Konstitusi Nadi Ketatanegaraan: Refleksi Peringatan Hari Konstitusi

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, M.H – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Minggu, 18 Agustus 2024 – 09:47 WIB
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah bagi Indonesia karena pada tanggal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) diresmikan sebagai konstitusi negara.

UUD 1945 lahir dari proses panjang perjuangan kemerdekaan dan menjadi landasan hukum tertinggi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi ini menetapkan struktur pemerintahan, hak-hak dasar warga negara, dan prinsip-prinsip dasar negara, seperti kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.

BACA JUGA: Bupati Agam Menerima Data Desa Presisi Nagari Panampuang di Hari Konstitusi

Pentingnya peringatan ini tidak hanya terletak pada pengakuan terhadap sejarah konstitusi, tetapi juga sebagai momen refleksi untuk mengevaluasi implementasi konstitusi serta relevansinya dalam konteks kekinian.

Peringatan ini memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana konstitusi berfungsi dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dan bagaimana prinsip-prinsip dasar konstitusi dapat terus dijaga dan diperkuat.

BACA JUGA: Djarot PDIP Sebut Jokowi dan Gibran Pelanggar Konstitusi, Tak Layak Diundang

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, wacana untuk melakukan perubahan UUD 1945 muncul di tengah arus politik ketatanegararaan Indonesia, mulai perubahan yang sifatnya terbatas hingga perubahan yang bersifat menyeluruh.

Bahkan muncul wacana untuk membatalkan amandemen 1999-2002 dan mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya.

BACA JUGA: Catatan Kritis Terhadap Pidato Presiden Jokowi pada Akhir Periode Kepemimpinannya

Tulisannya ini akan mengurai lebih lanjut kedudukan dan arti penting nilai-nilai konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.

Kedudukan Konstitusi 

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah hukum tertinggi dalam suatu negara. Ia merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat dan merupakan sumber legitimasi yang memuat aturan dasar penyelenggaraan negara.

Konstitusi mengatur bagaimana kekuasaan negara dibagi, bagaimana hak-hak warga negara dilindungi, serta proses pembuatan dan pengambilan keputusan dalam pemerintahan.

Hal ini sesuai dengan pendapat C.F. Strong, konstitusi merupakan “kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan di antara keduanya”.

Dengan demikian, konstitusi itu mengandung prinsip-prinsip hubungan dan batas-batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah).

Sementara James Bryce mengemukakan bahwa “A constitution as a frame work of political society, organised through and by law” (konstitusi sebagai satu kerangka masyarakat politik yang pengorganisasiannya melalui dan oleh hukum).

Secara sederhana, konstitusi dapat didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematik untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk hal ihwal kewenangan lembaga-lembaga tersebut.

Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan the rule of law sekaligus, yakni menjamin kepastian hukum dan juga menegakkan keadilan subtansial.

Lebih dari itu, UUD 1945 juga menekankan pada asas manfaat, yaitu asas yang menghendaki agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan negara Republik Indonesia pasca reformasi, maka dengan melalui amandemen UUD 1945, istilah rechtsstaat secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945.

Hal ini mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis bukan negara kekuasaan yang otoriter.

Pemikiran Bung Karno Tentang Konstitusi 

Soekarno, sebagai tokoh utama dalam perumusan UUD 1945, memiliki pemikiran mendalam tentang konstitusi yang masih relevan hingga saat ini.

Dalam pandangannya, konstitusi tidak hanya sekadar dokumen hukum, tetapi juga sebuah manifestasi dari cita-cita dan jiwa bangsa. Beberapa aspek pemikiran Bung Karno tentang konstitusi yang penting untuk dicermati meliputi:

1. Konstitusi sebagai Manifestasi Kedaulatan Rakyat: Bung Karno percaya bahwa konstitusi harus mencerminkan kedaulatan rakyat.

Dalam pidato-pidatonya, ia sering menekankan pentingnya konstitusi sebagai alat untuk memastikan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Konstitusi harus mampu memberikan ruang bagi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan memastikan hak-hak dasar mereka terlindungi. 

2. Pancasila sebagai Filosofi Negara: Bung Karno menganggap Pancasila sebagai dasar filosofi negara yang harus diintegrasikan dalam konstitusi.

Pancasila, menurutnya, merupakan jiwa dan dasar dari semua norma hukum yang ada dalam UUD 1945.

Setiap pasal dalam konstitusi harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila, yang meliputi kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Konstitusi sebagai Alat Perubahan dan Adaptasi: Bung Karno melihat konstitusi sebagai dokumen yang tidak statis, tetapi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Ia percaya bahwa konstitusi harus fleksibel untuk memungkinkan perubahan dan perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Ini mencerminkan pandangan bahwa konstitusi harus mampu menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berubah.

