TASIK – Hampir setiap minggu ada korban penyalahgunaan pil Dextro yang ditangani tim medis Puskesmas Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya. Dengan begitu, Kristi (bukan nama sebenarnya), korban pemerkosaan bukanlah yang pertama ditangani puskesmas di utara Tasikmalaya.
“Kadang dalam seminggu ada satu atau dua,“ katanya. Mungkin karena ini puskesmas rujukan (di Tasikmalaya utara) jadi dari daerah lain masuk ke sini sehingga kelihatannya banyak. Tapi memang kasus dextro lagi banyak,“ ujar dokter Yunike di Puskesmas Ciawi dr Yunike, Selasa (19/3) kepada Radar (Grup JPNN).
Ketika ditanya pernah ada yang meninggal gara-gara mengonsumsi Dextro, diakuinya pernah. “Oh iya pernah. Waktu itu (ada yang) mengonsumsinya di atas 40 butir. Bahkan ada yang sampai 120 butir,“ terangnya.
Terkait Kristi, ujarnya, ada kemungkinan korban mengalami kecanduan. Pasalnya satu minggu sebelumnya korban Kristi sempat dirawat dengan keluhan sama, yakni mengonsumsi Dextro. Namun saat itu korban kabur dari puskesmas.
”Berdasarkan pengakuan korban, memang dia mengonsumsi Dextro dan kita periksa juga kelihatan ada pengaruh. Kalau Dextro yang terakhir ini korban mengaku mendapat di apotek. Tapi kalau sebelumnya dari pengedar,” ujarnya.
Dikatakannya korban sejak Sabtu (16/3) sore memang sudah pulang dari puskesmas (Radar, 18/3). Tapi sebenarnya, kata dia, kondisi korban masih lemah kendati secara medis sudah dapat pulang. ”Kondisi saat itu sudah normal, namun perlu istirahat, tapi korban memaksa pulang. Tapi kalau secara medis memang sudah boleh pulang hanya saja lemah, secara fisik bagus sehingga kita izinkan pulang. Hanya saja secara mental masih lemah,” jelasnya.
Ditemui di rumahnya di Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut, ibunya Kristi, Juw (43) mengaku Kristi dijemput dari Puskesmas Ciawi oleh aprat desanya karena keluarga tidak mempunyai biaya.
”Masalahnya tahu sendiri kan keadaan kita, kita orang nggak punya. Takutnya merepotkan orang lain. Udah lah seharian juga cukup kelihatannya sudah membaik, biar nanti ada rizki berobat jalan saja. Kemarin (Sabtu, 16/3) juga dibayar sama Pak Kapolsek,” terangnya kepada wartawan.
Sementara itu, Yunike menjelaskan korban penyalahgunaan Dextro --yang selama ini kerap ditangani pihaknya. Menurutnya perlu ada perhatian dari pemerintah dan orang tua, karena kebanyakan penggunaan Dextro adalah remaja. ”Dari keluarga juga harus mengawasi anak-anaknya juga,” sarannya.
Peran pemerintah daerah juga sangat diperlukan untuk meminimalisir penggunaan Dextro. ”Dextro memang bebas sehingga jika orang menjual banyak juga tidak akan ditangkap, tapi paling tidak dibuatlah satu komitmen dari pemerintahan daerah kalau kasusnya banyak seperti ini kan harus ada antisipasi paling tidak bagaimana caranya.”
Untuk itu, tambahnya, perlu dibuat suatu komitmen dengan penjual, dalam hal ini apotek. ”Contohnya untuk tidak menjual lebih dari sekian dan tidak menjual pada dibawah umur. Kan kelihatan mana yang membutuhkan Dextro dan mana yang tidak. Apalagi membeli dalam jumlah banyak dan dia tidak berkepentingan tidak perlu diberi,“ harapnya.
Paling tidak, menurutnya, pembatasan penjualan Dextro diharapkan bisa mengurangi kasus penyalaghunaan Dextro. ”Ya walaupun sulit karena ada yang masuk yang dari luar, misalnya orang beli dari luar kota dibawa dan dipakai di sini. Tapi paling tidak kalau semuanya turun bisa mengurangi kejadian-kejadian seperti saat ini,” pungkasnya.
Di Kota Tasikmalaya, Ketua Badan Narkotika Kota yang juga Wakil Wali Kota Tasikmalaya Ir H Dede Sudrajat MP memberikan peringatan kepada seluruh apotek melalui Dinas Kesehatan guna membatasi dan mengawasi penjualan obat Dextro. Karena, kata dia, penggunaan obat batuk itu pada dosis tinggi, dapat membuat orang yang mengkonsumsinya menjadi teler.
”Saya sudah memberikan instruksi kepada Dinas Kesehatan awas apoteker jangan sembarangan memberikan Dextro. Penjual harus dengan resep dokter,” ungkapnya.
Dextro sebetulnya masuk dalam kategori obat legal terbatas yang harus diberikan sesuai resep dokter. Obat ini merupakan obat batuk. Namun saat ini banyak penggunaan Dextro --yang melebihi dosis resep-- dapat menimbulkan efek teler.
Dextro, kata Dede, sebaiknya jangan dijual seperti obat bebas. Pihak apotek harus berhati-hati memberikan obat ini kepada pembeli. Apalagi ketika pembeliannya dalam jumlah banyak. Pihak apotek patut mencurigai.
Jika ada apotek ada yang membandel dan tetap menjual Dextro secara bebas tanpa resep dokter, maka pihaknya akan memberikan sanksi tegas. Berupa pencabutan izin usaha. Saat ini, kata Dede, pihaknya tengah berupaya melakukan pembinaan kepada para pemilik apotek agar tidak sembarangan melayani pembelian Dextro. Tujuannya, untuk menyelematkan generasi muda dan menekan kasus narkotika. ”Satu kali, dua kali dibina, kalau mereka membandel, kami tidak segan memberi sanksi pencabutan izin,” tandasnya.
Kepala Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat Brigjen (Pol) Anang Prananto menambahkan Dextro sebetulnya merupakan obat legal. Namun pada dosis tertentu dapat menyebabkan terganggunya saraf sehingga memberi efek teler. Pencegahannya, kata dia, harus dilakukan mulai dari remaja atau pelajar dan guru supaya bisa memberikan pemahaman yang baik tentang bahaya narkoba kepada para pelajar.
”Tentu untuk usaha yang lebih efektif juga pencegahannya melalui siswa dan guru sekolah. Supaya mereka sadar bahwa di lingkungan itu ada yang membahayakan seperti Dextro, karena pelajar itu rentan. Mudah-mudahan ketika mereka diawasi dan dikawal oleh gurunya itu menjadi anak yang patuh,” harapnya. (gna/pee)
“Kadang dalam seminggu ada satu atau dua,“ katanya. Mungkin karena ini puskesmas rujukan (di Tasikmalaya utara) jadi dari daerah lain masuk ke sini sehingga kelihatannya banyak. Tapi memang kasus dextro lagi banyak,“ ujar dokter Yunike di Puskesmas Ciawi dr Yunike, Selasa (19/3) kepada Radar (Grup JPNN).
Ketika ditanya pernah ada yang meninggal gara-gara mengonsumsi Dextro, diakuinya pernah. “Oh iya pernah. Waktu itu (ada yang) mengonsumsinya di atas 40 butir. Bahkan ada yang sampai 120 butir,“ terangnya.
Terkait Kristi, ujarnya, ada kemungkinan korban mengalami kecanduan. Pasalnya satu minggu sebelumnya korban Kristi sempat dirawat dengan keluhan sama, yakni mengonsumsi Dextro. Namun saat itu korban kabur dari puskesmas.
”Berdasarkan pengakuan korban, memang dia mengonsumsi Dextro dan kita periksa juga kelihatan ada pengaruh. Kalau Dextro yang terakhir ini korban mengaku mendapat di apotek. Tapi kalau sebelumnya dari pengedar,” ujarnya.
Dikatakannya korban sejak Sabtu (16/3) sore memang sudah pulang dari puskesmas (Radar, 18/3). Tapi sebenarnya, kata dia, kondisi korban masih lemah kendati secara medis sudah dapat pulang. ”Kondisi saat itu sudah normal, namun perlu istirahat, tapi korban memaksa pulang. Tapi kalau secara medis memang sudah boleh pulang hanya saja lemah, secara fisik bagus sehingga kita izinkan pulang. Hanya saja secara mental masih lemah,” jelasnya.
Ditemui di rumahnya di Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut, ibunya Kristi, Juw (43) mengaku Kristi dijemput dari Puskesmas Ciawi oleh aprat desanya karena keluarga tidak mempunyai biaya.
”Masalahnya tahu sendiri kan keadaan kita, kita orang nggak punya. Takutnya merepotkan orang lain. Udah lah seharian juga cukup kelihatannya sudah membaik, biar nanti ada rizki berobat jalan saja. Kemarin (Sabtu, 16/3) juga dibayar sama Pak Kapolsek,” terangnya kepada wartawan.
Sementara itu, Yunike menjelaskan korban penyalahgunaan Dextro --yang selama ini kerap ditangani pihaknya. Menurutnya perlu ada perhatian dari pemerintah dan orang tua, karena kebanyakan penggunaan Dextro adalah remaja. ”Dari keluarga juga harus mengawasi anak-anaknya juga,” sarannya.
Peran pemerintah daerah juga sangat diperlukan untuk meminimalisir penggunaan Dextro. ”Dextro memang bebas sehingga jika orang menjual banyak juga tidak akan ditangkap, tapi paling tidak dibuatlah satu komitmen dari pemerintahan daerah kalau kasusnya banyak seperti ini kan harus ada antisipasi paling tidak bagaimana caranya.”
Untuk itu, tambahnya, perlu dibuat suatu komitmen dengan penjual, dalam hal ini apotek. ”Contohnya untuk tidak menjual lebih dari sekian dan tidak menjual pada dibawah umur. Kan kelihatan mana yang membutuhkan Dextro dan mana yang tidak. Apalagi membeli dalam jumlah banyak dan dia tidak berkepentingan tidak perlu diberi,“ harapnya.
Paling tidak, menurutnya, pembatasan penjualan Dextro diharapkan bisa mengurangi kasus penyalaghunaan Dextro. ”Ya walaupun sulit karena ada yang masuk yang dari luar, misalnya orang beli dari luar kota dibawa dan dipakai di sini. Tapi paling tidak kalau semuanya turun bisa mengurangi kejadian-kejadian seperti saat ini,” pungkasnya.
Di Kota Tasikmalaya, Ketua Badan Narkotika Kota yang juga Wakil Wali Kota Tasikmalaya Ir H Dede Sudrajat MP memberikan peringatan kepada seluruh apotek melalui Dinas Kesehatan guna membatasi dan mengawasi penjualan obat Dextro. Karena, kata dia, penggunaan obat batuk itu pada dosis tinggi, dapat membuat orang yang mengkonsumsinya menjadi teler.
”Saya sudah memberikan instruksi kepada Dinas Kesehatan awas apoteker jangan sembarangan memberikan Dextro. Penjual harus dengan resep dokter,” ungkapnya.
Dextro sebetulnya masuk dalam kategori obat legal terbatas yang harus diberikan sesuai resep dokter. Obat ini merupakan obat batuk. Namun saat ini banyak penggunaan Dextro --yang melebihi dosis resep-- dapat menimbulkan efek teler.
Dextro, kata Dede, sebaiknya jangan dijual seperti obat bebas. Pihak apotek harus berhati-hati memberikan obat ini kepada pembeli. Apalagi ketika pembeliannya dalam jumlah banyak. Pihak apotek patut mencurigai.
Jika ada apotek ada yang membandel dan tetap menjual Dextro secara bebas tanpa resep dokter, maka pihaknya akan memberikan sanksi tegas. Berupa pencabutan izin usaha. Saat ini, kata Dede, pihaknya tengah berupaya melakukan pembinaan kepada para pemilik apotek agar tidak sembarangan melayani pembelian Dextro. Tujuannya, untuk menyelematkan generasi muda dan menekan kasus narkotika. ”Satu kali, dua kali dibina, kalau mereka membandel, kami tidak segan memberi sanksi pencabutan izin,” tandasnya.
Kepala Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat Brigjen (Pol) Anang Prananto menambahkan Dextro sebetulnya merupakan obat legal. Namun pada dosis tertentu dapat menyebabkan terganggunya saraf sehingga memberi efek teler. Pencegahannya, kata dia, harus dilakukan mulai dari remaja atau pelajar dan guru supaya bisa memberikan pemahaman yang baik tentang bahaya narkoba kepada para pelajar.
”Tentu untuk usaha yang lebih efektif juga pencegahannya melalui siswa dan guru sekolah. Supaya mereka sadar bahwa di lingkungan itu ada yang membahayakan seperti Dextro, karena pelajar itu rentan. Mudah-mudahan ketika mereka diawasi dan dikawal oleh gurunya itu menjadi anak yang patuh,” harapnya. (gna/pee)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Runway Bandara DEO Diduduki Warga
Redaktur : Tim Redaksi