"Karenanya sangat tidak masuk akal bila urusan penguasaan dan pengelolaan SDA strategis yang penting dan menyangkut hajat hidup rakyat, diserahkan kepada mekanisme pasar," kata Margarito Kamis, saat jadi saksi ahli Uji materi UU nomor 22/2001 tentang Migas, diajukan oleh PP Muhammadiyah dan sejumlah organisasi kemasyarakatan serta tokoh-tokoh masyarakat lain, di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (18/7).
Soal pengurasan, penyimpanan, dan pengolahan SDA, menurut Margarito adalah urusan pemerintah. Ini merupakan kewajiban konstitusi pemerintah yang harus dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Karenanya, tidak boleh masalah ini dilakukan lewat kontrak-kontrak karya dengan swasta, apalagi asing, yang justru banyak merugikan negara dan rakyat Indonesia.
"UUD 1945 tidak mengizinkan mekanisme pasar mengatur urusan negara,” ujar Margarito.
Selain itu, dia juga menyoroti peran BP Migas yang dinilainya tidak banyak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia. Pada praktiknya, lanjut Margarito, BP Migas justru lebih banyak menguntungkan kontraktor-kontraktor asing. Lewat perannya yang tidak jelas, BP Migas justru menjadi "kepanjangan tangan" kontraktor asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran recovery cost yang jumlahnya amat besar.
“Soal sumber daya alam adalah persoalan besar bangsa Indonesia. Pantaskah untuk hal-hal besar seperti ini diserahkan kepada sebuah badan yang tidak jelas tugas dan tanggung jawabnya? Apakah kualitas sumber daya manusia Kementerian ESDM sudah demikian parahnya, hingga tugas penting seperti ini diserahkan kepada pihak lain?” tegas Margarito Kamis dengan nada tanya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejagung Bidik Pengacara Djoko Tjandra
Redaktur : Tim Redaksi