4. Integrasi antara Ideologi dan Praktik: Dalam pandangan Bung Karno, konstitusi tidak hanya mencakup aturan-aturan hukum tetapi juga harus mampu mengintegrasikan ideologi negara dengan praktik pemerintahan sehari-hari.

Konstitusi harus mencerminkan nilai-nilai ideologis yang mendasari negara dan memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan dan tindakan nyata.

Tantangan dan Dinamika Permasalahan Bangsa 

Indonesia bertransisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis dengan ditandai amandemen UUD 1945, antara tahun 1999-2002, opsi amendemen dipilih karena pandangan kesakralan UUD 1945 sebagai dokumen simbolik perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Meski sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan UUD 1945, transisi Indonesia masih terlihat sebagai keberhasilan karena amandemen berhasil mendemokratisasi konstitusi dan mengadopsi prinsip konstitusionalisme.

Misalnya saja, perubahan yang terjadi menyebabkan adanya checks and balances di Indonesia dengan memberikan kontrol yang lebih besar kepada DPR.

Sekarang UUD 1945 terdiri dari 194 paragraf (ayat), hanya 29 yang asli dan selebihnya merupakan amendemen.

Kondisi ini menurut Koichi Kawamura, tidak ada lagi jejak bentuk asli UUD 1945 dan secara kuantitatif dan kualitatif hasil amendemen dinilai sudah mengganti UUD 1945 atau telah melahirkan sebuah konstitusi baru.

Terlebih setelah hampir 20 (dua puluh) tahun pelaksaannya UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002, diakui masih menyimpan potensi kelemahan baik bersifat materiil-substantif ataupun sekedar kekurangan formalitas-teknis.

Kelemahan aspek materiil-substantif hasil amendemen UUD 1945 dapat dilihat salah satunya berkaitan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yakni mengenai RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tetapi tidak disahkan Presiden. Akibatnya beberapa undang-undang lahir tanpa pengesahan (tidak ditandatangani) oleh Presiden.

Polemik perubahan UUD 1945 sampai saat ini juga disebabkan UUD 1945 merupakan UUD sementara (kilat). Para founding fathers (pendiri bangsa) Republik Indonesia menyadari bahwa UUD yang mereka bentuk merupakan UUD yang bersifat sementara, sifat kesementaraan dihadapkan pada berbagai tantangan internal dan eksternal dan mendorong perubahan UUD, walaupun tidak melalui amandemen resmi.

Perubahan paling mencolok dimulai dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah status Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula badan yang semata-mata membantu Presiden, berubah menjadi badan dengan fungsi legislatif, demikian juga yang dilakukan melalui Maklumat Pemerintah tanggal 4 November 1945 yang mengubah sistem presidensil ke sistem parlementer.

Sifat kesementaraan UUD 1945 ini menandai krisis konstitusional dan krisis politik yang menimbulkan legal risk berupa produk-produk hukum seperti dekrit, surat perintah, Penetapan Presiden yang tentunya belum dikenal dalam hukum positif di Indonesia sesuai UUD 1945.

Amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR 1999-2002 sebagaimana disampaikan di atas membawa perdebatan terkait dengan watak dan model UUD 1945 pra amandemen dan UUD 1945 pasca amendemen.

Watak dan model UUD 1945 sebagai konstitusi akan terkait dengan ide, konsep, teori atau doktrin tentang konstitusi saat perumusan UUD 1945 baik pada tahun 1945 maupun pada waktu amendemen UUD 1945 dilakukan.

Konstitusi sudah diubah dan UUD 1945 pasca amandemen menjadi hukum positif (ius constititum), tetapi ius constititum ini telah melalui berbagai macam kritik dan gagasan amendemen konstitusi (ius constituendum).

Ketegangan antara ius constititum dengan ius constituendum melahirkan tiga kemungkinan: pertama, ius constititum tidak berubah, kedua, ius constituendum dituangkan dalam perubahan formal; atau jalan ketiga dihasilkan “jalan keluar” secara dialektik sehingga UUD 1945 pascaamandemen berubah secara nonformal.

“Jalan keluar” ini serupa dengan kompromi politik MPR ketika menghasilkan amendemen UUD 1945, termasuk membentuk Komisi Konstitusi. Hal ini sekaligus menunjukkan bekerjanya some primary force dan terjadinya institutional interplay atau constitutional dialogue (dialog konstitusional) antara legislasi dan pengujian undang-undang.

Pancasila dan Konstitusi Sebagai Solusi Permasalahan Bangsa

Pancasila yang berakar dari kehidupan bangsa Indonesia tersebut pada hakikatnya mengadung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pengutamaan demikian dikarenakan harmoni merupakan sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia, yakni manusia Indonesia yang selaras (harmoni) dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat.

Sebagai sebuah nilai, Pancasila kemudian diadopsi dalam UUD 1945 (khususnya pembukaan). UUD dipahami bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan di masa depan.

Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan/pelakasanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan maka lahirlah tuntutan perubahan.

Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespon kebutuhan kekinian dan kedisinian (now and present) sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan.

Tentu saja perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya.

Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa.

Makin lama suatu negara bangsa bediri akan semakin mapan sehingga semakin berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Bisa kita tengok sejarah Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1776, Konstitusi AS—yang merupakan konstitusi tertulis tertua dalam sejarah—yang ditetapkan tahun 1787 telah 27 (dua puluh tujuh) kali mengalami perubahan (terakhir/amademen ke-27 pada tahun 1992).

Namun, makin ke sini perubahan konstitusi AS semakin berkurang seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang mereka bangun.

Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002 sejalan dengan desakan reformasi yang begitu kuat saat itu.

Perubahan tersebut pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan (historical approach) dimana para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka.

Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat.

Kata Bung Karno, “Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna”.

Meski kemudian, karena dinamika perjuangan dan politik paska kemerdekaan upaya penyempurnaan UUD tersebut tidak sempat terlaksana. Hingga saat reformasi bergulir kuat pada tahun 1997/98 dirasakan kebutuhan untuk melakukan perubahan UUD 1945, yang hasilnya berlaku hingga saat ini.

Kemudian setelah lebih dari 20 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan tersebut, ternyata masih dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktek sistem ketatanegaraan, maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945.

Hal ini bisa dipahami kembali berdasarkan pendekatan kesejarahan bahwa memang perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 dilakukan secara reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat.

Selain itu, perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi perlbagai kepentingan politik daripada kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan sehingga secara subtansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Pun, desakan perubahan UUD 1945 saat ini juga makin gencar dilakukan oleh beragam kelompok masyarakat.

Dalam praktik ketatanegaraan yang berjalan ditemukan sejumlah keterbatasan dan kelemahan dalam sistem ketatanegaraan yang jika ditelusuri bersumber dari pengaturan di dalam UUD 1945.

Keterbatasan/kelemahan tersebut menyebabkan proses-proses bernegara berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dinamika terhadap konstitusi ini mungkin terasa sulit mengikuti perkembangan zaman.

Apalagi, konstitusi merupakan kesepakatan lembaga yang membuatnya sesuai keadaan sosial, politik, ekonomi pada saat dibuat.

Oleh karena itu, agar menjadi tidak tertinggal dengan kebutuhan masyarakatnya, perubahan konstitusi menjadi suatu yang niscaya. Secara hukum, keniscayaan tersebut pulalah yang menjadikan dasar sebuah konstitusi harus merumuskan pengaturan bagaimana mengubah konstitusi itu sendiri.

David A. Strauss dalam bukunya The Living Constitution menyebutkan bahwa peradaban selalu mengalami perubahan sehingga mustahil bagi konstitusi mengikuti lajunya perubahan tersebut.

Lebih jauh Strauss menasbihkan, “Meanwhile, the world has changed in incalculable ways, technology has changed, the international situation has changed, the economy has changed, social mores have changed and it is just not realistic to expect to cumbersome amendment process to keep up with these changes”.

Konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara, seringkali dianggap sebagai dokumen yang kaku dan sulit diubah.

Namun, dalam kenyataannya, konstitusi yang baik adalah yang bersifat dinamis, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan mampu menjadi solusi atas permasalahan bangsa. Hal ini untuk mengikuti dinamika perubahan sosial, perkembangan teknologi maupun dampak dari globalisasi.

Kesimpulan

Konstitusi merupakan landasan fundamental dalam sebuah negara, menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur struktur pemerintahan dan hak-hak warga negara.

Namun, pentingnya konstitusi tidak hanya terletak pada eksistensinya sebagai dokumen hukum, melainkan juga pada penegakan yang konsisten dan efektif.

Penegakan konstitusi adalah aspek yang lebih krusial karena memastikan bahwa prinsip-prinsip yang tertulis dalam konstitusi diimplementasikan dengan adil dan merata dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi tidak hanya sekadar teks, tetapi merupakan refleksi dari pemikiran dan cita-cita para pendiri bangsa. Konstitusi adalah manifestasi dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dirumuskan untuk melindungi dan memajukan kepentingan seluruh rakyat.

Daya lestari konstitusi mencerminkan komitmen untuk menjaga warisan intelektual dan ideologis dari para pendiri bangsa serta memastikan bahwa konstitusi tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Dengan demikian, meskipun konstitusi adalah dokumen yang sangat penting, penegakan konstitusi yang konsisten dan tanpa pandang bulu adalah kunci untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya benar-benar diterjemahkan dalam praktik pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Penegakan yang efektif memastikan bahwa konstitusi tidak hanya tetap sebagai dokumen bersejarah, tetapi juga sebagai alat hidup yang membimbing negara menuju keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler