jpnn.com - JAKARTA - Setelah depresiasi Rupiah, lonjakan inflasi, defisit neraca dagang, kini giliran pertumbuhan ekonomi yang di bawah ekspektasi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengungkapkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sepanjang triwulan II 2013 tercatat naik 5,81 persen jika dibandingkan triwulan II 2012, lebih rendah dibanding pertumbuhan triwulan I yang mencapai 6,03 persen. "Ini pertumbuhan terendah sejak 2010," ujarnya kemarin (2/8).
BACA JUGA: Menkeu Optimis Inflasi Kembali Normal September
Data BPS menunjukkan, Indonesia terakhir kali mengalami pertumbuhan cukup rendah pada triwulan III 2010. Ketika itu, ekonomi juga tumbuh persis 5,81 persen. Setelah itu, pertumbuhan ekonomi triwulanan Indonesia terus melaju rata-rata di atas level 6 persen.
BACA JUGA: Dahlan Iskan Minta AP II-Garuda Menahan Diri
Secara nominal, besaran PDB jika diukur atas dasar harga berlaku mencapai Rp 2.210,1 triliun. Sedangkan jika diukur atas dasar harga konstan 2000 mencapai Rp 689,9 triliun. Sementara itu, jika dihitung kumulatif sepanjang semester I 2013 dibanding semester I 2012 (c-to-c), ekonomi Indonesia tumbuh 5,92 persen.
Kenapa pertumbuhan triwulan II bisa rendah? Menurut Suryamin, jika dilihat dari sisi pengeluaran, komponen yang memiliki bobot besar dalam pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dibanding triwulan I 2013.
BACA JUGA: BNI Siapkan 6 Ribu Kursi Mudik Gratis
Misalnya, konsumsi rumah tangga yang memiliki bobot terbesar dalam pangsa ekonomi Indonesia (55,44 persen), pada triwulan II hanya tumbuh 5,06 persen (year-on-year), melambat dibanding realisasi triwulan I yang mencapai 5,17 persen.
Lalu, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi yang memiliki bobot 32,68 persen, hanya mampu tumbuh 4,67 persen, lebih rendah dibanding triwulan I yang mencapai 5,78 persen.
Dua komponen yang tumbuh lebih tinggi adalah ekspor barang dan jasa yang tumbuh 4,78 persen (triwulan I hanya 3,57 persen), serta belanja pemerintah yang mencapai 2,13 persen (triwulan I hanya 0,42 persen). Namun, bobot komponen belanja pemerintah dalam struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kecil, 8,63 persen.
Tumbuhnya ekspor yang memiliki bobot 23,1 persen sebanarnya cukup membantu. Sayangnya, impor sebagai pengurang pertumbuhan ekonomi juga tumbuh tinggi, dari -0,06 persen pada triwulan I menjadi 0,62 persen pada triwulan II.
Dari sisi sektor usaha, industri pengangkutan dan komunikasi masih konsisten sebagai sektor dengan pertumbuhan tertinggi, 11,46 persen, disusul industri keuangan, real estat, dan jasa perusahaan yang tumbuh 8,07 persen.
Industri pengolahan yang memegang peran terbesar dalam perekonomian Indonesia, hanya mampu tumbuh 5,84 persen, melambat dibanding triwulan I yang sebesar 5,89 persen. Adapun sektor pertambangan dan penggalian masih melanjutkan tren negatif dengan realisasi -1,19 persen.
Tentu, realisasi pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,81 persen ini di bawah ekspektasi banyak pihak. Misalnya, Kementerian Keuangan dalam proyeksinya masih mematok angka 6,2 persen untuk pertumbuhan ekonomi triwulan II 2013. Realisasi ini sekaligus juga berada di batas bawah proyeksi Bank Indonesia yang menyebut kisaran 5,8 - 6,2 persen.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS Sri Soelistyowati menceritakan, pimpinan BPS bahkan menginstruksikan beberapa kali perhitungan ulang atas data-data yang terkumpul karena dikhawatirkan ada kekeliruan, sehingga muncul angka yang cukup rendah 5,81 persen. "Tapi, setelah dihitung ulang, angka pertumbuhannya memang hanya segitu," ujarnya.
Bagaimana tanggapan pemerintah? Menteri Keuangan Chatib Basri pun melempar handuk alias menyerah untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen sebagaimana dipatok dalam APBN-P 2013. "Tapi, kita usahakan bisa di atas 6 persen," katanya.
Lantas apa yang akan dilakukan pemerintah? Menurut Chatib, pemerintah akan berupaya mendorong motor pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi rumah tangga dan investasi. Selain itu, konsumsi pemerintah juga akan digenjot untuk memberi stimulus bagi ekonomi. "Jangan pelit dengan anggaran," ucapnya.
Namun, upaya pemerintah sepertinya tidak akan mudah. Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo mengatakan, untuk mencapai pertumbuhan 6,0 persen saja, pemerintah harus berupaya ekstra keras. "Kalau 6,3 persen sudah pasti mustahil," ujarnya.
Menurut dia, dengan kondisi ekonomi global yang masih lesu, Indonesia tidak bisa berharap lagi pada ekspor yang mayoritas sumber daya alam. Karena itu, kuncinya adalah membenahi sektor domestik, mulai dari konsumsi rumah tangga, investasi, dan belanja pemerintah.
"Masalahnya, konsumsi sekarang terpukul inflasi tinggi, investasi juga butuh waktu panjang, dan belanja pemerintah kontribusinya tidak terlalu besar," jelasnya.
Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat juga terjadi di Provinsi Jawa Timur selama semester pertama 2013. Data BPS Jatim menunjukkan, pertumbuhan triwulan II mencapai 6,97 persen (year on year/yoy). Realisasi tersebut masih lebih tinggi dibanding nasional yang hanya mampu tumbuh diangka 5,8 persen.
"Kalau dibanding tahun lalu memang pertumbuhannya lebih lambat karena pada tahun lalu pada periode yang sama, realisasinya mencapai 7,29 persen," tutur Kepala BPS Jatim M Sairi Hasbullah kemarin (2/8).
Pertumbuhan ekonomi 6,97 persen sesuai dengan prediksi Bank Indonesia Wilayah IV (Jatim). Otoritas moneter itu juga merevisi pertumbuhan akhir tahun dari berkisar 6,9 sampai 7,1 persen menjadi 6,4 sampai 6,9 persen. "Saat ini, pondasi ekonomi Jatim masih bagus. Ini terlihat dari semua sektor tumbuh," tambah Sairi.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor konstruksi yang mencapai 10,53 persen disusul pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 10,04 persen dan perdagangan, hotel dan restoran mencapai 8,92 persen.
"Beberapa fenomena ekonomi selama triwulan II/2013 juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi Jatim. Antara lain, mulai berproduksinya beberapa komoditas tanaman perkebunan, meningkatnya produksi peternakan khususnya ternak besar dan produksi telur ayam. Hal ini mendorong pertumbuhan sektor pertanian yang mencapai 2,95 persen," paparnya.
Beberapa even lain seperti, libur sekolah dan cuti bersama pegawai negeri juga turut mendorong pertumbuhan beberapa sektor seperti perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi serta sektor jasa. "Maraknya pusat perbelanjaan menyongsong puasa dan Lebaran juag cukup efektif mendongkrak kinerja perdagangan," ujarnya. (owi/dio/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... AP II Merasa Disudutkan Garuda Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi