jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai kontroversi soal pajak impor emas batangan mengemuka karena aturan yang multitafsir dan cenderung ambigu.
Sebagian kalangan menilai impor telah merugikan negara, sementara sebagian lainnya menyebut impor tidak ada masalah karena telah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
BACA JUGA: KPPU Soroti Aturan Importir Bawang Putih, Jangan Sampai Pasokan Terguncang
Menurut Prianto, penentuan pajak bea masuk terhadap impor emas tidak bisa disamaratakan.
Sebab, setiap emas batangan memiliki klasifikasi berbeda, termasuk juga nilai pajaknya.
BACA JUGA: Mendag Zulkifli Hasan Bertemu Menteri Perdagangan Luar Negeri Peru, Ada Kabar Baik Apa?
Dia menyebutkan emas dengan kode HS 7108.12.10 adalah klasifikasi emas batangan yang akan diolah kembali dalam bentuk bongkah, ingot atau batang tuangan.
Tarif bea masuknya adalah 0 persen.
BACA JUGA: Sudah Penuhi Persyaratan, Pengusaha Bawang Putih Keluhkan SPI yang Tak Kunjung Terbit
Kemudian, ada emas dengan klasifikasi HS 7108.12.90 selain dalam bentuk bongkah, ingot, atau batang tuangan, dengan tarif BM 5 persen.
Lalu ada klasifikasi HS 7108.13.00 untuk emas bentuk setengah jadi lainnya, dengan tarif BM 5 persen, dan kasifikasi HS 7115.90.10 untuk emas batangan yang langsung siap dijual, dengan tarif BM 5 persen.
"ini soal bagaimana melihat HS Code-nya, karena yang jelas HS code banyak banget ada yang 0 persen, ada yang 5 persen pajak bea masuknya, tergantung di peraturan."
"Jadi, ini soal multitafsir cara membaca kode HS," ujar Prianto dalam keterangannya, Senin (29/5).
Menurut Printo, cara membaca kode HS berpengaruh terhadap besaran pajak, sehingga dia tidak heran jika Bea Cukai atau Kementerian Keuangan melihat impor emas yang dilakukan delapan perusahaan di Indonesia tidak ada masalah.
"Ada kemungkinan itu terjadi karena cara membaca kode tarif dengan perincian di HS code-nya."
"Misalnya, ada barang yang spesifikasi produknya bisa jadi tidak tertuang secara jelas, maka Bea Cukai menafsirkan dan mencocokkan dengan produknya."
"Sementara pihak lain yang menduga ada potensi kerugian negara, memandang dari sisi lain," katanya.
Printo tidak menampik peraturan dalam penantuan harga impor emas perlu revisi.
Hal ini untuk menghindari potensi adanya celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Peraturan secara umum itu akan mengalami peningkatan kompleksitas, karena dinamika perdagangan yang kompleks tidak mungkin tercapture di sebuah peraturan."
"Karena itu peraturan itu mengalami revisi, sebab tidak bisa mengimbangi perkembangan, apalagi juga ada pengusaha yang berusaha bermain dengan mencari celah dari peraturan yang ada."
"Jadi, peraturan itu ada celah dan tidak mustahil dimanfaatkan untuk menghindari pembayaran pajak, termasuk bea masuk sehingga spesifikasi produknya ambigu ditafsirkan berbeda," ucapnya.
Printo lebih lanjut mengatakan solusi yang bisa dilakukan adalah dengan duduk bersama mencocokkan barang dengan HS-Codenya.
"Solusinya saya kira duduk bareng, karena Bea Cukai juga tidak sembarangan. Bea Cukai kan berjenjang dari petugas di lapangan sampai kasi, kepala bea cukai, kepala kantor pelayanan, kepala kantor pelayanan utama, dan seterusnya. Itu kan berjenjang," kata Printo. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Emas Masih Cakep, Cocok untuk Investasi, nih!
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang