan asing, bahkan dipancung seperti dialami Ruyati binti Satubi yang sudah separuh baya.

Tapi kemarahan akibat perlakuan penguasa, sebagaimana terjadi di mana-mana, tak pernah bergerak secara horisontal, melainkan konflik yang vertikalDi Perancis para bangsawan dipenggal kepalanya dengan GuillotineDi Iran orang-orang penting pemerintahan Shah Reza Pahlevi yang terguling ditembak mati[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang-orang Binaan Jenderal Yudhoyono (All the Presidents Men)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler