Petani Tuntut Pembaruan Agraria

Senin, 24 September 2012 – 12:45 WIB
PADANG--Konflik agraria di seluruh Indonesia, termasuk Sumbar, semakin tajam. Bom waktu ini dipicu sumber-sumber agraria  baik tanah, hutan, tambang dan perairan di Indonesia dikuasai segelintir orang dan korporasi. Puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi.

Demikian ditegaskan Ketua Serikat Petani Indonesia, Sukardi Bendang ketika dihubungi Padang Ekspres (Grup JPNN), guna memaknai peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September, pada hari ini. Hari Tani Nasional ini ditetapkan Presiden Soekarno pada Agustus 1963, pertanda pentingnya peran dan posisi petani sebagai identitas bangsa.

Sukardi memaparkan, latar belakang ditetapkan 24 September menjadi Hari Tani Nasional karena pada tanggal 24 September itu, dibuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.

Sekarang, dia menilai perampasan tanah terjadi karena persekongkolan jahat antara pemerintah, DPR dan korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan berbagai undang-undang seperti: UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 4/2009 Mineral dan Batu Bara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.

"Semua undang-undang tersebut sesungguhnya melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa atau nagari. Semuanya hanya untuk kepentingan para pemodal," jelasnya.

Janji Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendistribusikan tanah kepada rakyat miskin melalui Program Pembaruan Agraria Nasional, hingga kini belum juga terwujud. Tercatat 7,3 juta hektare tanah telantar yang akan didistribusikan kepada rakyat miskin sesuai amanat PP 11/2010.

"Kini faktanya, petani berlahan sempit, petani tak bertanah dan rakyat kecil dibiarkan saling berebut lahan dengan korporasi yang didukung penguasa," kritiknya.
 
Menurut dia, tidak berpihaknya pemerintah terhadap rakyat kecil telah memicu konflik agraria berkepanjangan, bahkan terjadi tindak kekerasan terhadap petani. Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.

"Kasus yang terjadi di Mesuji, Bima, Ogan komering Ilir dan pemukulan petani perempuan di Maligi Pasaman Barat,  adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap rakyat yang menolak perampasan tanah," jelasnya.

Untuk itu, SPI Sumbar menuntut agar dihentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mengembalikan tanah-tnah rakyat yang dirampas. Kemudian, melaksanakan pembaruan agraria sejati sesuai konstitusi 1945 dan UUPA 1960 untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan keadilan sosial.

Dia juga meminta pemerintah dan pihak terkait menarik TNI/Polri dari konflik agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah. Penegakan hak asasi petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat tani.
Lalu, menuntaskan segera konflik agraria dan hentikan perampasan tanah ulayat. Dan mendistribusikan tanah telantar kepada anak cucu kemanakan.

Dihubungi terpisah, Ketua SPI Pusat, Hendri Saragih mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, di seluruh Indonesia masalah yang dihadapi petani relatif sama. Tanah mereka diambil dan diserahkan pada perusahaan perkebunan, kemudian dijadikan perkebunan sawit.

Dia mengajak seluruh petani untuk bersatu dan terus mendesak pemerintah melakukan reforma agraria yang selama ini dijanjikan. "Pemerintah hanya memberi janji. Namun kita sebagai organisasi tani tidak akan tinggal diam. Kita akan terus berjuang," jelas pria yang saat ini memimpin La Via Campesina, organisasi tani di seluruh dunia dengan anggota 200 juta jiwa.(ad)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketentuan Jarak Masuk Draf Perda

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler