Konstruksi Jalan Non Tol Medan-Kualanamu Bisa Dimulai

Selasa, 25 September 2012 – 04:30 WIB
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) di Jakarta mendukung rencana eksekusi lahan jalan non tol Medan-Kualanamu yang direncanakan paling lambat akhir September 2012.

Kementerian yang dipimpin Joko Kirmanto itu tidak mau mengomentari mengenai hal-hal teknis pembebasan lahan yang menjadi urusan Pemprov Sumut. Pusat hanya menghendaki, pokoknya paling lambat akhir tahun ini, sudah tidak ada masalah lagi terkait dengan persoalan lahan untuk proyek ini.

"Pokoknya kita berharap, paling lambat Desember harus sudah selesai, tidak ada masalah lagi dengan pembebasan lahan," cetus Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga, Kemen-PU, Djoko Marjanto, saat dikonfirmasi JPNN mengenai kesiapan dimulainya pembangunan akses jalan dimaksud.

Djoko opmistis bahwa penyelesaian soal lahan ini bisa segera kelar. Dia mengatakan, lahan yang bermasalah tidak sampai 2 kilometer. "Itu kan tidak banyak.Hanya spot-spot saja. Saya yakin bisa selesai. Target kita, Desember sudah beres semua," kata Djoko.

Dijelaskan juga, dimulainya pengerjaan pembangunan akses jalan dimaksud tidak harus menunggu semua lahan sudah dibebaskan semua. Pengerjaan proyek, lanjutnya, sudah bisa dimulai sembari menunggu pembebasan lahan yang belum kelar.

"Jadi, untuk pembangunan konstruksinya sudah bisa dimulai. Kalau menunggu semua lahan sudah dibebaskan, bisa tidak terkejar target penyelesaiannya," kata Djoko.

Sebelumnya diberitakan, Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho menjelaskan bahwa pembebasan lahan jalan akses non tol Medan-Kualanamu akan dieksekusi sesuai peraturan yang berlaku, paling lambat akhir September 2012.

Hal ini sesuai dengan kesepakatan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Sumut pada rapat 19 September 2012 lalu di atas Kapal BOA Danlantamal I Belawan, yang diikuti hampir semua unsur FKPD Sumut.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut, Rahmat Shah sebelumnya menyatakan kesiapannya untuk membela warga di tiga desa di Kecamatan Tanjungmorawa, yang tetap ngotot meminta ganti rugi lahan sebesar Rp1 juta per meternya.

Meski menyatakan siap membela warga, Rahmat tidak menyatakan setuju atau tidak setuju dengan tuntutan warga mengenai angka Rp1 juta per meternya itu. Dia hanya menyatakan bahwa besaran ganti rugi haruslah bisa menjamin kelangsungan hidup warga ke depannya.

Ketua Tim Kerja RUU Pertanahan Komite I DPD itu menolak jika ganti rugi disesuaikan dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) lahan di tiga desa tersebut. Pasalnya, jika hanya berdasarkan NJOP, sudah dapat dipastikan nasib warga akan sengsara di kemudian harinya.

"Mereka butuh hidup, butuh makan, butuh biaya untuk menyekolahkan anaknya. Pemerintah juga tidak akan menjadi miskin hanya karena membayarkan ganti rugi yang wajar kepada rakyatnya," cetus Ramhat Shah kepada koran ini pekan lalu.

Berkali-kali dia menekankan, bahwa ganti rugi berdasar NJOP seperti diusulkan plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, sama saja membunuh rakyat. "Padahal rakyat sudah cukup menderita," imbuhnya.

Dia cerita, berdasarkan studi banding dirinya sebagai Ketua Tim Kerja RUU Pertanahan di sejumlah negara, model pembebasan lahan di Indonesia tergolong sangat buruk. "Di Turki sangat baik. Warga yang lahannya digunakan untuk pembangunan, nasibnya justru lebih baik," urainya.

Dia juga jengah dengan tenggat waktu yang ditetapkan pemda, yang akan melakukan eksekusi lahan paling telat akhir September ini. Menurutnya, cara-cara seperti itu malah membuat situasi makin panas. "Mestinya, terus dilakukan musyawarah untuk mencari solusi. Kalau seperti itu, hanya menambah masalah karena rakyat sudah tak percaya dengan pemda. Soal lahan PTPN II saja, katanya tahun ini selesai, tahun ini selesai, mana buktinya?" ketus Rahmat.

Di sisi lain, dia berharap warga di tiga desa itu tetap mengedepankan cara-cara damai. "Silakan pertahankan hak, tapi jangan anarkis. Saya siap memfasilitasi persoalan ini. Saya siap," tegasnya.

Seperti diberitakan, warga yang bermukim di tiga Desa di Kecamatan Tanjungmorawa, tetap ngotot pada pemerintah untuk meminta ganti rugi lahan sebesar Rp1 juta per meternya.

Puluhan Kepala Keluarga (KK) yang ada di Desa Tegal Sari, Desa Bedimbar dan Desa Dalu X A, siap terus mempertahankan lahan milik mereka apabila pemerintah tidak mau ganti rugi sesuai dengan kesepakatan warga, yakni Rp1 juta per meter. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Petani Tuntut Pembaruan Agraria

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler