Sebab, disaat pelunasan sisa ganti rugi mereka tidak kunjung tuntas hingga enam tahun, pemerintah ternyata tidak bergerak nyata untuk membantu. Sebaliknya, MK justru melegalkan pemerintah untuk menyelesaikan pembayaran korban lumpur di luar peta area terdampak (PAT). "Terus terang kami sangat kecewa dengan putusan MK. Itu putusan diskriminasi," kata salah satu perwakilan korban lumpur Lapindo Pitanto pada wartawan, Jumat (14/12).
Bagi korban lumpur, putusan MK tak ubahnya menambah beban hidup mereka. Sebab, uang pemerintah itu adalah uang rakyat yang berarti uang mereka juga. "Dengan putusan itu sama artinya kami harus membayari korban lumpur lainnya. Padahal, kami ini juga korban," ucap Pitanto.
Kamis (13/12) lalu MK memang mengambil putusan menolak permohonan uji materi pasal 18 dan 19 UU no 4/12 tentang APBN Perubahan (APBNP). Dalam putusan tersebut MK menyetakan bahwa pemerintah tetap bertanggungjawab terhadap lumpur di luar peta area terdampak.
MK menyatakan pengucuran uang negara untuk penanggulangan dampak semburan lumpur Lapindo tidak menyalahi UUD 1945. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat jika tidak ikut memikul tanggung jawab atas masalah yang diderita korban di luar PAT, para korban dikhawatirkan menderita tanpa kepastian hukum.
Pertimbangan itu juga yang terasa begitu menyakitkan bagi korban lumpur. "Kami ini korban di dalam peta dan terimbas langsung. Tapi selama enam tahun kami dibiarkan tidak dilunasi ganti ruginya. Seharusnya MK memperhatikan semua korban lumpur," ujar Pitanto.
MK dan juga pemerintah tidak seharusnya hanya memperhatikan nasib korban di luar PAT. Seharusnya korban di dalam PAT-lah yang lebih diperhatikan. Sebab, mereka yang telah lama kehilangan rumah, tanah, dan juga lapangan pekerjaan. Namun, ganti ruginya justru tidak kunjung tuntas. Berdasarkan klaim PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) korban yang belum terlunasi ada 3.757 berkas. Jumlah nilai ganti ruginya mencapai Rp 876 miliar.
Dengan situasi seperti itu, korban lumpur menyebut selama ini justru dibiarkan berhadapan langsung dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk menagih haknya. Tapi, disaat korban lumpur turun ke jalan atau menutup akses pekerjaan di tanggul lumpur Lapindo agar tuntutannya didengar, mereka malah disalahkan.
"Pemerintah harusnya lebih memperhatikan kami. Kenapa mereka membedakan tanggung jawab," sebut Pitanto yang merupakan mantan Kepala Desa Renokenongo, Porong-salah satu desa yang terendam lumpur.
Korban lumpur pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan aksi. Salah satunya adalah memberi dana talangan dana kepada PT MLJ agar pelunasan sisa ganti rugi segera tuntas. Desakan itu karena selama ini PT MLJ dianggap hanya menebar janji karena tidak memiliki cukup uang untuk pelunasan. "Entah bagaimana mekanismenya, yang jelas pemerintah harus membantu agar kami segera dilunasi," tegas Pitanto. (fim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satgas BBM Amankan 653 Ribu Liter Solar
Redaktur : Tim Redaksi