Kontroversi Kata 'Allah' di Malaysia

Selasa, 11 Februari 2014 – 12:27 WIB

SAAT ini kerukunan antar-agama di Malaysia sedang bergejolak karena konflik penggunaan kata "Allah" bagi non-Muslim.

Masalah ini terdengar sangat aneh di Indonesia, dimana kata "Allah" bebas dipakai oleh siapa saja dalam praktik ibadah agama masing-masing.

BACA JUGA: Urban Villagers

Saya ingin berbagi perspektif mengenai isu kompleks ini, dan ingin menunjukkan bagaimana negara-negara di Asia Tenggara telah berkembang secara berbeda. Mungkin saja beberapa pelajaran bisa dipetik dari isu memprihatinkan ini.

Awalnya, banyak orang Muslim Malaysia yang tidak terima penggunaan kata "Allah" oleh orang non-Muslim. Beberapa kalangan bahkan menganggap bahwa itu adalah upaya halus penyebaran agama yang merupakan pelanggaran di Malaysia.

BACA JUGA: Eropa 1914

Namun, orang Kristen terutama Gereja Katolik Roma berpendapat bahwa orang Kristen Malaysia (khususnya yang berasal dari Sabah dan Sarawak) telah menggunakan kata Allah selama berabad-abad tanpa kontroversi.

Masalah ini mencuat pada tahun 2009 ketika sebuah surat kabar mingguan gereja katolik Roma Malaysia, Herald dilarang menggunakan kata 'Allah' dalam surat kabar versi Bahasa Malaysianya oleh Kementerian Dalam Negeri Malaysia.

BACA JUGA: Dahlan Iskan

Kemudian, Gereja Katolik menggugat masalah ini ke pengadilan karena menganggap larangan tesebut inkonstitusional.

Namun keputusan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi pada 2013, yang menganggap bahwa kata "Allah" bukan bagian integral dari keyakinan umat Kristen.

Dan pada 24 Februari 2014 nanti, Pengadilan Federal akan memutuskan apakah akan mengabulkan permohonan Gereja Katolik ini.

Beberapa komunitas Muslim telah meredam kemarahan akan isu yang telah berpotensi meretakkan hubungan Muslim-Kristen di Malaysia.

Namun, meskipun permusuhan ini terjadi di Semenanjung Malaysia, tampaknya tidak berpengaruh di Malaysia Timur.  

Baru setahun lalu, saya melakukan pengambilan gambar dan meluncurkan sebuah film dokumenter sebanyak 13 episode yang kemudian disiarkan di televisi menjelang Pemilu ke 13 Malaysia.

Selama tiga bulan masa syuting itu, saya bertemu dan mewawancarai orang Malaysia dari kalangan rakyat biasa di seluruh penjuru Malaysia.

Ketika saya berada di Sabah, saya bertemu dengan keluarga asli Sabah yang sangat menarik, dari kelompok etnis pribumi Dusun. Salah satu putra mereka Francis, adalah seorang Imam Katolik. Kakaknya, Nooridah Hidayah adalah seorang Ustadzah. Bertemu mereka dan melihat perbedaan agama mereka sungguh sangat mengharukan. Ini seperti kisah Indonesia yang telah berhasil membina hubungan intra-agama.

Ketika isu penggunaan kata "Allah" meledak di seluruh Malaysia, saya merasa harus mendengar apa pandangan mereka tentang hal ini.

Pastor Francis mengatakan kepada saya:

"Hubungan antara Anda dan Tuhan adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Saya pikir jika kata 'Allah' tidak disalahgunakan dan hanya untuk tujuan pribadi kita saja, maka tidak semestinya hal itu menjadi permasalahan".

Ustadzah Hidayah juga lebih mengedepankan konteks:

"Jika kita sama-sama mendifinisikan "Allah" sebagai pencipta seluruh alam, maka semua orang diperbolehkan menggunakan kata ini."

Kontroversi ini juga tidak merusak ikatan keharmonisan keluarga mereka.

"Di keluarga kami, masing-masing sudah tahu bahwa satu sama lain memiliki tujuan yang baik. Kami menghormati dan memahami perbedaan kepercayaan kami." Imbuh Pastor Francis.

Melegakan jika melihat keluarga Dakun dan penduduk Sabah pada umumnya terus hidup selaras meskipun isu agama terjadi di Semenanjung.

Tapi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebuntuan ini?

Bagi Ustadzah Hidayah, "Muslim dan Kristen tidak boleh saling menyalahkan. Yang dibutuhkan sekarang adalah semua orang duduk bersama dan satu suara dalam mengartikan kata 'Allah' dan kapan penggunaannya."

Dia menambahkan "Muslim tidak perlu bertindak emosional atas masalah ini. Kita harus menyebarkan keindahan Islam seperti yang diajarkan oleh Nabi. Orang lain bisa saja menilai agama kita dari cara kita bertindak". 

Bagi Pastor Francis: "Masalah ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini hanya kesalahpahaman saja, sesuatu yang dapat diselesaikan secara damai".

Isu "Allah" di Malaysia jelas perlu ditangani dengan kebijaksanaan dan keberanian.

Sementara Malaysia dan Indonesia berasal dari "akar" Asia Tenggara, yang terkadang berseteru untuk hal-hal tertentu, kali ini ada baiknya orang Malaysia belajar dari Indonesia.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aburizal Bakrie


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler